Tak pernah terlintas dalam benak, aku akan dapat cobaan seberat ini. Tak pernah sekalipun bermimpi maupun mendapat firasat layaknya orangtua yang akan kehilangan anaknya. Kematian anakku, Fahri Usaini Romadhon (3,5), tentu merupakan ujian Allah yang terberat buat kami.
Sabtu (16/2) lalu, aku memang sempat merasa heran, sebab anak bungsuku itu tak terlihat di dalam rumah. Semula aku menduga, Fahri ikut ayahnya, Misnawi, membantu pasang tenda untuk acara perkawinan di rumah tetangga gang sebelah. Ternyata Fahri tak ikut ayahnya. Suamiku bilang, tadinya Fahri ikut dia, tapi suamiku menyuruhnya pulang, mengingat sore itu mendung dan akan turun hujan.
Panik karena Fahri tak kunjung pulang, aku minta kakak-kakaknya mencari ke seluruh kampung. Siapa tahu dia main bersama teman-temannya. Sayang, kendati sudah dicari ke sana ke mari, Fahri tetap tak ketemu. Bahkan teman-temannya mengaku tak melihat Fahri hari itu.
Hujan pun turun dengan lebatnya. Aku dan suami tetap mencari Fahri. Sampai hujan reda, kami terus melakukan pencarian. Kami dibantu para tetangga sekitar mencari Fahri hingga ke kampung lain. Siapa tahu Fahri terbawa teman-temannya hingga bermain sampai jauh. Begitu pikirku.
Susuri Sungai
Hingga malam semakin larut, pikiranku makin kalut. Sementara Fahri tak kunjung muncul. Dalam hati aku menduga, jangan-jangan Fahri tercebur sungai dan terbawa arus sebab hari itu hujan lebat sekali. Tanpa pikir panjang, aku dan suami menuju sungai yang membelah lokasi perkampungan kami.
Berjam-jam aku susuri sungai yang airnya keruh itu. Mataku tak berkedip melihat apa saja yang melintas di sungai, sambil menanyai orang-orang di sekitar bibir sungai, siapa tahu ada yang melihat anak dengan ciri-ciri mirip fisik Fahri. Namun kekecewaan yang kudapat. Tak ada yang melihat Fahri. Saking paniknya dan kelelahan luar biasa usai menyusuri sungai, aku sempat pingsan dan ditolong warga sekitar bantaran sungai. Setelah siuman, aku kembali ke rumah tanpa Fahri.
Aku tak bisa menggambarkan bagaimana kekalutanku malam itu. Kecemasan dan kekhawatiran campur aduk jadi satu. Kendati begitu, tak sedikit pun terbersit dalam benak, Fahri akan jadi korban pembunuhan.
Begitu jejak Fahri tak diketahui hingga esoknya, suamiku lapor polisi sambil terus berupaya mencari. Aku dan suami juga minta bantuan orang-orang "pintar" hingga puluhan jumlahnya. Dari sekian banyak "orang pintar" itu, ada satu yang petunjuknya tepat. Menurut sang paranormal, keberadaan Fahri tak jauh dari rumah. Katanya, "Posisi Fahri ada di sebelah rumah bertingkat, coba cari di sana."
Yang membuat kami bingung, andai Fahri jadi korban penculikan, apa yang si penculik harap dari kami? Uang tebusan? Tak mungkin. Kami hidup dengan kondisi ekonomi pas-pasan. Untuk tinggal saja hanya mampu di rumah petak dalam gang sempit. Jika dendam, rasanya juga tak mungkin. Selama ini kami tak punya musuh.
Setelah memasuki hari ketiga kehilangan Fahri, Selasa (19/2) siang tiba-tiba ada kabar yang sangat mengejutkan. Kerabatku mendapat informasi, katanya anakku tak perlu lagi dicari sebab Fahri sudah meninggal dan jasadnya ada di dalam rumah SO, tetangga yang tinggal hanya beberapa meter dari rumahku. Selanjutnya, suasana kampung menjadi gaduh, keluargaku dan warga kampung langsung memasuki rumah SO yang saat itu sudah ditinggalkan penghuninya.
Benar saja, setelah warga berhasil mendobrak pintu rumah, bau tak sedap langsung menusuk hidung. Bau tak sedap itu berasal dari sebuah lorong kecil buntu yang hanya bisa dimasuki dari dalam rumah SO. Menurut warga, tubuh anakku tergeletak dilantai dalam keadaan dicor semen hingga nyaris seperti patung. Aku tak kuat melihat langsung kondisi anakku, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya dan tak sadarkan diri.
Sampai detik ini, aku masih tak habis pikir mengapa SO tega berbuat keji kepada anakku. Selama ini, baik aku maupun keluargaku tak pernah bermasalah dengan dia. Lha wong, bertegur sapa nyaris tak pernah. Jadi ketika SO mengaku ke polisi bahwa ia dendam kepada suamiku, itu omong kosong!
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR