Sarosa Consulting
Bagi para pemilik bisnis skala kecil dan menengah atau UKM (Usaha Kecil Menengah) yang ingin mengembangkan usahanya dengan sistem waralaba atau franchise, Pietra Sarosa (31) dari Sarosa Consulting Group (SCG) siap membantu. Pada intinya, "Ada dua peranan yang kami lakukan. Pertama sebagai pemandu atau guidance. Biasanya karena mereka tak tahu tata cara franchise dan butuh petunjuk agar tidak melakukan kesalahan yang telah dilakukan orang lain," buka Pietra.
Peran kedua, lanjutnya, sebagai sparing partner. Umumnya, Pietra menemui pelaku UKM yang berbisnis secara solo alias tanpa tim. "Tak semua punya level manajemen yang bisa diajak kerja sama." Jadi, selain membantu menyusun sistem usaha yang benar, Pietra juga tak ragu memberi semangat saat kliennya merasa ragu-ragu melakukan ekspansi. "Banyak pengusaha yang malu berpromosi, ya, kami motivasi. Tapi ada juga yang terlalu bersemangat, jadi kami rem."
Kedua peran tadi, sebut Pietra, tentu akan berjalan maksimal jika sang pemilik bisnis mau bekerjasama dan transparan kepadanya. Pasalnya, sebagai konsultan Pietra memang harus tahu seluk beluk usaha yang menjadi kliennya. Ruang lingkup pekerjaannya pun cukup luas, seperti manajemen, finansial, administrasi, SOP (Standard Operating Procedure), dan dokumentasi.
Menurut Pietra, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan menyangkut sistem waralaba. Kepada franchasee atau orang yang ingin mengambil waralaba, Pietra menganjurkan untuk lebih teliti menelusuri track record usaha yang akan diwaralaba. "Selalu tanyakan, sudah berapa tahun usahanya berjalan, fokus atau tidak dengan bidang itu, dan apa saja yang ditanggung oleh mereka?" tutur pria lulusan Universitas Indonesia ini.
Beberapa franchisor atau pemilih usaha yang akan diwaralaba memang menanggung seluruh sistem bahkan karyawan. "Jadi franchisee cukup menyediakan tempat dan tak perlu aktif bekerja. Seperti waralaba minimarket, misalnya. Tapi ada pula yang mengharuskan franchisee turut berperan, terutama untuk promosi," kata Pietra. Seluruh kesepakatan ini, lanjutnya, musti tertuang dalam perjanjian waralaba dan dimengerti oleh kedua pihak.
Bagi para franchisor, Pietra biasanya melakukan pendampingan agar mereka jeli memilih franchisee atau mitra. "Yang pasti harus sesuai dengan sistem dan visi misi yang sudah ditetapkan pemilik bisnis. Biasanya kami kawal implementasi sistem dan perjanjian dengan mitra-mitra awal. Kalau sudah bisa jalan sendiri, ya, kami lepas."
Pendampingan dan penyusunan start-up system ini, ungkap Pietra, bisa makan waktu dari empat hingga enam bulan lamanya. Meski, "Lingkup kerja kami dengan masing-masing klien bisa sangat fleksibel, tergantung kebutuhan mereka seperti apa," kata Pietra yang mengaku mematok harga sekitar Rp 40 - 50 juta untuk paket lengkap franchise bagi bisnis skala menengah.
Klien juga bisa memilih paket pendampingan yang dibayar per bulan seharga Rp 5 juta. "Bagi klien, paket ini lebih ringan. Bisa diibaratkan mereka mengeluarkan uang untuk menggaji seorang manajer bisnis, tapi mereka punya satu orang yang sudah expert," kata Pietra lagi. Namun SCG tak hanya mengurusi waralaba. Pietra dan timnya juga fokus ke pengembangan entrepreneurship. "Kami memberi seminar dan pelatihan, baik untuk mahasiswa maupun pensiunan," kata pria yang berlatar belakang perencana keuangan ini.
Merasa memiliki passion besar terhadap entrepreneurship dan perkembangannya di Indonesia, dalam waktu dekat pria yang juga rajin menjadi narasumber di berbagai radio ini bakal membangun forum konsultasi gratis di dunia maya. "Sekarang sedang digodog. Yang jelas, dengan forum itu konsultasi bisa dilakukan lebih masal dan murah."
Komunitas, sebut Pietra, memiliki peran penting bagi pebisnis. Terlebih, saat ini sudah banyak komunitas yang melakukan mentoring atau pelatihan di antara mereka sendiri. "Apa isi pelatihannya, itu nomor dua. Yang harus dihargai adalah semangat positif tentang menjadi entrepreneur," tukas Pietra lagi. "Yang saya berikan sebagai konsultan, kan, lebih ke teknis. Tapi mind set sebagai pengusaha, harus mereka tanamkan terlebih dulu."
Pietra lantas berbagi rahasia agar siap menjadi entrepreneur sejati. "Harus siap mikir 24 jam. Ha ha ha. Mengurus bisnis, harus siap fokus dan memberikan effort lebih. Jika hanya menginginkan usaha sambilan, ya, uangnya juga pasti sambilan."
Mendirikan usaha restoran sekarang ini rupanya tak cukup mengandalkan masakan enak saja. Setidaknya, itu menurut Helena Waty (37) dari Picture in Design (PID). "Zaman dulu mungkin banyak restoran survive hanya mengandalkan rasa masakan. Tapi dengan menjamurnya restoran seperti sekarang ini, strategi marketing dan branding yang bagus menjadi kunci," ujar Helena. Nah, di sinilah PID berperan.
Bersama tim yang berjumlah 14 orang, PID berlaku sebagai one stop solution bagi pengusaha restoran yang ingin berpromosi. Untuk pembuatan logo, buku menu, flyer, dan poster, PID menyediakan food photographer dan graphic designer profesional. Untuk menjaga kualitas cetak, PID pun memiliki alat cetak khusus. "Tapi kami juga sangat fleksibel," tutur Helena.
Artinya, "Setiap bertemu klien saya selalu bertanya, mereka butuh apa? Apakah sekadar konsep atau seluruh strategi marketing mau kami tangani? Harganya pun pasti berbeda," lanjut ibu dua anak ini. Tak jarang, Helena menjadi tempat berbagi pengalaman pada pemilik restoran yang baru menangani bisnis ini. "Selain menu yang harus memiliki ciri khas, sebuah restoran juga harus punya desain buku menu dan logo yang bagus," kata Helena.
Hal ini, lanjut Helena, berpengaruh terhadap imej yang hendak dibangun oleh restoran tersebut. "Konsumen di Indonesia inginnya pergi ke restoran yang makanannya enak, harganya murah, dan tempatnya tampak bergengsi. Yang terakhir ini bisa dilakukan dengan pengadaan buku menu dan desain flyer yang bagus. Apalagi jika targetnya memang anak muda."
Dari kliennya yang kini sudah berjumlah 130-an restoran, Helena pernah mengadakan survei kecil-kecilan. "Ternyata menu yang dilengkapi foto, penjualannya lebih tinggi. Maka, saya selalu sarankan ke klien untuk memberi foto pada menu yang memiliki margin keuntungan paling tinggi."
Untuk menciptakan buku menu dan foto makanan yang menarik selera pembeli, Helena tak segan mengajak timnya terlebih dulu makan di restoran itu. "Biar lebih dapat feel-nya," tukas wanita yang menangani berbagai restoran, mulai dari kelas middle-low hingga middle-up. "Untuk yang middle-low, kami punya paket ekonomis. Misalnya, penggunaan materi buku menu yang lebih murah. Meski murah, tapi desain tetap bagus." Untuk restoran middle-up, Helena biasanya meminta Albert Kurniawan, food photographer cukup ternama di Jakarta sekaligus suaminya, untuk mengambil foto.
Harga yang harus dibayarkan kepada PID, kata Helena, sangat bergantung pada jenis jasa yang diminta klien. Perhitungan kasarnya, untuk mendapatkan 20-an buku menu, kliennya harus menyiapkan sekitar Rp 15-20 juta untuk kelas middle-low dan Rp 40 jutaan untuk middle-up. Mahalkah? "Tergantung sudut pandangnya. Saya selalu bilang ke klien, lihatlah marketing sebagai investasi, bukan cost. Jika dilihat sebagai investasi, harga itu tak terasa mahal," tukas wanita yang pernah bekerja sebagai sekretaris.
PID berdiri pada tahun 2004, setelah Helena keluar dari pekerjaannya. Cukup lama menganggur, "Saya bosan di rumah saja. Karena Albert sebelumnya sudah berkecimpung di dunia kuliner, kami berpikir kenapa tidak mendirikan lembaga konsultan untuk restoran." Di PID, Helena banyak berperan sebagai ujung tombak. Ia yang menemui klien dan mengegolkan deal.
"Awalnya canggung karena saya banyak bertemu pengusaha restoran yang sudah sukses. Ada rasa tak percaya diri juga," ujar Helena yang lantas mengikuti berbagai seminar marketing dan public speaking untuk memupuk rasa percaya diri. Hasilnya, PID kini menjadi sumber mata pencaharian utama bagi Helena, sang suami, dan 14 orang anggota timnya.
Terlebih, bisnis restoran yang tak pernah mati memang masih menarik bagi para entrepreneur. Selain di Jakarta, Helena mengaku sudah mulai menerima klien dari luar Jawa, seperti Samarinda dan Pontianak. "Setelah kami meluncurkan website www.pidpid.com, jangkauan kami memang meluas," kata wanita yang berencana mengembangkan PID menjadi konsultan yang menangani branding produk, "Jadi tak hanya restoran saja."
Astudestra Ajengrastri
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR