Dapur Anak
Berdirinya Dapur Anak (DA) pada 2008 berawal dari ide pasangan Puji Astuti dan Awaludin. Puji yang kerja di sebuah hotel sempat melihat ada kids club dengan program cooking class diselenggarakan di hotel tempatnya bekerja. "Yang ikut anak-anak orang asing. Mreka berani, semangat, dan spontan. Jadi saya pikir, kenapa tidak diterapkan untuk anak Indonesia?" kenang Awaludin, pemilik sekaligus Promotion & Event Manager DA.
DA adalah kelas atau kursus memasak untuk anak dengan tema cooking is fun. "Anak identik dengan kegembiraan, jadi sebaiknya belajar masak sambil bermain dan gembira. Caranya, terjun langsung atau beraktivitas," jelas Awaludin yang menerima anak usia 4-13 tahun saja. "Tujuan membuat DA, agar anak belajar kebersamaan, kreativitas, mengenal nilai gizi, dan kemandirian," jelas Awaludin.
Ada beberapa kelas yang dibuka seperti kelas reguler, ulang tahun bertema, field trip, dan cooking tour. "Yang terakhir biasanya datang ke pabrik cokelat atau sosis di akhir tahun atau masa liburan," kata Awaludin.
Dalam satu kelas minimal terdiri dari 7-15 anak ditemani tiga chef. "Tapi ada juga sistem paket sebanyak 5 kali pertemuan. Tiap pertemuan bikin tiga masakan. Mulai dari appertiser, main course, dessert. Semuanya bisa dibawa pulang. Ditambah celemek, topi koki, member card, diskon, dan sertifikat." Untuk mengikuti kursus sehari biayanya Rp 200 ribu selama 2 jam, tapi tanpa sertifikat.
DA juga membuka kursus privat di rumah. "Bagi anak yang tak punya waktu atau tak mau belajar ramai-ramai, bias belajar di rumah. Terutama bagi sang ibu yang melihat anaknya punya hobi masak. Sehingga si anak bisa lebih konsentrasi, familiar, enjoy, nyaman masak di rumah," kata Awaludin yang mematok biaya privat Rp 1-1,5 juta.
Metode cooking class tak sekadar belajar masak tapi juga mengandung banyak pelajaran lain, seperti matematika saat menimbang berat tepung, juga belajar motorik kasar dan halus. "Ternyata peminatnya makin banyak, menjadi tren, dan semoga jadi kebutuhan yang sifatnya pendidikan. Orangtua pun mulai perhatian dan mengerti konsep masak," imbuh Awaludin.
Di DA juga diadakan cooking party, di mana keluarga dengan anak-anaknya berkumpul. "Yang masak, ya, anak-anak mereka," ujar Awaludin yang menyasar golongan menengah ke atas. "Anak-anak yang ikut kelas di DA beragam. Ada yang orangtuanya jago masak dan ingin anaknya juga jago masak. Atau orangtuanya tak bisa masak tapi ingin anaknya bisa masak," kata Awaludin.
Memang tak semua anak hobi masak, ada juga yang dipaksa orangtuanya. "Kalau anak itu tidak datang lagi ke kelas, berarti dia tidak hobi," jelas Awaludin yang juga membuka konsultasi saat anak kesulitan masak. "Bisa lewat telepon atau email. Saya senang karena ada perhatian dari si anak dan orangtuanya."
Kendala yang biasa ditemui saat menghadapi anak-anak di dalam kelas, khususnya pada anak usia di bawah 9 atau 8 tahun. "Harus hati-hati demi keselamatan mereka saat masak. Harus konsentrasi penuh. Tapi itu bagian dari keceriaan saja."
Wajah Grace dan Luis begitu semangat saat memasuki Chocokid Littletown (CL) di Mall of Indonesia Lantai GF. Keduanya seakan tak sabar merasakan pengalaman seru di tempat ini. Siapa, sih, yang tak suka cokelat? Meski baru buka pada 27 Juni lalu, CL mampu menyedot perhatian anak-anak.
Menurut Novika Indriani atau Novi dari CL, ide pembuatan CL diawali ketika Novi melihat permainan sejenis di Amerika Serikat. "Di Jakarta, kan, sudah banyak permainan tapi hanya begitu-begitu saja dan tak ada hasilnya. Saya ingin membuat wahana agar anak-anak happy, sekaligus ada sesuatu yang bisa dibawa pulang, lalu dipajang. Biar anak-anak jadi kreatif."
Masuk ke wahana CL, anak-anak seolah akan memasuki area peternakan sapi, Lollipop Forest di hutan, atau mobil berjalan di kota. "Ke depannya mau buat cooking class, bikin cokelat sendiri mulai dari melelehkan cokelat hasil kreasi sendiri."
Dalam waktu 40 menit, anak-anak akan melakukan empat aktivitas dengan membayar Rp 85 ribu. Mulai dari Lollypop Tree Forest yaitu mengambil tusukan dari batang pohon lalu dicelupkan ke air mancur cokelat. Lalu cow milking atau memerah susu sapi. "Kebanyakan anak kota jarang bisa memerah susu sapi. Ada figur sapinya tapi bukan sungguhan. Mereka bisa memerah susu sampai keluar susu cokelat yang bisa langsung diminum."
Lanjut ke Ice Cream Fan, seolah-olah anak berada di dalam mobil yang lantainya bisa bergoyang-goyang sambil menghias es krim. Terakhir, Master of Chocolatier yaitu mendekorasi cokelat dengan nama sendiri atau membuat wajah lucu dari template yang sudah disediakan. "Semuanya bisa dibawa pulang. Tapi namanya juga anak-anak, kadang sudah habis dimakan di sini."
Diakui Novi, CL mendapat respons cukup bagus, "Mungkin karena belum ada di kota lain. Apalagi anak-anak bisa berkreasi dan kreatif di CL. Permainan lain, kan, kadang peralatannya tidak aman. Di sini, kalau tak sengaja ada yang termakan masih aman," papar wanita yang pernah jadi pemasok cokelat.
Pemilihan tempat di mal, menurut Novi, agar didatangi banyak orang. "Di musim liburan yang datang bisa sampai 100-an anak. Bahkan di hari Lebaran mencapai 300 anak, datang dari luar kota ke sini. Sampai-sampai, pas musim libur harus dijagai sembilan petugas," papar Novi yang mensyaratkan maksimum 25 anak masuk ke CL.
Jika terlalu banyak, kata Novi, bahan baku yang ada di dalam C bisa tidak mencukupi. "Apaagi orangtuanya suka ikut-ikutan masuk ke dalam wahana. Padahal, sebenarnya mereka tak boleh masuk. Akhirnya, kami bukan hanya mengurusi anak-anak tapi juga orangtuanya."
Yang sedikit membuat Novi kesal, kadang ada orangtua yang mengancam tak mau datang lagi jika tak diizinkan masuk. "Kami akan izinkan orangtua ikut masuhk CL jika si anak memang berkebutuhan khusus atau mudah menangis saat ditinggal ibunya."
Tak ada batas maksimum usai anak yang boleh masuk ke CL. "Malah ada anak SMA yang datang hanya buat foto-foto di sini. Atau cokelatnya dijadikan kado buat pacarnya," ujar Novi sambil memperlihatkan template funny faces dan alfabet untuk mencetak cokelat seharga Rp 65 ribu. "Yang harganya Rp 125 ribu bentuknya farm, castle, dog house, dan food station," lanjut lulusan akunting sebuah unibersitas di Australia ini.
Noverita K Waldan / bersambung
KOMENTAR