Cincau Hijau Serat MINUMAN SEHAT BUATAN SENDIRI
Bisnis Cincau Hijau Serat makin menggeliat berkat sitem delivery. Padahal awalnya hanya iseng-iseng saja membuat cincau kemasan dengan label sehat. "Keluarga kami, khususnya ayah saya selalu menekankan makanan sehat. Termasuk jika ingin makan cincau, selalu bikin sendiri," kata Tresia atau yang sering dipanggil Chica.
Tujuh tahun lalu, ibu dua anak ini merintis bisnis cincau kemasan yang ditiipkan ke outlet milik sang ibu di Fresh Market, Pluit, Jakarta Utara. Ketika itu ia didatangi pemilik supermarket asal Malaysia. "Kami diminta memasukkan cincau di supermarketnya."
Seperti sudah menjadi jalan yang diberikan Tuhan, "Kebetulan saya beli tanah di Sentul yang cukup luas. Tanah itu kosong. Saya langsung tanami tumbuhan cincau." Karena dianggap berkah, Chica terus mempertahankan cincau yang diproduksinya tanpa pewarna dan pengawet. "Jadi bahannya hanya air dan daun cincau."
Oleh karena mengusung makanan sehat, risiko pun cukup besar. "Cincau ini hanya tahan 2-3 hari dan harus disimpan di tempat yang dingin," jelas Chica. Untuk membuktikannya, lanjut Chaca, sangat mudah. Letakkan saja cincau di tempat yang panas beberapa jam. Pasti rasanya jadi asam. "Soalnya produk kami memang tidak pakai pengawet."
Standar kehalusan Cincau Hijau Serat juga tak bisa dilakukan. "Kadang ada yang halus, kadang juga sedikit kasar. Semua tergantung dari daun yang dipetik, apakah tua atau setengah tua." Yang bisa dipertahankan, lanjut Chica, adalah faktor kesehatan. "Menurut kami, justru itu yang penting dan akan terus kami pertahankan. Bagi kami, bisnis juga harus mencari berkah."
Strategi pemasaran yang dilakukan, Chica hanya mengandalkan pemesanan dari sekitar 7 nama supermarket dan para pelanggan perorangan serta restoran. Namun produknya sudah dijual di sekitar 40-50 supermarket. Untuk cincau yang dijual di supermarket, Chica menjual eceran per gelas dengan berat 300 gram dan dibandrol Rp 9 ribu. Sementara untuk perorangan dijual per dus dengan gelas 200 gram isi 7 dan 1 gelas isi gula seharga Rp 40 ribu.
Untuk supermarket ada sistem konsinyasi. "Sedangkan pemesanan perorangan bisa dilakukan sehari sebelumnya. Tapi kalau kami punya stok hari itu, bisa kami kirim langsung," tandas Chica yang saat ini masih mengandalkan pesanan dari supermarket. "Tapi untuk hari-hari tertentu, banyak juga pemesanan dari perorangan dan restoran."
Chica belum ada rencana mengembangkan pemasaran cincaunya. Yang kini sedang dipikirkan justru inovasi pengemasan produknya. Saat ini Cincau Hijau Serat dikemas dalam gelas plastik dan gula terpisah. Nah, rencananya dalam gelas itu ada wadah khusus. Jadi lebih praktis. "Sekarang sedang dipikirkan cara bikinnya."
Soal pemasaran, lanjut Chica yang kini punya 30 karyawan, tak terlalu ngoyo. "Pesanan dari supermaket, kan, mereka yang minta." Beberapa waktu lalu Chica mengaku sudah dihubungi pengelola jaringan supermarket kelas atas untuk mamasok cincau. "Sekarang masih dalam penjajagan."
Sebab Chica dan suaminya, Arief pernah punya pengalaman buruk menawarkan produknya ke sebuah jaringan supermarket besar. "Untuk bertemu orangnya saja susah minta ampun. Kalau toh kami yang minta, harus dikenai biaya ini-itu, malah rugi," tandas Arief menimpali.
Senada dengan istrinya, bisnis cincau yang kini menjadi sandaran hidup keluarganya ini harus memberi berkah bukan hanya untuk pelanggan, tapi juga para karyawannya. "Di kebun, yang memetik daun cincau adalah perempuan-perempuan yang sudah lanjut usia."
Sekitar lima tahun lalu ketika memutuskan berhenti bekerja karena hamil anak pertama, Indira Bayurini (30) mulai merancang untuk memulai usaha. "Saya ingin cari kesibukan, tanpa harus meninggalkan rumah. Pilihan saya memulai bisnis masak, bidang yang saya suka," kisah Indira.
Lebih khusus lagi, Indira memilih mengembangkan usaha masakan yang berdasarkan resep favorit keluarganya. "Nenek membagi resepnya lalu saya rajin mencatatnya. Dari hasil obrolan dengan suami, Aryan Pramudito, kami sepakat memulai bisnis kuliner dengan menu andalan dari eyang. Saya dan suami bersama-sama masak ayam kodok. Lalu, suami mengabarkan lewat Twitter. Sejak itu, tiap saya selesai masak, suami rajin men-tweet hasil masakan saya. Kebetulan, saya dan suami memang punya akun Twitter."
Awalnya Indira mengandalkan dua menu andalan yaitu ayam kodok dan lidah masak. "Hanya teman-teman dekat yang pesan. Itu pun sudah sangat lumayan. Saya beberapa kali menerima masakah untuk berbagai acara, termasuk acara lamaran. Pernah juga saya dapat pesanan untuk 50 orang. Wah, capek banget karena saya belum punya asisten. Selanjutnya, saya tak mau menerima pesanan dalam jumlah besar, meski pernah ada yang menawari untuk kebutuhan 200 orang. Saya mau hanya sebatas pesta kecil. Nah, dari dua menu itu, lebih banyak yang pesan masakan lidah," papar ibu dua anak asal Pati (Jateng) ini.
Mulai tahun ini, Indira menawarkan dua menu baru warisan keluarga, yaitu jambal mentega dan sambal peda. Kali ini, ia didukung suaminya yang ingin lebih serius lagi. "Ini menu paduan sambal dan ikan asin. Menu yang menurut saya pengacau diet. Kalau sudah makan, maunya tambah terus. Kelak, saya ingin lebih mengembangkan produk baru tapi tetap berbasis sambal dan ikan asin."
Indira pun memberi merek usahanya Babu Gaya, sebuah nama yang unik. "Ini sebenarnya singkatan dari anggota keluarga kami. Anak-anak, kan, memanggil bapak ibunya dengan sebutan Baba dan Bubu. Ditambah singkatan nama dua anak saya, Nandanaga dan Nuancaya," katanya sembari tersenyum.
Kemasan yang menarik pun digarap Indira. Masing-masing kemasan berisi 200 gram dan ditawarkan dengan harga Rp 25 ribu. Ia sengaja berjualan secara online dengan memanfaatkan Twitter. Ia rajin men-tweet produk barunya. "Kebetulan, saya punya kawan di Twitter yang punya follower banyak. Ketika dia me-retweet, otomatis banyak follower-nya yang tahu Babu Gaya. Dari situ, banyak yang mulai pesan."
Puncak pesanan datang saat Lebaran lalu. "Sayang, saya enggak rajin mencatat jumlah pesanan. Saya hanya mengumpulkan bukti pengiriman," ujar Indira yang mengirimkan produknya lewat jasa pengiriman barang. "Saya kirim ke sekitar 120 orang. Padahal, banyak yang pesan lebih dari satu item. Itu belum termasuk yang saya kirim via jasa kurir."
Uniknya, untuk jasa kurir, Indira sengaja memanfaakan tukang ojek tak jauh dari rumahnya di kawasan Petukangan Selatan (Jaksel). "Dia sudah hafal Jakarta. Dia kerap kirim ke kantor-kantor di kawasan Sudirman. Kurir saya juga kirim untuk pelanggan yang pesan masakan," kata Indira yang punya pelanggan dari luar kota. "Saya pernah kirim sampai ke Batam dan Pekanbaru."
Kini, Indira sudah dibantu seorang karyawan. Dalam seminggu, ia mampu memproduksi tak kurang dari 150 kemasan jambal mentega dan sambal peda. "Sekarang, dua menu ini jadi andalan utama. Keuntungan yang saya raih cukup lumayan. Lebih besar daripada gaji saya semasa masih bekerja."
Lebih menggembirakan lagi, dengan jumlah follower 2.500 orang, ada sebuah perusahaan yang meliriknya. Sekali mentweet, ia menerima penghasilan dalam jumlah tertentu. Khusus untuk iklan ini, "Saya menerima jutaan rupiah per bulan. Makanya saya makin mantap menekuni usaha ini," ujar Indira yang kini juga menerima pesanan katering.
Sukrisna, Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR