Dari 37 bab dalam buku ini, hampir dua pertiganya didedikasikan Endang untuk keluarganya. Ia bercerita tentang kisah cintanya dengan sang suami, dr. Mamahit SPOG, yang dipanggilnya dengan nama Renny. Endang juga menyisihkan banyak bab untuk membahas ketiga putra-putrinya, Arinanda Wailan Mamahit yang kidal dan menderita buta warna namun tergila-gila pada desain, Awandha Raspati Mamahit yang sangat supel dan punya banyak akal jahil, serta Rayinda Raumanen Mamahit, putri satu-satunya yang kuat dan perkasa.
Di buku ini pula Endang menceritakan perjalanan kariernya yang luar biasa. Mulai dari pekerjaan pertamanya di RS Pertamina Jakarta, ditempatkan di sebuah puskesmas di Sikka (Flores), masa suram saat dicopot sebagai Kepala Puslitbang, kedekatannya dengan Namru 2 (Naval Medical Research Unit) yang kontroversial, hingga telepon dari Sudi Silalahi yang mengubah jalan hidupnya.
Yang menarik, ingatan Endang tentang Sikka sungguh rinci. Pembaca pun seakan ditarik masuk ke setting tahun 80-an di Sikka, di mana Endang dan Renny mengabdi pada masyarakat dalam keadaan serba terbatas.
Ditulis dari ranjangnya di RSCM, di antara rasa sakit yang menderanya, Endang juga menghadirkan cerita perjuangannya melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Meski sendu, penuturan Endang tentang hari-hari terakhirnya terasa tidak cengeng. Seperti yang ia inginkan, buku ini merekam jejak hidupnya sebagai sosok perempuan luar biasa, dengan sempurna.
Intan, Ajeng
KOMENTAR