Awalnya kami syok tapi anak-anak belum kami beritahu. Lalu dia melaporkan temuan ini kepada Presiden SBY dan menyerahkan keputusan selanjutnya kepada beliau. Pak SBY mendukung untuk berobat. Sejak itulah, saya dan dia mulai mencari pengobatan yang tepat.
Sejak awal dia tidak mau menjalani kemoterapi karena tahu reaksinya akan sangat mual. Obat yang buat orang lain tidak menimbulkan efek mual, pada dia justru sangat terasa. Jadi, kemoterapinya lewat pil yang mualnya tidak sehebat lewat infus. Apalagi, sehari-hari dia mual terus sejak 1,5 tahun belakangan. Mualnya hanya hilang kalau dia bekerja. Jadi, dia terus saja bekerja. Dia, kan, workaholic dan enerjik. Kadang-kadang saya juga dikalahkan oleh pekerjaannya.
Setelah anak-anak diberitahu, kami senantiasa memberinya dukungan. Kami berenam (sekeluarga termasuk menantu, Red.) punya grup sendiri di BlackBerry (BB). Kalau dia memberitahu sesuatu berkaitan dengan penyakitnya, kami langsung memberi dukungan, nasihat, dan semangat untuk menghadapi penyakitnya. Kalau diingatkan untuk istirahat, dia bilang pekerjaannya nanti malah enggak selesai. Sekarang, anggota grup BB-nya berkurang satu. (Mata Mamahit menerawang.) Ke mana pun berobat, kami selalu berdua. Termasuk ke Guang Zhou, China, sekitar Desember 2010.
Kok, ke sana?
Dokter di sini memberi informasi soal pengobatan alternatif yang ada di sana. Namanya cryosurgery, di mana ada alat dimasukkan ke dalam tubuh untuk membekukan sel kanker hingga suhu -160 derajat Celsius, sehingga selnya rontok. Ternyata berhasil. Sel kanker di paru-parunya hilang. Namun saat dievaluasi lagi, ternyata sudah ada penyebaran meski hanya berupa satu titik, masing-masing di tulang belakang, tulang paha, dekat jantung.
Kondisinya saat itu belum menurun, karena dibantu pil kemoterapi. Tetap mual, tapi dihilangkan dengan bekerja. Dia juga rajin berenang. Di halaman belakang, memang spesial saya buatkan kolam renang buat olahraga dia. Rupanya, penyebaran peyakitnya makin banyak, termasuk ke otak. Berdasar pemeriksaan terakhir, dia harus disinar, termasuk di tulang-tulang dan otak. Itu dilakukan selama tiga bulan terakhir.
Dari hari ke hari, kondisi dia jadi drop. Mungkin karena makin banyak larangan, seperti tidak boleh jalan terlalu lama agar tulang tidak patah. Kalau sudah patah, tak bisa disambung lagi. Kalau jalan harus pakai penyangga. Nah, mungkin secara kejiwaan semua itu berpengaruh baginya sehingga kesehatannya langsung drop. Kadang makanan yang sudah ia pesan, enggak dimakan. Belakangan, dia memutuskan mundur dari jabatannya sebagai menteri.
Anda langsung setuju?
Dia merasa tidak bisa maksimal bekerja kalau terus menjabat. Saya serahkan keputusan ini padanya, karena dia yang tahu kondisinya. Kalau memang dirasa tidak mampu, lebih baik beri kesempatan ke orang lain yang bisa bekerja dengan lebih baik. Katanya, kalau sudah keluar dari RSCM, dia ingin bekerja kembali. Sebelum kondisinya drop begini, dia bilang hanya mau menjabat satu periode saja karena dia memang orang yang tidak pernah mau nambah. Ternyata, satu periode saja enggak selesai.
Apa pesan terakhir almarhumah?
Dalam rapat keluarga terakhir dengan saya dan anak-anak, dia bilang akan resign karena kondisi kesehatannya tidak bisa dikontrol. Katanya, dia harus bersikap adil dan fair terhadap negara yang sudah memberi nama kepadanya dengan menjadi menteri kesehatan. Dia juga minta keluarga untuk memperhatikan tugas masing-masing. Artinya, yang masih sekolah harus menyelesaikan, yang sudah bekerja harus bekerja dengan sebaik-baiknya.
Adakah keinginannya yang belum kesampaian?
Enggak ada. Sejak dulu, dia punya kebiasaan kalau memang keinginannya tidak kesampaian, tidak masalah. Karena dia tahu betul di dunia ini tidak semuanya bisa berhasil.
Bagaimana menggambarkan rasa kehilangan setelah 33 tahun selalu bersama?
Sulit dilukiskan. Yang jelas, mulai sekarang saya tidur sendirian. Selain itu, Sabtu dan Minggu yang biasanya selalu kami lewati bersama dengan jalan-jalan berdua, bersama anak-anak atau kegiatan lainnya, sekarang tidak ada lagi. Dia juga belum sempat melihat cucu pertamanya lahir karena sekarang kehamilan menantu kami baru berusia tiga bulan. Tapi dia bilang, enggak apa-apa, toh nanti bisa melihat dari "atas".
Sama seperti sang ayah, putra kedua Endang, Awandha Raspati Mamahit, juga terlihat tegar. Ia segera terbang dari Jenewa setelah mendapat kabar kondisi sang ibu makin buruk.
Kapan terakhir berkomunikasi?
Terakhir komunikasi dengan Mama lewat Skype, Rabu (2/5). Saat itu saya sedang transit di Abu Dhabi dalam perjalanan ke Jakarta. Mama sebenarnya masih mendengar tapi hanya bisa memberi reaksi dengan gerakan tangan. Saya bilang, "Ma, Wandha mau pulang." Mama mengacungkan jempol menandakan "Oke". Saya tanya lagi, "Mama sakit, enggak?" Mama memberi isyarat "tidak" lewat tangan. Mama juga masih bisa menulis, "Jangan sedih dan nangis, ya. Semua terserah Allah mana yang terbaik. Kamu harus ikhlas."
Tadinya saya baru akan akan pulang setelah selesai kuliah tapi ternyata kondisi Mama makin menurun. Akhirnya saya putuskan pulang lebih awal. Sayangnya, saya tidak sempat mengantar kepergian Mama...
Seperti apa sosok Mama?
Sebelum dan sesudah jadi menteri, Mama tidak pernah berubah. Kalau di keramaian, Mama justru kurang nyaman karena Mama, kan, peneliti. Sifat peneliti itu introvert, tertutup, tapi dalam arti positif. Saat Mama diangkat jadi menteri, tentu saja kami senang karena Mama bisa mengaplikasikan ide dan apa yang dipelajari selama ini, meski waktu Mama buat keluarga pasti akan berkurang.
Bagaimana Mama menceritakan penyakitnya kepada anak-anak?
Mama selalu berkata apa adanya, tidak mempermanis ataupun memperburuk. Kami harus bisa menerimanya. Meski awalnya syok karena Mama terlihat begitu sehat meski sudah stadium IV.
Ada rencana yang batal?
Tanggal 12 Mei nanti sebenarnya saya diwisuda. Sejak dua bulan lalu, sebelum Mama stroke, saya sudah bilang, Mama dan Papa harus datang saat wisuda. Tidak lama setelah itu ternyata Mama stroke.
Apa makanan favorit buatan Mama?
Mama hampir jarang masak. Mama suka bikin chicken fillet yang rasanya enak banget tapi kalau disuruh mengulang masakan yang sama, Mama enggak bisa dan enggak mau. Baru kalau ada mood Mama masak.
Bagaimana rasanya saat Mama dibicarakan orang?
Saya tidak pernah percaya apa yang dimongin orang tentang kejelekan Mama. Saya lebih percaya Mama. Awal-awalnya saya marah kenapa Mama dijelekin karena Mama tidak seperti itu. Tapi kami memang tidak bisa menyenangkan semua orang dan kenyataan itu tentu saja harus diterima.
Ada firasat sebelum kepergian Mama?
Tidak ada sama sekali. Begitu juga saat Mama terserang stroke. Saya percaya, Mama akan bisa melewatinya karena selama 1,5 tahun sudah berjuang keras melawan penyakitnya. Hati Mama kuat, meski sosoknya mungil dan lemah gemulai.
Bagi kami, Mama itu iron lady. Bayangkan saja, Mama bisa kuliah, belajar, bikin paper sendirian di luar negeri selama bertahun-tahun tanpa ada keluarga. Mama jadi figur buat anak-anaknya. Meski ditinggal, kami juga tidak menjadi sosok manja, sedih, lalu malas sekolah. Mama juga selalu mengajarkan untuk menghargai pilihan orang.
Hasuna Daylailatu, Noverita, Renty, Sukrisna
KOMENTAR