Rabu pagi (14/3), seorang pemulung menemukan bungkusan plastik besar berwana hitam di tepi jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, dekat Stasiun Televisi Indosiar. Ia pun terkejut bukan kepalang mendapati tubuh seorang lelaki tanpa busana di dalam plastik tadi. Tergopoh-gopoh ia melaporkan temuannya pada satpam Indosiar yang segera menghubungi Polsek Daan Mogot.
Jasad pria itu, kata Kasat Reskrim Polres Jakbar, AKBP Abdul Karim, dipenuhi luka lebam akibat pukulan keras benda tumpul dan kedua kakinya terikat erat oleh lakban. Dalam pesan Blackberry Messanger (BBM) yang belakangan beredar, di jasad itu terlihat pula sisa-sisa kejahatan seksual. "Belum pasti karena visum dari RSCM belum keluar," bantah Karim.
Yang jelas, dari hasil identifikasi polisi berdasarkan laporan orang hilang, jasad itu adalah Ignatius William Liem alias Willy, pewaris PT Logam Bima.
Tebusan Belasan Milyar
Willy baru dua bulan ini kembali ke Tanah Air. Sebelumnya, ia menamatkan studi di University of Fransisco setelah lulus dari University of Manchester (Engineering) dan SMU di Australia. Sebagai anak lelaki satu-satunya pasangan Paul Liem Hwie Liong dan dr. Cynthia Limandibrata, pemilik PT Logam Bima, Willy memang sudah disiapkan menjadi 'pewaris tahta'.
Namun begitu kembali ke Indonesia, Willy malah mendirikan LA Disco Production bersama teman-temannya. Perusahaan production house dan event organizer ini didirikan Februari 2012 dan berkantor di Jakarta Selatan. Melalui perusahannya ini, Willy membuat sebuah program otomotif bernama Ngepotz, meski hingga kini program ini belum tayang di televisi. Agar dekat dengan tempat kerjanya, Willy memilih tinggal di sebuah apartemen di bilangan Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
Alkisah, Minggu (11/3), Willy bertolak ke Bandung untuk merayakan ulang tahun sang bunda. Tak ada yang menyangka, itulah kali terakhir ia berkumpul bersama keluarga. Malam itu juga, Willy bergegas pulang ke Jakarta dengan alasan ada rapat pagi dengan rekan kerjanya.
Esoknya (Senin, 12/3), Willy diantar supirnya ke kawasan Panglima Polim, tempatnya rapat. Saat menunggu teman yang belum datang, Willy menerima telepon dari seseorang yang memintanya menemuinya di sebuah mobil, tak jauh dari mobilnya parkir. Merasa tak ada yang aneh, Willy menyuruh sang supir meninggalkannya di situ.
Menjelang pukul 14.00, sang supir yang menelepon hendak mengingatkan ada rapat lain yang harus dihadiri Willy, mendapati ponsel Willy tak aktif. Setelah dicari ke sana-sini, Willy tak juga ditemukan. Saat itulah keluarga memutuskan melaporkan hilangnya Willy ke Polda.
Ponsel Willy baru aktif lagi pada hari Rabu, meski ketika dihubungi tak diangkat. Esok harinya, Paul, sang ayah, menerima BBM dari nomor milik Willy. Bukan dari anaknya, namun dari seseorang yang mengaku penculik Willy. Ia meminta tebusan Rp 19 M! Belum sempat memenuhi ancaman tersebut, mayat Willy keburu ditemukan di pinggir jalan. Nekatnya, sang penculik masih minta tebusan sebesar Rp 11 M berikut ancaman akan menculik anggota keluarga lain bila permintaannya tak dipenuhi. Willy memang bukan anak tunggal, ia memiliki dua saudara perempuan, Michelle dan Luisa.
Betapa syok keluarga menemui Willy sudah terbujur kaku di ruangan mayat RSCM dengan keadaan mengenaskan. Jenazah kemudian dibawa ke Bandung dan disemayamkan di Rumah Duka Boromeus untuk kemudian dikremasi. Selasa (20/3), para pelayat berwajah murung membludak memberi penghormatan terakhir untuk Willy. Dalam misa yang berlangsung syahdu tersebut, harpis Maya Hasan memainkan alunan harpa yang sendu.
Setelah kematian Willy, pihak keluarga menutup mulut rapat-rapat. Rumahnya di bilangan Setiabudi, Bandung, yang dikelilingi pagar tinggi tampak sepi. "Saya hanya menyampaikan pesan Ibu, dia mohon dimengerti kondisinya," ujar Ferry, penjaga rumah. "Ibu tidak bisa diganggu karena masih berduka, walau sudah mengikhlaskan. Ibu tidak bersedia berkomentar apa pun dan menganggap musibah ini sudah terjadi, semoga tidak menimpa keluarga lain."
Kepada warga sekitar, kematian Willy juga seakan dirahasiakan. "Saya malah tidak tahu ada yang meninggal, hanya dibilang ada yang sakit. Itu saja," ucap seorang pemilik warung di muka rumah itu.
Aksi tutup mulut juga ditegaskan dr. E. S. Limandibrata, kakek Willy yang dikenal sebagai dokter ahli penyakit dalam. Ketika dihubungi lewat telepon, ia hanya berucap, "Soal itu adalah urusan keluarga. Kami anggap semua sudah selesai, tidak ada investigasi segala macam. Kami pihak keluarga menganggap ini musibah, sudah selesai. Mohon jangan campuri urusan keluarga. Tolong pengertiannya," ujarnya lantas menutup telepon.
Sementara itu, Paul juga tak terlihat masuk kerja di PT Logam Bima di Jl Arjuna, Cicendo, Bandung, setelah kematian anaknya. "Harus buat janji dulu dengan Bapak untuk bertemu," tegas seorang petugas sambil lalu.
Kejelasan justru datang dari beberapa teman Willy. Setelah misa pemakaman, beberapa teman Willy memposting ucapan bela sungkawa di jejaring sosial Twitter. Sementara beberapa lainnya membuat twitseries yang berisi kronologis kematian Willy, berdasarkan cerita Cynthia ketika misa. Kronologis ini jugalah yang kemudian dikirimkan secara berantai lewat BBM. Sayang, saat dihubungi untuk dikonfirmasi, para pemilik akun tersebut bungkam. "Maaf, keluarga ingin ini tidak dieskpos," ujar mereka.
Desas-desus yang beredar mungkin jadi alasan keluarga ini menutup diri. Di Bandung, terdengar kabar kematian Willy ini dilakukan oleh orang dekat keluarga. Alasannya sederhana, mereka tak terima Putra Mahkota yang masih muda itu mengambil alih pabrik.
Kisah sang putra mahkota nan tragis ini juga membuat salah seorang kawan lama Willy, Tarsih Ekaputra, syok. Tarsih pernah bekerja bersama Willy dan Handoko Limaho, kawan karib Willy, untuk program bernama Impian 1 Milyar. "Willy adalah managing partner dari Handoko sebagai penggagas program ini. Tahun 2011 itu, Willy masih baru di dunia kerja. Dia bilang ingin belajar banyak," cerita Tarsih.
Willy, dalam ingatannya, adalah pribadi yang banyak cerita dan gampang akrab dengan siapa saja. "Dia juga cerita akan mewarisi perusahaan keluarganya. Bahkan, kalau tidak salah, dia cerita sudah dibuatkan rencana memimpin sebuah pabrik baru lagi. Dia bilang, 'Nanti bantu saya urus publikasi, ya'," ujar Tarsih yang memang bekerja di sebuah perusahaan PR consultant bernama Intuisi Public Relation ini.
Ketika bekerja bersama Willy jugalah Tarsih melihat minat Willy sangat besar di bidang produksi. "Dia selintas bilang belum siap masuk pabrik. Sepertinya passion-nya memang di sini. Dia minta waktu pada ayahnya untuk menjajal bisnis sebelum pegang pabrik, lalu dibolehkan. Jadilah Handoko mengajak Willy terlibat proyek ini."
Meski berasal dari keluarga berada, lanjut Tarsih, Willy tak pilih-pilih teman. "Malah saya yang sering mengingatkan dia untuk hati-hati. Tapi jawaban dia selalu enteng saja, 'Ah, aku enggak ada perasaan jelek, Mas,' begitu selalu katanya."
Selama roadshow ke beberapa kota di acara Impian 1 Milyar, Willy juga kerap bercerita pada Tarsih mengenai kehidupannya. Termasuk kisah cintanya. "Tapi terakhir ketemu dua bulan lalu, dia mengaku jomblo. Willy itu masih anak-anak sekali lah. Masih begitu muda," ujar Tarsih maysgul. Dalam pertemuan terakhir itu, Willy bersama Handoko dan tim Impian 1 Milyar membicarakan kemungkinan periode ketiga yang sedianya berjalan tahun depan. "Dengan adanya kejadian ini, entahlah jadinya seperti apa. Belum kami bicarakan lagi," ujarnya.
Sementara itu, Handoko Limaho, kawan akrab Willy tak menjawab ketika dihubungi melalui surel. Kepada Tarsih, Handoko hanya berpesan, "Saya tidak bisa bicara, Mas. Ini permintaan keluarga Willy."
Renty, Ade Ryani, Ajeng, Krisna / bersambung
KOMENTAR