Pernah tapi kemudian saya ketemu orang Kecamatan di Polonia. Oleh dia, saya dipulangkan lagi ke Pak Regar. Sejak itu saya semakin ketat diawasi. Saya juga pernah mencoba bunuh diri dengan memotong nadi di tangan, tapi ketahuan Pak Regar dan nyawa saya diselamatkan.
Bagaimana akhirnya bisa lari dari Pak Regar?
Itulah puncaknya. Saat itu saya kelupaan bikin jamu untuk salah satu anaknya. Mungkin karena Pak Regar sedang ada masalah, dia melampiaskan ke saya. Wajah saya ditampar keras-keras tiga kali. Sungguh saya tidak tahan lagi.
Saat itu di rumah sedang ada calon mantu Pak Regar. Ketika semua orang sedang berada di lantai tiga, dia menghampiri saya. Dia bilang, kalau saya mau lari, sekarang saatnya. "Kalau tidak, kamu bisa mati di sini," katanya sambil memberi saya uang Rp 50 ribu.
Saya buru-buru lari keluar, sempat menyambar sepotong baju yang masih tergantung di jemuran dan plastik kresek. Untungnya, rumah yang baru ditempati selama enam bulan itu masih direnovasi, sehingga pintu pagar tidak tertutup rapat.
Kemudian?
Saya lari terus sampai ketemu musala. Kepada penjaga musala, saya bilang mau menginap di situ. Tapi saya malah jadi perhatian orang yang akan salat. Setelah tahu cerita saya, mereka mengantar lapor ke polisi.
(Dengan dibantu Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak, tanggal 8 Februari Sri kemudian membuat pengaduan dan menuntut keluarga Regar. Kini Sri tinggal di Rumah Aman milik lembaga tersebut.)
Apa rencana sekarang?
Setelah kisah saya ini tersebar di Facebook, ternyata banyak tanggapan dari warga Jumo. Kemudian saya dikirimi foto Bapak dan Budiono. Saya ingin ketemu mereka. Ingin segera pulang ke Jawa dan berkumpul dengan keluarga.
Saya tidak marah pada Pak Regar. Mungkin memang takdir hidup saya seperti ini. Saya tidak marah, tapi saya minta ganti rugi.
"Dia sudah saya angkat sejak umur 8 tahun, tak mungkin saya semena-mena padanya!" tukas P Mangaraja Siregar di muka rumahnya, Jl Brigjen Katamso, Medan. Ia pun membantah pernah berbuat keji pada si Butet. Layaknya anak sendiri, Regar mengaku telah menyekolahkan Sri saat kecil.
"Saya sekolahkan dia. Bahkan segala perlengkapan sekolah sudah saya belikan tapi dia sendiri yang mau berhenti sekolah saat kelas 5 SD."
Pertama kali bertemu Sri, kenang Regar, "Dia nangis-nangis sama saya, makanya saya angkat anak. Saya juga tidak punya anak perempuan." Masih menurut Regar, selama tinggal dengannya, Sri tak pernah menyebut ingin pulang ke kampungnya di Jawa.
Setelah kasus ini mencuat, sudah dua kali Regar memenuhi panggilan Polsek Medan Kota untuk penyidikan, meski statusnya masih sebagai saksi. "Kami tak mau gegabah menentukan status tersangka. Kejadian ini, kan, sudah 25 tahun yang lalu," ujar Kapolsek Medan Kota, M Hari Sandy Sinurat, SIK, MH.
Debbi Safinaz
KOMENTAR