Nanik memang sudah berpengalaman dalam soal memperindah rambut karena ia memiliki salon bernama Citra. Ia pun membeli obat rebonding merek Du yang biasa dipakainya. Membelinya pun di toko kosmetik langganannya, di ruas Jalan Panglima Sudirman, Trenggalek. Tiba di rumahnya yang juga merangkap salon, ia siap menangani rambut putrinya. Ia membagi rambut dan mengoleskan obat dengan luwes, meski sedikit terganggu dengan bau obat yang lebih menyengat dari biasanya.
Saat mengoleskan obat ke bagian atas rambut Desy, sontak ia dikejutkan teriakan Desy. "Panas, Bu! Sirahku panas (kepala saya panas, Red.)." Panik dengan reaksi anaknya, Nanik menghentikan proses rebonding dan langsung mengeramasi rambut putrinya. Usai keramas, Nanik yang berniat meneruskan proses ini dengan smoothing, dibuat terperanjat lagi. "Rambut Desy rontok saat saya pegang. Tak cuma satu-dua helai, tapi rontok bergenggam-genggam. Sambil menangis, saya tampung rambut Desy di kantung plastik," kisah Nanik.
Ganti Transpor & Perawatan
Setelah kekalutannya mereda, Nanik buru-buru kembali ke Toko Pojok, tempatnya membeli obat Du tadi. "Ini bagaimana, kok, rambut anak saya jadi rontok?" ujarnya meminta pertanggungjawaban si pemilik toko. Yang ditanya hanya angkat bahu. "Jangan salahkan saya. Saya, kan, cuma penjual," jawab si pemilik toko. Melihat Nanik kebingungan, pemilik toko membantu meneleponkan ke produsen Du untuk bicara langsung dengannya. "Sudah, Bu, bawa ke Surabaya saja. Nanti biaya transpor dan perawatan kami ganti," ujar Nanik menirukan ucapan si produsen.
Tanggapan itu, kata Nanik, justru membuatnya merasa aneh. "Kok, mereka tidak bertanya atau curiga apa-apa. Gampang sekali menawarkan solusi pergi ke Surabaya," tutur Nanik yang kemudian berinisiatif menghubungi saudaranya yang juga pernah berpraktik sebagai pengacara, Agus Istiyardi, SH. Bersama Agus, Nanik melaporkan kasus ini ke Polres Trenggalek. Sementara Desy dilarikan ke rumah sakit.
"Saya kapok meluruskan rambut. Seminggu setelah kejadian itu, kepala saya masih sering terasa panas. Kata dokter, sebaiknya ke dokter spesialis tapi saya belum punya uang," ujar Desy yang kini mau tak mau berambut pendek.
Di sisi lain, obat pelurus rambut yang jadi biang keladi rontoknya rambut Desy kini sedang diteliti di laboratorium forensik oleh Polda Jatim dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Surabaya. "Jika hasilnya sudah keluar, baru kami akan memanggil pihak produsen dan menentukan ini perkara pidana atau bukan," ujar Kasubag Humas Polres Trenggalek AKP Siti Munawaroh, yang menerima laporan Nanik.
Dari salah satu petugas bagian layanan konsumen BPOM Surabaya diperoleh penjelasan, krim pelurus rambut Du absah adanya meski, "Di kemasan tertulis Cosmetics U.S.A tapi nyatanya dibuat di Surabaya." BPOM mencatat Du berada di bawah lisensi PT USA, Surabaya. "Kami pernah mendatangi alamat itu dan ternyata itu industri skala rumahan, bukan pabrik," ujar sang petugas.
Ia juga berujar, laporan atas produk Du baru diterima oleh BPOM Surabaya dari Nanik seorang. "Bisa saja kasus ini hanya kasus alergi semata atau kulitnya yang bermasalah. Buktinya, di daerah lain tak ada yang bermasalah," kilah sang petugas BPOM.
Saat disambangi ke alamat yang disebutkan, tak ada rumah bernomor seperti yang disebutkan si petugas. Nomor telepon "pabrik" yang tercatat di BPOM Surabaya itu pun, tak diangkat saat dihubungi.
Jelas, Nanik tak mau disalahkan begitu saja. Apalagi, katanya, ini bukan kali pertama ia me-rebonding rambut Desy dengan krim Du. Bahkan, dengan merek yang sama, Nanik yang juga buka kursus ini mengajarkan tata cara rebonding kepada ratusan muridnya. "Saya ini guru salon, tahu teori dan cara melakukan rebonding. Jadi, tragedi ini bukan karena saya salah prosedur!" tuturnya keras.
Lapor & Fasilitator
Apa yang dialami Desy mungkin juga pernah dialami konsumen lainnya. Terlebih kini di pasaran banyak dijual produk kosmetik 'abal-abal' yang beredar bebas. "Sebagai konsumen, mau tak mau kita harus cerdas," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, SH. Artinya, sebelum membeli sebuah merek, jangan pernah lupa membaca kemasannya. Setidaknya, harus tertera asal dan alamat produsennya. "Jadi, kalau ada masalah, konsumen bisa menghubungi produsen untuk minta pertanggungjawaban," ujar Sudaryatmo.
Ia juga mengingatkan, tak semua kosmetik yang beredar di pasaran memenuhi standar penulisan label. Masih banyak produk impor yang menggunakan bahasa negara asal sehingga sulit dipahami kandungan dan efek sampingnya. "Setelah CAFTA pada 2010 lalu, banyak barang dari negara ASEAN yang masuk ke Indonesia tanpa proses uji lab," jelas Sudaryatmo. "Ini berarti kontrol pemerintah sangat longgar. Tak ada yang bisa menjamin keamanan kosmetik yang beredar."
Kendati demikian, jika konsumen mengalami kerugian karena menggunakan suatu kosmetik tapi tak bisa menghubungi produsen barang tersebut, YLKI bersedia memfasilitasi. "Kalau ingin membuat pengaduan bisa datang langsung ke kantor, lewat surat, telepon, atau jejaring sosial. Tapi kalau ingin menindaklanjuti, konsumen harus datang langsung atau mengirim surat pada kami," lanjut Sudaryatmo. Adapun Nanik, hingga saat ini belum mengadukan keluhannya ke YLKI. "Jika konsumen mau membawa ke jalur hukum, itu hak mereka. Kami fokus ke aspek perdata."
Laili, Ade Ryani, Amir Tejo / bersambung
KOMENTAR