Salah satu minuman yang harus dicoba saat dolan ke Solo adalah wedang kacang. Semangkuk wedang hangat ini lumayan mengenyangkan. Kacang tanah yang telah diolah terasa sangat empuk. Meski wedang kacang ini kuahnya berwarna putih, tetapi tak menggunakan susu atau santan.
Warung Wedang Dongo Keprabon adalah salah satu penjual wedang kacang yang terkenal di Solo. Lokasinya di Keprabon, tepat di pojok perempatan sebelum masuk jalur utama Jl Slamet Riyadi. Warung ini milik Anik Yulianti, keturunan Tionghoa berusia 57 tahun. "Warung ini sudah ada sejak 1971. Saya sudah 25 tahun membantu Ibu Anik," kata Kasrikah (52) yang asli Tuban, Jawa Timur.
Menurut Kasrikah, membuat wedang kacang gampang-gampang susah. "Kalau kacangnya jelek, enggak bisa jadi. Caranya, kacang tua direbus tiga jam sampai kental," jelasnya. Setelah mengental, wedang kacang ditambahi air, gula, dan vanili. "Jadi warna putihnya bukan dari santan."
Selain wedang kacang, di warung yang pernah dikunjungi ahli kuliner dari Jakarta yang popular dengan komentar "Mak Nyus"-nya, juga menyediakan wedang dongo, wedang kacang ijo, sekoteng, dan asle. Bagi yang lebih suka minuman dingin, bisa mencicipi es kelengkeng yang manis dan segar. Dalam semangkuk wedang kacang ditambahkan ketan putih. Wedang kacang ini rasanya manis dan sedikit gurih.
Untuk menyediakan berbagai macam wedang ini, persiapan mengolahnya dimulai sejak pukul 06.00. Pertama-tama, merebus kacang yang sebelumnya dibersihkan dulu dari kulit arinya. Lalu siang harinya merebus air jahe untuk wedang dongo. Dan sore harinya beraneka wedang pun siap dijual, karena minuman hangat ini memang cocok dinikmati pada sore hingga malam hari. Semua minuman di warung ini dibandrol Rp 7.000 per porsinya.
Kudapan Solo yang juga mudah ditemui adalah intip goreng. Dan intip goreng Mbah Sibun merupakan favorit banyak orang. Saat mengunjungi kios kecilnya di Pintu Utara Pasar Gede, pembeli tampak mengantre. Tak hanya penduduk lokal, tapi juga para turis yang tengah berlibur di Solo.
Awalnya Mbah Sibun berjualan sayur mayur pada 1945. Ia pun masih belum punya kios dan hanya menggelar dagangannya di pinggiran pasar. Sejak 1990, ia mulai berdagang di kios sendiri dan menjual intip goreng yang renyah. "Modalnya cuma niat dan tindakan," ujar Slamet, putra pertama Mbah Sibun.
Tumpukan intip di kiosnya tampak menggunung. "Intipnya dikirim dari desa-desa. Seperti Kartasura, Klaten, Mojolaban, dan masih banyak lagi," sahut Nurbani istri Slamet. Jika persediaan sudah habis, pemasok akan datang seminggu sekali.
Pembeli pun tak hanya suka intip yang sudah matang, tapi juga yang masih mentah. "Kalau pas ramai bisa habis 25 kilo sehari," tambahnya. Tapi jika sedang sepi, paling habis 5 kg dalam sehari. Biasanya pembeli ramai di musim liburan dan hari-hari besar.
Dalam berdagang, Mbah Sibun memang dibantu Slamet dan Nurbani. Slamet bertugas menggoreng intip di wajan besar, sedangkan Nurbani melayani pembeli. Untuk 0,5 kg intip goreng harganya Rp 17 ribu, baik yang asin maupun manis. Intip manis dibubuhi gula merah yang dibumbui asam, jahe, ketumbar, bawang putih, dan sedikit garam. Sedangkan yang asin hanya dilumuri bawang putih dan garam. Untuk menggoreng intip sedemikian banyak, setiap harinya dibutuhkan 9-10 kg minyak goreng.
"Intip kami beda dengan yang lain. Ini intip asli dari kerak nasi. Sementara yang dijual di luar kan nasi yang dicetak lalu di-pan," jelas Nurbani. Jadi tak heran jika banyak pembeli rela antre, bahkan tak mau beli intip lain selain intip Mbah Sibun yang telah berusia 75 tahun. Intip favorit ini juga hanya bisa didapatkan di kiosnya karena tak dititipkan di toko-toko lain.
Kartika Santi
KOMENTAR