Tanpa kenal lelah, esok harinya saya mencari rumah (Alm.) Zainuddin MZ. Mulai dari Jakarta Utara sampai Jakarta Selatan. Berangkat habis Subuh, baru ketemu rumahnya pukul 16.30. Wah, rumahnya besar sekali, ya. Mobilnya saja ada enam. Saya kemudian masuk ke rumahnya dan ditemui langsung oleh dia.
(Alm.) Zainuddin mungkin saat itu mengira saya panitia pengajian yang ingin mengundangnya mengisi ceramah. Namun kemudian saya jelaskan maksud kedatangan saya. Beliau kemudian masuk ke dalam rumahnya. Tak lama, yang keluar adalah putranya, Fikri Zainuddin. Oleh Fikri saya diberi amplop berisi uang Rp 25 ribu. Alhamdulillah.
Setelah berkeliling dari rumah Habibie, Tri Sutrisno, Rhoma Irama, sampai Zainuddin MZ, saya sempat jatuh sakit selama 11 hari. Setelah sembuh, saya pergi ke rumah Iwan Fals. Saat saya datang, terlihat Iwan sedang latihan bermusik. Kala itu, saya sudah sampai di rumah Iwan sejak pukul 06.00. Saya tunggu dia sampai pukul 11.00. Sayang, pembantunya Iwan mengatakan sang tuan rumah tak ada di rumah. Padahal saya tahu Iwan ada di dalam. Apesnya, saya lihat Iwan melesat mengendarai sedan mewahnya.
Saya kemudian menangis. Saya berpikir, "Oh, begini, ya, yang namanya berjuang." Mau tak mau saya pun harus ambil keputusan untuk kembali ke rumah paman, yang menerima saya selama di Jakarta. Saya bilang ke paman, saya sudah tak bisa lagi, usaha saya sudah mentok.
Paman lalu membantu meminta sumbangan ke para tetangganya untuk biaya saya pulang kampung. Dapatlah uang Rp 500 ribu. Jadi total uang yang saya dapat selama di Jakarta sebesar Rp 600 ribu. Sedangkan bekal saya sebanyak Rp 3,7 juta sudah habis untuk biaya makan dan transportasi selama di Jakarta.
Nah, sesampainya di Surabaya, istri minta cerai. Saya pun menangis lagi. Saat itu saya merasa, kok, begini amat, ya, yang namanya berjuang. Namun saya tetap semangat. Oh ya, saking bencinya orang-orang di sekitar rumah kepada saya, pernah sampai ada yang tega membakar gedung sekolah. Beruntung, gedung masih bisa diselamatkan. Hanya meja dan buku anak-anak saja yang habis terbakar.
Bagaimana Abah tetap mempertahankan sekolah ini?
Sepulang dari Jakarta, alhamdulillah meski jalannya tak mulus, madrasah ini bisa bertahan hingga kini. Ini mungkin yang namanya rahmat Allah dan berkat ketekunan saya juga. Apalagi sekarang sudah makin dipermudah dengan adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah.
Sebenarnya sentuhan apa yang Abah berikan kepada anak-anak dalam mendidik?
Dalam setiap kesempatan saya selalu minta kepada anak-anak untuk rajin salat di hadapan orangtuanya. Dengan harapan orangtuanya lama-lama akan tersentuh hatinya. Selain itu, saya juga memberikan pekerjaan rumah kepada anak-anak tentang surga dan neraka. Namun saat mengerjakan tugas itu harus didampingi orangtuanya.
Misalnya, dengan memberikan pertanyaan orang yang tekun beribadah itu tempatnya di mana? Orang yang tak pernah beribadadah itu kelak tempatnya di mana? Pilihannya, ya, surga dan neraka. Namun tentu saja ini mendapat tentangan dari para orangtua. Bahkan mereka pernah datang dan marah-marah di hapan saya. Tapi, ya, tidak mengapa. Ini semua, kan, demi kebaikan anak-anak juga.
Keberadaan Yayasan Sabilas Salamah di Bangunsari ini pada akhirnya disyukuri juga oleh masyarakat sekitarnya, terutama keluarga kurang mampu. Misalnya saja Masfufah (44), ibu dari Endineza Farel Labib (6), siswa TK B2. Masfufah menyatakan, sangat bersykur dengan keberadaan yayasan ini. Bahkan sebelum menyekolahkan anaknya yang terakhir, ia juga sudah menyekolahkan anak pertamanya di yayasan ini.
"Fariyanti, kakaknya Farel, dulu juga alumni sekolah ini. Nah, sekarang Fariyanti malah sudah mengajar anak kelas 3 di sekolah ini," ujar Masfufah bangga.
Selain Masfufah, ada pula Handayani ibu dari Sovia Putri, siswa TK B. Handayani memilih sekolah ini selain gratis juga lokasinya dekat dengan rumahnya. Dan menurut Handayani, "Selain gratis, sekolah ini juga mengajarkan pendidikan agama yang kuat. Makanya saya lebih memilih menyekolahkan anak saya di sini."
Yayasan Sabilas Salamah kini tercatat sudah mempunyai 377 siswa untuk Madrasah Ibtidaiyah, 91 siswa untuk Taman Kanak Kanak, dan 160 siswa untuk play group. Sedangkan jumlah gurunya saat ini ada 21 orang. Kendati saat ini yayasan ini sudah relatif lebih mapan dibandingkan saat pertama kali dikelola, namun kata Abah Muchsin, tantangannya bukan berarti tambah ringan.
"Tantangan lain lebih berat lagi karena saya sudah dipercaya masyarakat mengelola lembaga pendidikan. Yaitu bagaimana bisa mengembangkan yayasan ini agar lebih besar lagi. Ini, kan, sekolah gratis. Karena gratis, jadi rebutan," ujar Abah Muchsin.
Abah Muchsin pun memberikan contoh pada saat pendaftaran siswa play group. Sebenarnya panitia sekolah hanya membatasi untuk 40 siswa saja. Atau jika memang permintaan membludak, maksimal siswa yang diterima 60 orang.
Namun pada kenyataannya, yang mendaftar bisa mencapai 160 siswa. Menghadapi banyaknya pendaftar itu, Abah Muchsin tak kuasa menolak. Akhirnya semua pendaftar diterimanya. Selanjutnya, Abah Muchsin mengaku harus memutar otak agar semua siswa itu dapat menikmati play group yang dikelolanya.
"Akhirnya 160 siswa itu saya bagi menjadi 3-4 kelas. Ada yang masuk pagi dan ada yang masuk sore. Kebetulan siswa play group, kan, hanya masuk tiga hari dalam seminggu,"papar Abah Muchsin.
Kendati keterbatasan kelas bisa disiasati, namun mau tak mau ini tetap saja menambah biaya operasional sekolah, misalnya honor untuk para guru yang perlu ditambah karena harus mengajar kelas tambahan. Inilah yang disebut Abah Muchsin sebagai tantangan. Semakin besar yayasan ini, berarti semakin besar pula dana yang harus ditanggung oleh yayasan.
Sebaliknya, Abah Muchsin tak akan merasa risau jika kelak ada anak orang berada yang mau sekolah di sini. Meski sejak awal Abah Muchsin sudah mengumumkan, sekolah gratisnya ini hanya ditujukan bagi anak-anak keluarga miskin, anak PSK, dan yatim piatu.
"Jika ada anak orang kaya yang sekolah sini, berarti orangtuanya harus siap malu, soalnya sejak awal sudah saya katakan kalau sekolah ini untuk keluarga miskin," terangnya sambil tersenyum.
Amir TEJO / bersambung
KOMENTAR