Kepada guru, aku menitipkan obat epilepsi dan menjelaskan keadaan Andre dan instruksi bila tiba-tiba dia kambuh di sekolah. Untung para guru mau mengerti. Mereka membiarkan Andre asyik dengan dunianya untuk sementara, lalu pelan-pelan menariknya ke pergaulan di kelas. Terapi ini berhasil. Karena merasa nyaman, dia mulai membaur meski belum berkomunikasi.
Sejak Andre dikeluarkan dari sekolah lama, aku belajar bersyukur dan menikmati masa-masa bersamanya. Di rumah, kuganti semua buku dan CD berbahasa Indonesia dengan yang berbahasa Inggris. Acara teve anak juga harus berbahasa Inggris. Semua orang di rumah juga harus berbahasa Inggris, supaya Andre merasa terlibat. Sampai suatu hari, sepulang creambath dari salon, aku tertegun luar biasa saat sampai di rumah. "Wow, Mommy, you look so beautiful," ujar Andre melihatku muncul dari balik pintu.
Mendengar Andre bisa bicara, aku langsung menangis luar biasa bahagia. Ini mukjizat bagiku! Sejak itu, dia mulai bicara. Pelan-pelan, kalimatnya makin banyak. Menariknya, logat Inggrisnya sangat fasih. Orang yang tak tahu biasanya mengira dia keturunan bule saat mendengarnya bicara. Sementara anak lain kursus Bahasa Inggris, Andre malah kursus Bahasa Indonesia. Oh ya, ingatan Andre, terutama untuk gambar, sangat tajam.
Ketika Andre berusia 3 tahun, aku melahirkan anak ketigaku, Adrian Hiroshi Putra M. Sebelumnya, aku sempat keguguran. Saat hamil Hiroshi, aku mengalami perdarahan berat pada bulan ketiga. Entah kenapa, saat di-USG terlihat janinku nyaris lepas dari rahim. Sambil mengelus perut, tiap malam sebelum tidur aku berdoa agar Tuhan merangkai sel-sel tubuh janinku dengan sempurna.
Sebetulnya, dokter tak menyarankan janinku dipertahankan. Menurutnya, risikonya sangat besar. Bulan kelima janinku malah mengerut, namun aku bersikukuh mempertahankannya. Lagipula, entah kenapa, janinku menyatu lagi dengan rahim. Bulan kedelapan, tepatnya 25 Desember 2005, aku di-caesar karena ketubanku terus merembes. Mendengar penjelasan dokter bahwa Hiroshi lahir dengan sehat dan lengkap, aku lega.
Pada usia 4 bulan, dia kena cacar. Dokter menduga Hiroshi terkena immuno compromise, daya tahan tubuhnya rendah, rentan terhadap virus, gampang sakit, serta alergi. Sebab, harusnya dia tak kena cacar lantaran aku sudah mengalaminya. Jadi, anak akan ikut kekebalan ibunya. Umur enam bulan, dia muntah saat kuberi bubur tomat. Muntahannya mengenai tubuhnya, yang lalu membuat kulitnya merah seperti baru terkena ulat bulu. Begitu pula ketika kuberi jeruk, brokoli, hati dan sebagainya.
Rupanya, Hiroshi menuruni bakat alergiku dan suami. Reaksinya antara lain muntah, diare, dan bercak merah di kulit. Tubuh Hiroshi jadi makin kurus. Kembali kubaca buku dan buka internet. Kuputuskan untuk memberinya makan dengan sistem provokasi eliminasi. Misalnya, kuberikan beberapa gram hati sapi yang kucampur pada nasi. Kalau makanan yang kuprovokasi itu menimbulkan alergi, kueliminasi dari daftar menu dan baru kuberikan lagi sebulan kemudian.
Kalau tak bereaksi, menunya kucontreng di buku diari dan kuberikan lagi seminggu kemudian. Ternyata, hampir semua makanan menimbulkan alergi bagi Hiroshi. Semua makanan kuberikan satu per satu. Misalnya, nasi dan brokoli atau nasi dan hati. Untuk menangani kebutuhan Hiroshi ini, aku punya buku diari setebal Alkitab. Tiap hari kucatat di situ menu apa saja yang kuberikan, jumlah pemberian, tanggal, reaksi, dan kapan boleh diberikan lagi. Aku juga beli timbangan yang ukurannya sampai miligram.
Provokasi eliminasi ini amat membantu. Saat eliminasi, tubuhnya membentuk imunitas. Ketika menu itu diberikan lagi sebulan kemudian, tubuh Hiroshi mulai mengenali sehingga tak terlalu menolak. Porsi juga tetap agar tubuhnya tak kaget. Setelah itu, pemberian menu itu kuperpendek rentang waktunya jadi seminggu sekali. Begitu terus sampai akhirnya sekitar sembilan bulan kemudian, semua makanan yang kuberikan pada Hiroshi tak lagi menimbulkan alergi.
Pelan-pelan tubuhnya mulai berisi. Aku mempelajari provokasi eliminasi ini dari internet. Awalnya, Hiroshi kubawa ke dokter yang menyarankan aku memberi obat. Aku kasihan bayi sekecil itu harus minum obat. Lebih baik cara alami, sederhana saja. Saat diimunisasi, kan, sebetulnya bayi diberi penyakit yang dilemahkan. Nah, makanan juga sama. Kalau diberikan sedikit demi sedikit dalam jangka waktu lama, akhirnya bayi akan kebal.
KOMENTAR