Waktu Aurel, anak pertamaku, masih bayi, aku bekerja di perusahaan rental kendaraan asal Jepang. Saat usianya 11 bulan, anakku makin kurus. Rupanya saat aku dan suamiku bekerja, pengasuhnya sering memberinya obat tidur dan merokok. Kupecat dia dan kuputuskan berhenti bekerja, meski saat itu karierku sudah menjadi manajer.
Semula aku mengalami post power syndrome. Aku yang biasanya membawahi 50 orang lebih, tiba-tiba harus mengurus masakan dan belanja di tukang sayur setiap hari. Belum lagi Aurel kerap menangis tanpa henti.
Sadar sepenuhnya bahwa Tuhan punya rencana untukku, aku mulai bangkit. Hari-hari kuisi dengan membaca buku dan ikut berbagai seminar yang berhubungan dengan kondisi Aurel. Ternyata, Aurel menderita over anxiety alias rasa cemas berlebihan. Menurutku, Aurel butuh bantuan agar kelak dia tidak tumbuh sebagai anak penakut. Setelah diskusi dengan suamiku, kami setuju memberi terapi untuknya.
Baru saja lega melihat perkembangan Aurel, aku syok ketika dokter mengatakan Andre, anak keduaku, mengidap autis. Aku tak tahu bagaimana menangani anak autis, kecuali dari buku-buku yang kubaca. Bersama Aurel, Andre lalu diterapi. Umur 2 tahun, Andre step. Dia kejang hebat dan mulutnya berbusa. Aku langsung sadar, anakku juga menderita epilepsi. Kubawa ke dokter, dugaanku benar.
Kuajari Andre untuk mengenali gejala epilepsi. Kalau dia mulai merasakan gejalanya, kuminta dia mencariku lalu memelukku. Kalau dia sudah minta dipeluk, langsung kucari obat epilepsi yang kusimpan di beberapa tempat di rumah agar gampang diraih pada saat-saat seperti itu. Sebelum dia kejang hebat, sambil memeluknya langsung kumasukkan obatnya lewat dubur. Sampai sekarang epilepsinya tak kambuh lagi.
Yang membuatku prihatin, sampai umur 4 tahun dia belum bisa bicara. Hanya dia dan Tuhan yang tahu apa yang dia ucapkan. Orang-orang menuduhku tak becus mengurus anak. Komentar seperti ini membuatku drop. Anakku sendiri tak nyaman di depan umum karena selalu jadi pusat perhatian. Kalau orang tak bisa menghargai dia dan daripada kukorbankan kenyamanannya, aku pilih tak bergaul. Buatku, anak nomor satu!
Aku terus berusaha agar Andre bisa bersosialisasi. Dia bisa membantu dirinya sendiri saja, buatku sudah luar biasa. Aku, kan, tak mungkin menemaninya setiap waktu. Suatu hari nanti, dia harus hidup sendiri. Dokter menyarankan Andre masuk sekolah normal agar bias belajar berkomunikasi. Kuturuti saran itu. Hasilnya? Pada hari keempat dia sekolah, aku dipanggil kepala sekolah. Katanya, Andre mengganggu aktivitas belajar-mengajar. Para orangtua murid protes. Andre juga tak lagi diterima di sekolah mulai hari itu.
Aku syok. Sampai di rumah, aku masuk kamar mandi. Di dalam kamar, lalu berteriak sepuasnya. Duniaku runtuh. Cobaan apa lagi ini, Tuhan? Baru masuk TK saja sudah diusir, bagaimana kelak? Setelah puas menangis, aku berpikir, Tuhan adalah arsitek agung. Karya-Nya tak pernah salah. Ketika menciptakan anak autis, Dia tak akan lupa menitipkan kelebihan pada anak itu.
Aku sangat percaya, karya-Nya ini luar biasa dan bukan produk gagal. Kalau berhenti mengeluh, pasti aku bisa melihat kelebihan anakku. Sekarang masih tertutup karena aku bersungut setiap hari, begitu pikirku. Sejak itu aku berhenti mengeluh. Kucetak semua informasi tentang autisme dan kubawa ke banyak sekolah normal. Kuceritakan kondisi Andre. Hampir semua menolak. Aku tak berkecil hati. Satu-satunya yang menerima Andre adalah TK yang tak jauh dari rumah, yang pemiliknya orang India.
Masalahnya, bahasa yang digunakan di sana 100 persen Bahasa Inggris. Padahal, Bahasa Indonesia saja Andre tak bisa. Dokter Andre yang lantas kudatangi menyarankan untuk pasrah, tak perlu ikut-ikutan menyekolahkannya di sekolah internasional. Alasannya, percuma saja dan malah membuat Andre bingung. Benar juga. Namun karena di sekolah berbahasa Indonesia sudah tak ada harapan, kuputuskan menyekolahkan Andre di sana.
Kepada guru, aku menitipkan obat epilepsi dan menjelaskan keadaan Andre dan instruksi bila tiba-tiba dia kambuh di sekolah. Untung para guru mau mengerti. Mereka membiarkan Andre asyik dengan dunianya untuk sementara, lalu pelan-pelan menariknya ke pergaulan di kelas. Terapi ini berhasil. Karena merasa nyaman, dia mulai membaur meski belum berkomunikasi.
Sejak Andre dikeluarkan dari sekolah lama, aku belajar bersyukur dan menikmati masa-masa bersamanya. Di rumah, kuganti semua buku dan CD berbahasa Indonesia dengan yang berbahasa Inggris. Acara teve anak juga harus berbahasa Inggris. Semua orang di rumah juga harus berbahasa Inggris, supaya Andre merasa terlibat. Sampai suatu hari, sepulang creambath dari salon, aku tertegun luar biasa saat sampai di rumah. "Wow, Mommy, you look so beautiful," ujar Andre melihatku muncul dari balik pintu.
Mendengar Andre bisa bicara, aku langsung menangis luar biasa bahagia. Ini mukjizat bagiku! Sejak itu, dia mulai bicara. Pelan-pelan, kalimatnya makin banyak. Menariknya, logat Inggrisnya sangat fasih. Orang yang tak tahu biasanya mengira dia keturunan bule saat mendengarnya bicara. Sementara anak lain kursus Bahasa Inggris, Andre malah kursus Bahasa Indonesia. Oh ya, ingatan Andre, terutama untuk gambar, sangat tajam.
Ketika Andre berusia 3 tahun, aku melahirkan anak ketigaku, Adrian Hiroshi Putra M. Sebelumnya, aku sempat keguguran. Saat hamil Hiroshi, aku mengalami perdarahan berat pada bulan ketiga. Entah kenapa, saat di-USG terlihat janinku nyaris lepas dari rahim. Sambil mengelus perut, tiap malam sebelum tidur aku berdoa agar Tuhan merangkai sel-sel tubuh janinku dengan sempurna.
Sebetulnya, dokter tak menyarankan janinku dipertahankan. Menurutnya, risikonya sangat besar. Bulan kelima janinku malah mengerut, namun aku bersikukuh mempertahankannya. Lagipula, entah kenapa, janinku menyatu lagi dengan rahim. Bulan kedelapan, tepatnya 25 Desember 2005, aku di-caesar karena ketubanku terus merembes. Mendengar penjelasan dokter bahwa Hiroshi lahir dengan sehat dan lengkap, aku lega.
Pada usia 4 bulan, dia kena cacar. Dokter menduga Hiroshi terkena immuno compromise, daya tahan tubuhnya rendah, rentan terhadap virus, gampang sakit, serta alergi. Sebab, harusnya dia tak kena cacar lantaran aku sudah mengalaminya. Jadi, anak akan ikut kekebalan ibunya. Umur enam bulan, dia muntah saat kuberi bubur tomat. Muntahannya mengenai tubuhnya, yang lalu membuat kulitnya merah seperti baru terkena ulat bulu. Begitu pula ketika kuberi jeruk, brokoli, hati dan sebagainya.
Rupanya, Hiroshi menuruni bakat alergiku dan suami. Reaksinya antara lain muntah, diare, dan bercak merah di kulit. Tubuh Hiroshi jadi makin kurus. Kembali kubaca buku dan buka internet. Kuputuskan untuk memberinya makan dengan sistem provokasi eliminasi. Misalnya, kuberikan beberapa gram hati sapi yang kucampur pada nasi. Kalau makanan yang kuprovokasi itu menimbulkan alergi, kueliminasi dari daftar menu dan baru kuberikan lagi sebulan kemudian.
Kalau tak bereaksi, menunya kucontreng di buku diari dan kuberikan lagi seminggu kemudian. Ternyata, hampir semua makanan menimbulkan alergi bagi Hiroshi. Semua makanan kuberikan satu per satu. Misalnya, nasi dan brokoli atau nasi dan hati. Untuk menangani kebutuhan Hiroshi ini, aku punya buku diari setebal Alkitab. Tiap hari kucatat di situ menu apa saja yang kuberikan, jumlah pemberian, tanggal, reaksi, dan kapan boleh diberikan lagi. Aku juga beli timbangan yang ukurannya sampai miligram.
Provokasi eliminasi ini amat membantu. Saat eliminasi, tubuhnya membentuk imunitas. Ketika menu itu diberikan lagi sebulan kemudian, tubuh Hiroshi mulai mengenali sehingga tak terlalu menolak. Porsi juga tetap agar tubuhnya tak kaget. Setelah itu, pemberian menu itu kuperpendek rentang waktunya jadi seminggu sekali. Begitu terus sampai akhirnya sekitar sembilan bulan kemudian, semua makanan yang kuberikan pada Hiroshi tak lagi menimbulkan alergi.
Pelan-pelan tubuhnya mulai berisi. Aku mempelajari provokasi eliminasi ini dari internet. Awalnya, Hiroshi kubawa ke dokter yang menyarankan aku memberi obat. Aku kasihan bayi sekecil itu harus minum obat. Lebih baik cara alami, sederhana saja. Saat diimunisasi, kan, sebetulnya bayi diberi penyakit yang dilemahkan. Nah, makanan juga sama. Kalau diberikan sedikit demi sedikit dalam jangka waktu lama, akhirnya bayi akan kebal.
Kini Hiroshi sudah benar-benar sehat dan normal. Sekarang dia sudah bersekolah di TK. Yang mengharukan, dia tak segan membela kala Andre jadi pusat perhatian orang banyak. Tinggal Andre dan Aurel saja yang masih menjalani terapi. Aurel yang kini kelas 6 SD, kecemasannya sudah sangat jauh berkurang. Kalau dilihat sepintas, keduanya tampak seperti anak normal. Aurel yang sejak kecil kubiasakan kuberi kertas dan buku untuk menuliskan perasaannya, kini tengah bersiap membuat buku. Ya, diarinya yang ia tulis dalam Bahasa Inggris itu diminati sebuah penerbit untuk diterbitkan.
Belajar Kehidupan
Sampai sekarang, aku masih terus berjuang untuk Andre. Belajar berhitung ala Andre yang masih kelas 2 SD harus secara visual. Mengajarinya penambahan atau pengurangan berarti aku harus naik atau turun tangga di rumah. Toilet training juga masih kuperjuangkan, sebab dia masih pup di celana. Padahal baunya minta ampun karena dia, kan, sudah besar. Sampai sekarang, aku masih membeli berlusin-lusin celana.
Kalau aku atau pembantuku tak sanggup mencuci karena baunya, celana itu kubuang. Terpaksa ini kutempuh daripada gonta-ganti pembantu hanya karena mereka tak tahan terus-menerus mencuci celana Andre yang bau. Aku sendiri terus berpikir positif demi anak-anak. Kalau selalu menyesali keadaan, kelak aku akan terlambat menyadari semuanya. Kalau bukan aku yang menolong mereka, lalu siapa?
Andre dan Aurel kuperlakukan berbeda. Pada Aurel yang tak berani ambil keputusan, aku sangat tegas. Mataku langsung menatap matanya, bahasa tubuhku ikut bicara. Kalau tak begini, dia makin "melempem". Kalau menurut, kuberi hadiah, biasanya pelukan dan pujian. Akhirnya dia belajar bersikap dan mandiri. Saat Lebaran, melihatku kerepotan, Aurel memandikan adik-adiknya dan mengepel lantai.
Sebaliknya, aku sangat lembut pada Andre. Kalau aku tegas, dia makin berontak. Kalau dia marah atau mengamuk, biasanya aku melakukan bear hug (pelukan beruang). Kudekap kedua paha dan badannya kuat-kuat. Meski dia berontak, tak kukendurkan pelukan sambil diam saja. Dalam kondisi seperti itu, anak autis tak suka komunikasi verbal. Setelah memberontak, dia membenturkan kepala ke wajahku.
Saat suamiku pulang kantor, tak jarang dia menemukan lebam biru di hidung atau pipiku sebagai akibatnya. Namun, aku memilih lebam. Kalau tidak, Andre akan membenturkan kepala ke tembok atau memukuli dadanya. Bear hug ini membuat dia tenang lagi. Dari ketiga anakku, aku banyak belajar kehidupan. Dari Aurel, aku belajar jadi pribadi yang tegas dan bisa membaca yang tak terucap. Dari Andre, aku belajar sabar dan kuat. Semoga saja kelak ketiga anakku bisa hidup sukses dan mandiri. Amin.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR