Ada tiga orang yang hidupnya tergantung pada mendiang suami saya, yaitu saya dan dua anak kami. Apa itu dipikirkan Citibank? Bapak adalah tulang punggung, kepala, dan pelindung keluarga. Kasih sayang saya dan anak-anak direnggut paksa darinya. Ini tidak bisa digantikan dengan materi apa pun (suara Esi terdengar bergetar).
Citibank sebagai perusahaan yang mempekerjakan pihak ketiga, harus bertanggung jawab atas keteledoran ini. Mungkin selama ini mereka lancar-lancar saja melakukannya. Tapi sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat akan jatuh juga.
Pihak bank tidak pernah monta maaf?
Hingga saat ini belum ada permintaan maaf dari pihak Citibank. Karena itulah, kami mengajukan gugatan secara perdata dan pidana. (Meski menolak menyebut jumlah yang diminta kepada NOVA, dalam persidangan disebutkan bahwa Esi menuntut Rp 1 triliun untuk kerugian materiil, dan Rp 2 triliun untuk kerugian immateriil.) Pernah, memang, dari pihak Citibank datang satu kali, katanya mau memberi beasiswa untuk anak-anak. Tapi sampai sekarang enggak ada kabarnya lagi.
Saya tidak menuntut beasiswa apa pun. Saya hanya meminta keadilan, mereka minta maaf dan bertanggung jawab atas hilangnya tulang punggung keluarga kami.
Bagaimana keadaan Anda dan anak-anak setelah tulang punggung keluarga tiada?
Kami masih mengandalkan bantuan materi dari keluarga besar saja. Sebenarnya, saya ingin bekerja lagi. Dulu, sebelum menikah, saya pernah kerja tapi setelah anak pertama lahir, Bapak meminta saya berhenti. Tapi sekarang, mau kerja apa? Umur sudah setua ini siapa yang mau menerima? Bisnis kargo Bapak juga sudah ikut mati karena hanya dia yang tahu seluk beluknya.
Yang saya syukuri, Pak OC Kaligis tidak hanya membantu kami secara hukum, tapi juga memberi beasiswa kepada anak-anak saya.
Bagaimana dengan keadaan psikologis anak-anak?
Grace (16) dan Citra (15) sempat enggan masuk sekolah saat ayahnya baru meninggal. Mungkin secara psikologis tertekan karena semua orang jadi tahu ayah mereka punya utang. Namun, teman-teman sekolah mereka datang ke rumah memberi dukungan, akhirnya mereka mau sekolah lagi.
Saya juga terus membesarkan hati mereka berdua. Selalu saya ingatkan, punya Allah yang melindungi. Suatu saat pasti akan muncul ucapan, "Seandainya Papi masih hidup" dari anak-anak saat mengalami suatu masalah. Ini sesuatu yang harus mereka tanggung seumur hidup. Kami terbiasa ke mana-mana berempat. Hari libur pun, kami sering bergulat dan bercanda di kamar.
Kalau mereka terlihat melamun, segera saya candai. Pokoknya, di depan mereka, saya berusaha tegar, meski saya sendiri gamang. Dulu, sedikit-sedikit lapor ke suami, misalnya kalau mereka enggak mau makan. Sekarang saya mengadu kepada siapa? Jangan tanya perasaan saya. Akan seperti apa keluarga kami nanti, biarlah mengalir apa adanya... (Esi meneteskan air mata).
Tanggal 30 Oktober silam seharusnya kami merayakan hari ulangtahun Bapak yang ke-50. Kami sama-sama pergi ke makam dan berdoa untuknya. Saya janji akan terus menuntut hak kami. Semoga dia tenang di sana.
Apa harapan untuk proses pengadilan yang kini sedang berjalan?
Saya pasrah. Di sini hakim dan jaksa ditantang untuk benar-benar bersikap adil dan bijaksana. Mereka harus bekerja keras untuk melihat bukti-bukti yang tidak bisa direkayasa. Kami sudah mengadu ke presiden, DPR, dan Komnas HAM. Memang orang-orang bilang, Citibank punya uang yang unlimited. Tapi Allah, kan, tidak pernah tidur. Semoga saja kasus ini selesai dengan baik.
A nis Marsela (22), istri Arief Lukman, salah satu terdakwa kasus penganiayaan terhadap Irzen Octa, tetap yakin, suaminya tidak melakukan penganiayaan seperti yang dituduhkan. Saat ditemui di rumah keluarganya di Kampung Gadog Tengah, Bogor, Anis yang sedang hamil tua mengaku tak percaya sang suami mampu melakukan penganiayaan itu. "Dia pernah bilang kepada saya, demi Allah dia tidak pernah melakukan kekerasan kepada Pak Irzen. Saya percaya. Suami saya bukan pembunuh," ujarnya.
Di hari kejadian itu, cerita Anis, Arief sempat meneleponnya dengan suara berat. "Dia bilang ada masalah serius di kantornya. Malamnya, saya bersama mertua menemani Aa' di Polres Jakarta Selatan," tutur Anis yang belum genap dua tahun dinikahi Arief. "Aa' selalu memanjakan saya. Temannya banyak dan mereka semua cerita, sejak di sekolah Aa' tak pernah berkelahi. Jadi, saya yakin betul dia bukan pembunuh." Lulus kuliah, Arief diterima bekerja di PT Fanimas Syara Prima, yang kemudian memasok tenaganya sebagai pekerja outsourcing sebagai debt collector di Citibank.
Kini, Anis hanya bisa berdoa dan berharap agar pengadilan memutuskan perkara ini seadil-adilnya. Terlebih, hari kelahiran bayi mereka kini sudah semakin dekat. Anis yang saat ini tidak bekerja memang menggantungkan hidupnya dari Arief semata. "Saya masih belum bisa membayangkan bagaimana hari-hari saya ke depan. Bagaimana nasib kami berdua bila Aa' tidak segera bebas?"
Banyak Bukti Dihilangkan
Senin (31/10), kuasa hukum kelima terdakwa, M. Lutfie Hakim melayangkan gugatan ke ahli forensik Mun'im Idris. "Hasil otopsi kedua yang dilakukan Mun'im banyak cacat dan rekayasa," kata Lutfie yang bersikukuh bahwa kelima kliennya tidak melakukan penganiayaan terhadap Irzen.
Terlebih, lanjutnya, otopsi kedua ini dilakukan bukan atas permintaan penyidik, namun keluarga dan pengacara korban. "Otopsi pro OC Kaligis, karena dia yang memintanya. Apalagi dilakukannya 22 hari setelah kematian, sementara dalam waktu 3 sampai 7 hari saja, jaringan otak dan batang otak sudah membubur."
Ia lebih memilih pengadilan menggunakan hasil otopsi yang pertama, yang dilakukan oleh ahli forensik Ade Firmansyah empat jam setelah waktu kematian. Hasil otopsi pertama itu menunjukkan, "Irzen Octa tidak mengalami penganiayaan."
Di persidangan Senin (1/11) lalu, Lutfi juga meluruskan fakta-fakta yang selama ini salah. "Tidak benar ada bercak darah di gorden ruangan itu. Selain itu, bukti-bukti juga banyak dihilangkan seperti pakaian, baju, celana panjang dan ikat pinggang."
Hasuna Daylailatu, Swita A Hapsari
KOMENTAR