Kasus pembunuhan, lanjut Eko, selalu diawali dengan interaksi. Baik interaksi yang intens maupun yang sekilas info. Contoh sekilas, "Sebelumnya antara pelaku dan korban tidak saling kenal. Mereka bertemu dan interaksinya adalah kesalahpahaman. Misalnya saja serempetan sepeda motor, kemudian terjadi saling hina dan memaki, kemarahan memuncak, dan berujung pada pembunuhan," papar Eko.
Namun, yang paling banyak terjadi justru karena interaksi antara pelaku dan korban sudah terjalin lama. Misalnya saja terjadi pada sepasang kekasih, konteks keluarga, sahabat, atau hubungan tetangga. "Ternyata semakin sering interaksi, konflik pun makin menjadi. Yang paling sering terjadi adalah karena sakit hati atau tersinggung karena tindakan korban. Pembunuhan juga tidak mungkin terjadi begitu saja. Tapi, akumulatif dan meledak."
Setelah pembunuhan terjadi, pada umumnya pelaku kebingungan untuk menghilangkan jejak. Di masa lalu, pelaku akan mengubur atau menyembunyikan korban. Tentu lebih repot. Namun, belakangan banyak juga yang membuang korban di tengah jalan dengan kardus, memasukkan ke koper, bahkan memutilasi korbannya. Membuang korban di jalan inilah yang beberapa hari lalu terjadi di Jakarta.
"Sebenarnya ini hanya salah satu modus yang beberapa tahun terakhir ini menjadi tren. Tren terjadi karena faktor peniruan. Sebelumnya, pelaku pernah mengetahui soal ini. Pelaku melakukannya untuk mempermudah membuang korban dan menghilangkan jejak," kata Eko seraya mengatakan, untuk konteks Jakarta pelaku kebanyakan berasal dari masyarakat menengah ke bawah. "Ada, sih, yang pelakunya kalangan atas, tapi jumlahnya sedikit."
Eko melanjutkan, karena menyedot perhatian, masyarakat menuntut polisi cepat mengungkap kasus ini. Keberhasilan polisi sendiri sering terjadi karena informasi yang didapat dari masyarakat. "Nah, untuk mengidentifikasi korban, polisi sering minta bantuan masyarakat. Terutama untuk korban yang sama sekali tidak punya tanda pengenal."
Nove, Edwin, Henry
KOMENTAR