Bila tak salah ingat, waktunya selepas salat Jumat. Dalam hati aku berdoa minta petunjuk pada Tuhan apa yang harus kukerjakan agar membawa hasil. Usai berdoa, mendadak aku teringat pada ikan bakar yang dulu biasa dibuat nenek angkatku di rumah majikanku waktu aku merantau kala SMP. Nenek angkatku ini sering membuat minyak kelapa, yang ampasnya sangat lezat. Aku tertegun sendiri, apakah ikan bakar ini adalah jawaban dari doaku?
Aku bertanya pada istriku apakah besok mau berjualan ikan bakar. Dia mengiyakan. Aku sendiri belum pernah membuat ikan bakar. Kalau hanya membakar ala kadarnya, sih, pernah. Aku segera mencari kaleng biskuit bekas dan rak kulkas bekas, lalu merancang bumbu. Ampas minyak kelapa yang kubuat, kucampuri berbagai macam bumbu dan kubalurkan pada ikan. Setelah dibakar, ternyata rasanya lezat. Setelah merancang bumbu, barulah keesokan paginya aku belanja ikan.
Warung Diusir
Dengan uang Rp 20 ribu di saku, aku mendapat 5 kg ikan mentah. Hari pertama berjualan, aku berhasil mendapat uang Rp 63 ribu. Rupanya, bumbu racikanku pas di lidah pembeli. Aku dan istriku senang bukan kepalang. Uang itu kubelanjakan ikan lagi. Hari kedua, pendapatanku naik menjadi lebih dari Rp 100 ribu. Uang itu kubelanjakan lagi, dan hari ketiga menghasilkan Rp 400 ribu. Baru hari ketiga buka saja, aku sudah kewalahan melayani pembeli dan mencari karyawan.
Makin lama, belanja ikanku makin banyak dan pendapatanku terus meningkat. Lagi-lagi, cobaan kembali datang. Tahun 2000, aku diusir dari lapangan tenis Permata Hijau tempatku selama ini berjualan. Alasannya, warungku yang selalu penuh pengunjung dikeluhkan pihak keamanan. Padahal warga komplek itu justru merasa senang dengan keberadaan warung ikan bakarku.
Namun, pengusiran itu membawa hikmah. Aku akhirnya harus mencari lokasi baru, yaitu tempat yang kupakai sampai sekarang. Waktu itu, aku mengontrak bangunan ukuran 3x5 meter. Para pelanggan tetap mencariku. Malah jumlahnya makin bertambah.
Ruangan yang hanya mampu memuat tiga meja makan membuat banyak orang mengantri di depan warung, menunggu yang di dalam selesai makan. Baru delapan bulan kutempati, pemilik kontrakan memintaku membeli warung itu. Alhamdulillah, warungku yang makin lama makin ramai pengunjung membuatku bisa membeli warung seharga Rp 250 juta itu pada tahun berikutnya, 2002.
Aku sendiri tak menyangka akan sanggup membelinya, karena saat itu uangku hanya Rp 150 juta. Mungkin sudah jalannya. Suatu hari saat aku sedang pusing memikirkan tambahan uang untuk beli tanah itu, seorang pria datang ke warungku. Sambil makan, dia menyarankanku membeli warung itu. Aku diminta datang ke kantornya keesokan harinya untuk mengambil uang pinjaman darinya.
Antara percaya dan tidak, esoknya aku mendatanginya di kantornya. Ia menyerahkan cek untuk menambah kekurangan uang pembelian warung. Anehnya, ia mau meminjamiku uang ratusan juta tanpa jaminan apa pun. Padahal, pria yang tak kukenal itu baru kali itu makan di warungku. Alhamdulillah, utang ratusan juta itu bisa kulunasi dalam tempo tak sampai setahun. Pria itu pun sejak saat itu jadi pelanggan tetapku.
Akrab dengan Karyawan
KOMENTAR