Meski tertatih-tatih, akhirnya aku berhasil lulus SMP. Setelah itu, aku kembali merantau. Kali ini ke Riau, dengan menjadi buruh penebang pohon di hutan belantara. Aku tertarik kerja di sana karena diiming-imingi gaji besar. Memang benar, gajiku besar dan ongkos naik bus ke sana ditanggung perusahaan. Aku yang waktu itu belum pernah naik bus, tentu saja senang. Sampai di sana, ternyata aku harus kembali menelan pil pahit.
Uangku nyaris tak bersisa tiap bulan karena harga kebutuhan pokok di sana sangat mahal. Untuk membeli baju pun uangku tak cukup. Alhasil, selama dua tahun di sana bajuku hanya tiga helai yang kubawa sejak berangkat dari Pacitan. Tambalan di bajuku sudah tak terhitung lagi banyaknya. Setelah kontrak kerjaku habis, aku memutuskan untuk pulang ke Pacitan.
Apa daya, empat hari sebelum kepulanganku, uangku hanya tinggal Rp 1.000. Tentu saja tak cukup untuk membeli tiket bus. Saking putus asanya, hampir saja aku memutuskan memotong kakiku, supaya dapat ganti rugi dari asuransi. Dengan demikian, aku punya uang untuk pulang. Namun, niatku itu kuurungkan ketika seolah-olah ada yang mengingatkanku untuk tidak melakukannya.
Saat itulah, kulihat keramaian orang yang sedang bermain judi. Secara iseng aku ikut, padahal caranya saja aku tak tahu lantaran tak pernah main sebelumnya. Tak disangka, aku terus-menerus menang sampai uangku berlipat ganda menjadi Rp 600 ribu! Di luar dugaan, sang bandar mengamuk karena kalah. Akhirnya uang Rp 300 ribu kukembalikan padanya, sisanya kukantongi.
Setelah kubelikan tiket bus dan biaya makan di perjalanan, uangku hanya tersisa Rp 5 ribu ketika aku sampai di Pacitan. Uang itu kuserahkan pada Ibu, yang menerimanya dengan sukacita. Tak betah menganggur di rumah, aku memutuskan merantau ke Jakarta pada tahun 1986. Di sana, aku menumpang tinggal di kontrakan teman sekampung yang tinggal di kawasan Blok M.
Sayang, lagi-lagi nasib baik enggan berpihak padaku. Meski sudah lama di Jakarta, aku tak kunjung mendapat pekerjaan. Suatu hari, ketika sedang menongkrong di warung rokok, aku ditawari pekerjaan sebagai petugas cleaning service di sebuah mess karyawan. Ini pekerjaan baru bagiku, jadi aku sering diomeli karena masih belepotan dalam membersihkan rumah.
Entah mengapa, aku merasa tak betah bekerja sehingga berkali-kali minta pindah tempat kerja. Bahkan, ketika bekerja di rumah seorang mantan walikota di kawasan Jakarta Utara yang sebetulnya sangat baik, aku juga memilih keluar. Sebab, majikanku ini menawariku jadi polisi. Bukannya sombong, tapi aku tak mau terlalu dimanjakan seperti itu. Rasanya kok, enak banget, mendapat pekerjaan tanpa usaha.
Pernah pula aku jadi buruh serabutan, antara lain menjadi penggali sumur dan pemotong rumput. Tanpa malu aku mengetuk pintu demi pintu rumah orang untuk menawarkan jasa. Tahun 1988 pekerjaanku lumayan menghasilkan, sehingga bisa menabung meski sedikit. Apalagi, aku juga menumpang di rumah kakakku di daerah Kreo. Di sanalah aku bertemu jodohku, Triayati. Kami menikah tahun 1990.
Setelah menikah, hidupku masih saja pahit. Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana. Jika tak punya uang, kami berutang beras setengah liter untuk makan. Tak lama, istriku hamil dan melahirkan anak pertama kami. Bila anak sakit, terpaksa berutang dulu pada bidan yang rumahnya tak jauh dari kontrakan kami. Setelah punya uang, barulah utang-utang itu dilunasi.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR