Bila suatu saat melewati jalan arteri di pinggir rel di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan, arah ke Jalan Palmerah, Anda akan melalui sebuah rumah makan sederhana yang selalu dipenuhi kepulan asap tebal di bagian depannya, meruapkan aroma ikan bakar kepada siapa saja yang melintasinya. Itulah rumah makan ikan bakar "Tarjo" milikku. Biasanya, pada jam makan, terutama saat para karyawan kantor istirahat siang, mereka memenuhi rumah makanku.
Itu sebabnya, pemandangan mobil berderet biasa terjadi di setiap siang. Aku hanya bisa mengucapkan alhamdulillah melihat rumah makanku laris manis. Apalagi jika mengingat masa lalu, tak pernah terbayang dalam benakku akan memiliki kehidupan seperti sekarang. Ya, perjalananku sungguh berliku sebelum akhirnya menemukan jalan yang tepat untuk sukses.
Aku yang lahir pada 16 November 1968, dibesarkan di tengah keluarga tak berpunya. Aku ingat, semasa kelas 4 SD, sekadar untuk bisa menulis di buku saja susah sekali. Aku hanya punya satu buku. Semua yang tertulis di bukuku itu harus kuhafal lebih dulu sebelum akhirnya kuhapus agar bisa ditulisi lagi. Pergi-pulang ke sekolah yang jaraknya sekitar 1 km kutempuh dengan berjalan tanpa alas kaki.
Memiliki tujuh anak membuat Sarju, ayahku, yang hanya menjadi petani miskin di Pacitan, Jawa Timur dan Toinem, ibuku, yang tak bekerja, terasa berat menghidupi keluarga. Tiwul adalah makanan kami sehari-hari, itu pun sudah termasuk makanan mahal bagi kami. Bila sedang tak punya uang, kami terpaksa makan isi batang pohon aren. Dalam hati, aku menangis melihat kemiskinan keluargaku.
Jangan tanya soal cita-cita, karena aku tak punya. Asalkan bisa makan, itu sudah cukup bagi kami. Sejak itulah aku bertekad untuk tidak tergantung pada orangtua. Rupanya Tuhan mendengar doaku. Suatu hari, ada yang mencari orang yang mau memikul kayu dengan bayaran Rp 100 per meter. Segera kuterima pekerjaan itu, meski harus memikul kayu sejauh 5 km. Hasilnya kukumpulkan dan setelah jumlahnya cukup, kubelikan baju dan buku tulis.
Keluar Masuk Sekolah
Lantaran pekerjaan ini tak selalu ada, aku menerima tawaran seseorang untuk merawat sapi dan kerbau miliknya. Sayang, untuk pekerjaan ini aku tak dibayar sepeser pun, meski aku bekerja beberapa tahun lamanya. Hanya jatah makan saja yang kudapat. Lulus SD sekitar usia 12 tahun, aku merantau ke luar kecamatan. Sambil bersekolah di SMP, aku kembali merawat kerbau dan sapi milik orang lain.
Lagi-lagi, aku tak dibayar sepeser pun, tapi diperbolehkan tinggal dan makan di sana. Sesekali, aku juga menjadi nelayan. Uang dari hasil mencari ikan inilah yang kukumpulkan untuk biaya sekolah. Namun, uang untuk sekolah tak selalu ada. Alhasil pendidikanku semasa SMP bolong-bolong. Tahun ini bisa sekolah, tahun depan keluar. Begitu terus sampai akhirnya aku bisa lulus.
Untung, pihak sekolah mau memahami kondisi siswa sepertiku, meski sempat beberapa kali memberikan teguran. Bila sedang keluar dari sekolah, aku mengumpulkan uang dengan menjadi nelayan. Setelah uang cukup terkumpul, tahun berikutnya masuk sekolah lagi. Pernah juga mencoba kerja di pabrik rokok di luar kabupaten, tapi gagal.
Meski tiap hari menempuh perjalanan lebih dari 30 km berjalan tanpa alas kaki untuk pergi-pulang sekolah, aku mau masuk sekolah lagi setelah setahun absen karena ingin bisa seperti orang lain yang pandai berhitung dan menulis. Jadi, meski hujan turun sederas apa pun, aku tetap berangkat sekolah. Sebagian uang dan hasil laut tangkapanku kuserahkan pada Ibu tiap pulang ke rumah seminggu sekali.
Aku ingat, Ibu sangat bangga menerimanya. Anaknya yang sebelumnya paling susah diatur, terutama paling susah disuruh sekolah ini, akhirnya bisa mandiri. Oh ya, uang yang kukumpulkan saat itu juga kubelikan bibit pohon untuk ditanam di kebun orangtuaku, antara lain kelapa dan cengkih. Kelak setelah sukses, aku membeli kebun milik orangtuaku itu.
Meski tertatih-tatih, akhirnya aku berhasil lulus SMP. Setelah itu, aku kembali merantau. Kali ini ke Riau, dengan menjadi buruh penebang pohon di hutan belantara. Aku tertarik kerja di sana karena diiming-imingi gaji besar. Memang benar, gajiku besar dan ongkos naik bus ke sana ditanggung perusahaan. Aku yang waktu itu belum pernah naik bus, tentu saja senang. Sampai di sana, ternyata aku harus kembali menelan pil pahit.
Uangku nyaris tak bersisa tiap bulan karena harga kebutuhan pokok di sana sangat mahal. Untuk membeli baju pun uangku tak cukup. Alhasil, selama dua tahun di sana bajuku hanya tiga helai yang kubawa sejak berangkat dari Pacitan. Tambalan di bajuku sudah tak terhitung lagi banyaknya. Setelah kontrak kerjaku habis, aku memutuskan untuk pulang ke Pacitan.
Apa daya, empat hari sebelum kepulanganku, uangku hanya tinggal Rp 1.000. Tentu saja tak cukup untuk membeli tiket bus. Saking putus asanya, hampir saja aku memutuskan memotong kakiku, supaya dapat ganti rugi dari asuransi. Dengan demikian, aku punya uang untuk pulang. Namun, niatku itu kuurungkan ketika seolah-olah ada yang mengingatkanku untuk tidak melakukannya.
Saat itulah, kulihat keramaian orang yang sedang bermain judi. Secara iseng aku ikut, padahal caranya saja aku tak tahu lantaran tak pernah main sebelumnya. Tak disangka, aku terus-menerus menang sampai uangku berlipat ganda menjadi Rp 600 ribu! Di luar dugaan, sang bandar mengamuk karena kalah. Akhirnya uang Rp 300 ribu kukembalikan padanya, sisanya kukantongi.
Setelah kubelikan tiket bus dan biaya makan di perjalanan, uangku hanya tersisa Rp 5 ribu ketika aku sampai di Pacitan. Uang itu kuserahkan pada Ibu, yang menerimanya dengan sukacita. Tak betah menganggur di rumah, aku memutuskan merantau ke Jakarta pada tahun 1986. Di sana, aku menumpang tinggal di kontrakan teman sekampung yang tinggal di kawasan Blok M.
Sayang, lagi-lagi nasib baik enggan berpihak padaku. Meski sudah lama di Jakarta, aku tak kunjung mendapat pekerjaan. Suatu hari, ketika sedang menongkrong di warung rokok, aku ditawari pekerjaan sebagai petugas cleaning service di sebuah mess karyawan. Ini pekerjaan baru bagiku, jadi aku sering diomeli karena masih belepotan dalam membersihkan rumah.
Entah mengapa, aku merasa tak betah bekerja sehingga berkali-kali minta pindah tempat kerja. Bahkan, ketika bekerja di rumah seorang mantan walikota di kawasan Jakarta Utara yang sebetulnya sangat baik, aku juga memilih keluar. Sebab, majikanku ini menawariku jadi polisi. Bukannya sombong, tapi aku tak mau terlalu dimanjakan seperti itu. Rasanya kok, enak banget, mendapat pekerjaan tanpa usaha.
Pernah pula aku jadi buruh serabutan, antara lain menjadi penggali sumur dan pemotong rumput. Tanpa malu aku mengetuk pintu demi pintu rumah orang untuk menawarkan jasa. Tahun 1988 pekerjaanku lumayan menghasilkan, sehingga bisa menabung meski sedikit. Apalagi, aku juga menumpang di rumah kakakku di daerah Kreo. Di sanalah aku bertemu jodohku, Triayati. Kami menikah tahun 1990.
Setelah menikah, hidupku masih saja pahit. Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana. Jika tak punya uang, kami berutang beras setengah liter untuk makan. Tak lama, istriku hamil dan melahirkan anak pertama kami. Bila anak sakit, terpaksa berutang dulu pada bidan yang rumahnya tak jauh dari kontrakan kami. Setelah punya uang, barulah utang-utang itu dilunasi.
Hasuna Daylailatu / bersambung
KOMENTAR