Nah, selama menjadi dosen, aku juga tak berhenti mencari ilmu. Aku selalu ingin menjajal dan menambah pengetahuan di luar negeri. Tahun 2007, aku mencoba mendaftar dan diterima di sebuah lembaga yang menyelenggarakan kursus singkat di Swedia. Ilmu yang dibahas tentang program perumahan bagi rakyat kurang mampu. Kemudian tahun berikutnya, masih dalam program yang sama, aku mengikuti kegiatan serupa di Costarica dan Nikaragua. Alhamdulillah semua biayanya ditanggung pihak penyelenggara.
Dalam perjalanan ke Swedia maupun Nikaragua, bisa dibilang tak ada masalah buatku, sebab saat itu saya tidak sendirian. Dari Indonesia ada beberapa teman juga yang ikut kursus sehingga paling tidak ada yang bisa membantuku. Namun, keberangkatanku ke Prancis untuk mengikuti sebuah konferensi di tahun 2009 lalu justru yang paling mendebarkan. Semua orang terutama orangtuaku cemas memikirkan aku.
Mereka berpikir, bagaiamana aku bisa melakukan perjalanan jauh dengan kondisi fisik seperti ini. Sementara aku harus membawa banyak koper besar. Lagi-lagi, aku memiliki keyakinan, semua pasti lancar-lancar saja. Dan memang benar. Setibanya di bandara di Swiss, jarak menuju stasiun utama lumayan jauh. Namun, ada saja cara Allah memberi kemudahan. Begitu ke luar dari bandara, dua orang asing membantuku membawakan dua koper besar milikku menuju stasiun.
Dokter Baik Hati
Kini, aku pun belum mau berhenti melanjutkan studi. Saat ini, aku tengah melanjutkan kuliah S3 di ITS. Aku sama sekali tak ingin fisikku menjadi penghalang untuk meraih mimpi, memiliki pendidikan setinggi mungkin. Dan aku juga ingin menunjukkan kepada dunia, kecacatan bukan lah rintangan untuk meraih cita-cita.
Sayangnya, beberapa saat ini aku terpaksa harus cuti kuliah karena aku baru saja melakukan operasi akibat tulang panggulku mulai melesat ke luar. Operasi ini untuk memperbaiki struktur tulangku agar menjadi lebih baik dan tak semakin parah. Bagiku, operasi seolah sudah menjadi "makanan" saja. Namun, semuanya tak ada masalah karena ini adalah tahapan yang harus kulalui agar kakiku tidak semakin parah.
Menyangkut soal pengobatan untuk kakiku, orang yang paling berjasa adalah dr. Satrijo. Beliau lah yang menangani aku sejak aku kanak-kanak hingga kini. Jadi, hubunganku dengan beliau sudah seperti anak dan ayah. Bukan hanya berkorban tenaga, dr. Satrijo pun rela membantu materi untuk menunjang pelaksaaan operasi kakiku.
Aku tak bisa bayangkan, andai harus selalu membayar penuh biaya setiap operasiku, berapa uang yang harus aku keluarkan? Memang, aku masih harus mengeluarakan sejumlah uang, tetapi hanya untuk membeli alat-alat utamanya saja, sedang kan untuk yang lain-lainnya ditanggung sang dokter yang sangat baik hati itu.
Sekarang, selain aktif di kampus, aku juga aktif berkecimpung sebagai sekretaris di Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HPCI). Di komunitas ini, kami kerap saling berbagi cerita dan memberi dukungan jika ada yang sedang menghadapi persoalan. Dan saat ini, anggota HPCI sudah ada sekitar 30-50 orang, yang secara rutin di saat-saat tertentu mengadakan pertemuan.
Sosok Arina patut diacungi jempol. Kendati memiliki keterbatasan, ia punya semangat juang yang luar biasa. Dua di antara orang yang memuji kehebatan Arina adalah Ir. Muhammad Faqih, MsA, Ph.D, dosen arsitektur sekaligus pembimbing Arina untuk meraih gelar doktor, serta Isnawati Kustiyah, pengajar di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) di Surabaya, yang sudah sekitar lima tahun ini mengenal Arina.
"Dia itu manusia yang luar biasa. Arina gigih dan tidak mengenal putus asa," puji Faqih yang gelar doktornya ia raih dari Inggris. Faqih mengaku mengenal Arina sejak sekitar 5 tahun lalu. Ketika itu, ia meminta Arina untuk mendampingi 11 mahasiswa dari Newcatle Unviersity Inggris melakukan penelitian di Surabaya. "Salah satu kelebihannya, kemampuan Bahasa Inggrisnya bagus," kata Faqih.
Yang kagum pada kegigihan Arina bukan hanya Faqih, tapi juga Petter Gillet, dosen Newcatle University, yang ikut mengantar 11 mahasiswa nya melakukan penelitian di Indonesia, dan saat ini juga menjadi salah satu pembimbing S3 Arina selain Faqih. "Petter sering berkomunikasi dengan saya, dan dalam komentarnya dia sering memuji Arina yang memiliki keseriusan dalam belajar," puji Faqih.
Demikian pula dengan Isnawati. Kepada NOVA ia berkali-kali mengagumi semangat Arina. "Dia itu bukan besi lagi, tapi baja hitam. Dia memiliki semangat yang kuat, dan tahan banting dalam menghadapi persoalan hidup," puji ibu dua anak yang juga penyandang cacat itu. Bahkan menurut kacamata Isna, Arina bukanlah seorang wanita yang cacat, melainkan sebaliknya, ia adalah sosok yang sempurna. "Wajahnya menarik, cerdas, berpendidikan tinggi, tapi rendah hati," papar Isna.
Ia masih ingat sekali pertemuannya sekitar lima tahun silam dengan Arina. Ia sering bertemu Arina ketika sedang mendampingi mahasiswa dari Inggris. Karena ia melihat Arina ke sana ke mari selalu diantar keluaraganya, kemudian ia menawari untuk menggunakan sepeda motor roda tiga. Untuk meyakinkan Arina soal motor modifikasi itu, Isna bahkan sampai mengajak Arina duduk di jok belakang motor miliknya, lalu mengajaknya berkeliling. "Karena merasa nyaman, Arina akhirnya menerima saran saya untuk memakai motornya sendiri."
Gandhi Wasono M
KOMENTAR