Operasi yang termasuk ke dalam kategori operasi besar ini berjalan. Untuk mempebaiki kedua kakiku, dokter harus melakukan 13 sayatan. Satu sayatan saja bisa mencapai 10 cm. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya bekas sayatan di sekujur kakiku. Setelah operasi selesai, aku memang tak merasakan apa-apa, tetapi begitu reaksi obat mulai berkurang, duh... sakitnya minta ampun. Namanya juga anak-anak, aku cuma bisa menangis.
Celakanya, operasi itu tak hanya sekali dilakukan, tapi harus diulangi, lagi dan lagi. Soal operasi ini memang sudah jadi langgananku. Tahukah, sudah berapa kali aku dioperasi? Sebanyak 14 kali! Setelah operasi, aku harus memaki sepatu bris, sampai kelas 1 SMP. Semasa SMP inilah aku merasa sangat malu, lantaran kerap menjadi bahan olok-olok teman-teman.
Jadi, letak sekolahku berhadapan dengan sekolah SD-ku sebelumnya. Setiap aku datang di pagi hari dan hendak masuk sekolah, anak-anak SD yang ada di depan sekolah itu bersorak-sorai meneriaki diriku, "Robot.. robot..." Karena malu jadi bahan ejekan, aku mengadu ke ibu. Lagi-lagi ibu dengan sabar berusaha membesarkan hatiku. "Anak-anak itu tidak usah ditanggapi, anggap semua itu batu," katanya dengan sabar dan penuh kasih.
Lulus SMP, aku melanjutkan ke SMA 16 Surabaya. Di masa ini aku bergaul seperti biasa. Semua teman-teman memperlakukanku dengan sangat baik. Jadi relatif tak ada masalah. Cuma, aku pernah mendapat tamparan batin yang sangat keras. Prestasiku sebenarnya biasa saja. Nilaiku masih bisa masuk ranking 10 besar. Tapi entah kenapa, suatu ketika turun jadi hanya masuk 20 besar.
Saat prestasi sedang turun, guruku tiba-tiba di depan kelas berkata. "Arina, sudah keadaan tubuhmu seperti itu, sekarang nilaimu jatuh terjun bebas pula." Tentu saja aku merasa sudah dipermalukan secara luar biasa. Bayangkan, di depan siswa satu kelas aku dikatai seperti itu. Di satu sisi itu adalah tamparan keras, namun di sisi lain itu akhirnya menjadi pemicu diriku untuk selalu menjadi yang lebih baik. Aku pun kembali giat belajar, dan di rapor berikutnya, prestasiku naik kembali.
Setamat SMA aku sempat bingung akan melanjutkan ke mana. Aku akhirnya memilih jurusan arsitek. Sebenarnya, motivasiiku mengambil jurusan ini tak terlalu kuat. Sebab, menggambar saja aku tak bagus. Satu-satunya alasanku memilih jurusan arsitek adalah karena aku merasa tipe anak yang cukup telaten. Dan itu sepertinya dibutuhkan bagi seorang arsitek.
Alhamdulillah, saat tes masuk aku diterima di jurusan itu. Seperti di masa SMA, selama kuliah aku relatif tak menemui masalah. Hanay saja, untuk beraktivitas aku sangat tergantung pada keluarga. Ke sana ke mari, aku membutuhkan bantuan mereka untuk diantar pakai mobil. Kendati demikian, aku akhirnya berhasil menyelesaikan gelar sarjanaku.
Lulus kuliah, aku sempat melamar beberapa kali ke sebuah perusahaan. Entah apa sebabnya, aku tidak diterima. Kemudian, aku dan keluargaku sepakat, lebih baik aku melanjutkan kuliah S2 di ITS, mengambil jurusan yang sama. Selesai mengambil program magister, aku lalu diajak melakukan penelitian oleh dosenku, (Alm.) Prof. Santoso, Pak Ngurah, dan Pak Faqih.
Sambil melakukan penelitian, aku juga mengikuti tes sebagai dosen. Tak langsung diterima, dan aku harus berjuang berkompetisi dengan calon yang lain. Ketika dua kali mengikuti tes tapi belum berhasil juga, Pak Faqih kerap memberi dukungan moril kepadaku. Dan setelah mengikuti tiga kali tes, akhirnya aku lolos sebagai dosen. Bagiku, menjadi dosen merupakan pekerjaan paling ideal bagi seseorang yang memiliki keadaan fisik seperti aku.
Karena aku sering melakukan penelitian, ada hikmah besar yang akau terima. Suatu ketika aku diminta membantu menemani 11 mahasiswa dari Newcastle University Inggris di Surabaya. Mereka tengah melakukan penelitian soal fasilitas bagi orang berkebutuhan khusus. Saat itu, aku mengantarkan mereka bertemu Bu Isnawati, guru sekolah anak-anak cacat yang kebetulan beliau sendiri juga cacat.
Begitu mengetahui aku ke sana ke mari diantar keluaraga, Bu Isna meledekku. "Mbak, kenapa masih suka minta diantar? Apa Anda tidak ingin memakai kendaraan sendiri seperti yang saya lakukan ini?" ujar Bu Isna sambil menunjukkan sepeda motor roda tiga miliknya. Jujur saja, aku tercenggang melihatnya. Dalam hati, mengapa aku tak meniru dirinya sehingga ke sana ke mari bisa mandiri, tanpa bantuan orang lain.
Setelah selesai mengantarkan para mahasiswa dari Inggris itu, oleh Bu Isna aku dikenalkan ke Pak Syaiful, seorang penyandang cacat yang ahli memodofikasi kendaraan roda dua menjadi roda tiga. Aku langsung tertarik, kemudian kuserahkan motor roda duaku ke Pak Syaiful untuk dimodifikasi senyaman mungkin, sesuai dengan ukuran tubuhku.
Yang membuat aku terharu, Pak Syaiful sama sekali tak mau kubayar sedikitpun. Bahkan, Pak Syaiful lah yang mengeluarkan modal untuk membuat motor modifikasi itu. Keberadaan motor khusus itu membuat transportasi bukan kendala lagi buatku. Aku bisa ke sana ke mari sendiri dan sangat nyaman. Karena itulah Bu Isna dan Pak Syaiful merupakan orang yang paling berjasa bagiku.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR