Aku tak tahu persis kapan tepatnya aku mulai terkena sakit yang telah membuat kedua kakiku lumpuh tanpa daya seperti ini. Namun, menurut bapak dan ibuku, Sunarjono (60) dan Tantinem (62), serangan virus polio terjadi ketika aku berusia enam bulan. Ketika itu, saat kami tinggal di Paciran, Lamongan (Jatim) sakit polio menjadi epidemi di kampung halamanku. Kala itu, paling tidak ada 12 orang anak yang terkena serangan virus itu.
Aku terkena sakit ini sebenarnya patut disayangkan, sebab terjadi hanya selang dua hari menjelang aku divaksinasi antipolio. Menurut kisah orangtuaku, di suatu Senin aku berencana akan dibawa ibu yang berprofesi sebagai bidan desa untuk divaksinasi, tetapi hari Sabtu, atau dua hari sebelumnya tiba-tiba badanku panas tinggi, sesaat kemudian tubuh bagian bawahku mendadak lemas seolah tak bertulang. Setelah dibawa ke dokter, dokter memvonis aku terkena polio. Karena sudah terserang, sehingga vaksin antipolio pun batal diberikan. Menurut dokter, jika tetap diberikan maka akan fatal akibatnya.
Tentu saja keluarga syok. Orangtua mana yang tega melihat anaknya jadi orang cacat. Karena itu, kendati polio tak ada obatnya, tapi bukan berarti orangtuaku menyerah begitu saja pada keadaan. Ibu dan terus berupaya mencari penyembuhan. Mulai dokter sampai pengobatan alternatif. Bahkan, bapak pernah membawa kami ke "orang pintar". Tapi, semuanya tak membuahkan hasil signifikan.
Bapak pernah cerita, karena begitu inginnya kedua kakiku sembuh, atas anjuran terapis alternatif, tubuhku diangkat diatas air panas, agar uap panas dari air itu menguapi kakiku agar sembuh. Dan entah saran dari mana lagi, ketika aku masih balita, tubuhku dari pinggul ke bawah pernah ditanam di pasir tepi pantai beberapa saat. Semua itu semata-mata agar aku terbebas dari polio. Tapi lagi-lagi, semua usaha itu sia-sia belaka.
Operasi 14 Kali
Baru di usai 6 tahun, ada satu usaha bapak yang agak lumayan berhasil. Yaitu pengobatan melalui sinshe di Yogyakarta. Hasilnya, aku yang semula cuma bisa jalan ngesot, akhirnya mulai bisa berdiri meski terkadang masih terjatuh-jatuh. Aku masih ingat, oleh sinshe itu aku diberi jamu-jamuan berupa minuman yang berasal dari air rebusan ayam yang di tim.
Tetapi, meski tubuhku tak sempurna, aku tetap semangat bersekolah di sekolah umum. Karena tak memakai kruk atau tongkat penyangga, bentuk kakiku jadi jelek. Selain mengecil, juga melengkung ke belakang. Meski demikian, aku tetap menjalankan kewajiban belajar sepert biasa, meski terkadang aku juga sering terjatuh karena tak mampu menahan beban tubuh.
Uniknya, aku tetap bisa bergaul seperti biasa, meski tak bisa bergerak selincah anak lainnya. Apalagi, saat itu yang mengalami polio di kampungku bukan hanya aku, jumlahnya cukup banyak.
Penderitaan yang luar biasa berat mulai kurasakan ketika aku mulai dipasang sepatu bris. Yakni, sepatu yang terbuat dari lempengan besi yang dipasang dari pinggul sampai kaki. Setiap akan dipasangi sepatu khusus itu, aku selalu menangis. Bagaiamana tak tersiksa, selain kaki dipres, panas, juga berat sekali.
Memang tujuannya bagus, agar bentuk kakiku lebih lurus, tidak bengkok. Namun, itu merupakan penderitaan yang tak ringan bagi seorang anak. Ketika memakai sepatu bris, aku hanya tahan beberapa saat saja, setelah itu buru-buru aku minta lepas. Aku sungguh kagum kepada kedua orangtuaku, mereka begitu sabar merawatku.
Nah, di kelas 5 SD, untuk pertama kalinya aku menjalani operasi rekonstruksi. Tujuannya, agar bentuk maupun kekuatan kakiku tidak menurun. Sebab, ketika itu jika aku berjalan, bagian tengah kedua kakiku melengkung ke belakang. Agar aku mau dioperasi, bapak membujukku dengan mengatakan, operasi yang akan aku jalani tidak sakit.
Operasi yang termasuk ke dalam kategori operasi besar ini berjalan. Untuk mempebaiki kedua kakiku, dokter harus melakukan 13 sayatan. Satu sayatan saja bisa mencapai 10 cm. Bisa dibayangkan, betapa banyaknya bekas sayatan di sekujur kakiku. Setelah operasi selesai, aku memang tak merasakan apa-apa, tetapi begitu reaksi obat mulai berkurang, duh... sakitnya minta ampun. Namanya juga anak-anak, aku cuma bisa menangis.
Celakanya, operasi itu tak hanya sekali dilakukan, tapi harus diulangi, lagi dan lagi. Soal operasi ini memang sudah jadi langgananku. Tahukah, sudah berapa kali aku dioperasi? Sebanyak 14 kali! Setelah operasi, aku harus memaki sepatu bris, sampai kelas 1 SMP. Semasa SMP inilah aku merasa sangat malu, lantaran kerap menjadi bahan olok-olok teman-teman.
Jadi, letak sekolahku berhadapan dengan sekolah SD-ku sebelumnya. Setiap aku datang di pagi hari dan hendak masuk sekolah, anak-anak SD yang ada di depan sekolah itu bersorak-sorai meneriaki diriku, "Robot.. robot..." Karena malu jadi bahan ejekan, aku mengadu ke ibu. Lagi-lagi ibu dengan sabar berusaha membesarkan hatiku. "Anak-anak itu tidak usah ditanggapi, anggap semua itu batu," katanya dengan sabar dan penuh kasih.
Lulus SMP, aku melanjutkan ke SMA 16 Surabaya. Di masa ini aku bergaul seperti biasa. Semua teman-teman memperlakukanku dengan sangat baik. Jadi relatif tak ada masalah. Cuma, aku pernah mendapat tamparan batin yang sangat keras. Prestasiku sebenarnya biasa saja. Nilaiku masih bisa masuk ranking 10 besar. Tapi entah kenapa, suatu ketika turun jadi hanya masuk 20 besar.
Saat prestasi sedang turun, guruku tiba-tiba di depan kelas berkata. "Arina, sudah keadaan tubuhmu seperti itu, sekarang nilaimu jatuh terjun bebas pula." Tentu saja aku merasa sudah dipermalukan secara luar biasa. Bayangkan, di depan siswa satu kelas aku dikatai seperti itu. Di satu sisi itu adalah tamparan keras, namun di sisi lain itu akhirnya menjadi pemicu diriku untuk selalu menjadi yang lebih baik. Aku pun kembali giat belajar, dan di rapor berikutnya, prestasiku naik kembali.
Setamat SMA aku sempat bingung akan melanjutkan ke mana. Aku akhirnya memilih jurusan arsitek. Sebenarnya, motivasiiku mengambil jurusan ini tak terlalu kuat. Sebab, menggambar saja aku tak bagus. Satu-satunya alasanku memilih jurusan arsitek adalah karena aku merasa tipe anak yang cukup telaten. Dan itu sepertinya dibutuhkan bagi seorang arsitek.
Alhamdulillah, saat tes masuk aku diterima di jurusan itu. Seperti di masa SMA, selama kuliah aku relatif tak menemui masalah. Hanay saja, untuk beraktivitas aku sangat tergantung pada keluarga. Ke sana ke mari, aku membutuhkan bantuan mereka untuk diantar pakai mobil. Kendati demikian, aku akhirnya berhasil menyelesaikan gelar sarjanaku.
Lulus kuliah, aku sempat melamar beberapa kali ke sebuah perusahaan. Entah apa sebabnya, aku tidak diterima. Kemudian, aku dan keluargaku sepakat, lebih baik aku melanjutkan kuliah S2 di ITS, mengambil jurusan yang sama. Selesai mengambil program magister, aku lalu diajak melakukan penelitian oleh dosenku, (Alm.) Prof. Santoso, Pak Ngurah, dan Pak Faqih.
Sambil melakukan penelitian, aku juga mengikuti tes sebagai dosen. Tak langsung diterima, dan aku harus berjuang berkompetisi dengan calon yang lain. Ketika dua kali mengikuti tes tapi belum berhasil juga, Pak Faqih kerap memberi dukungan moril kepadaku. Dan setelah mengikuti tiga kali tes, akhirnya aku lolos sebagai dosen. Bagiku, menjadi dosen merupakan pekerjaan paling ideal bagi seseorang yang memiliki keadaan fisik seperti aku.
Karena aku sering melakukan penelitian, ada hikmah besar yang akau terima. Suatu ketika aku diminta membantu menemani 11 mahasiswa dari Newcastle University Inggris di Surabaya. Mereka tengah melakukan penelitian soal fasilitas bagi orang berkebutuhan khusus. Saat itu, aku mengantarkan mereka bertemu Bu Isnawati, guru sekolah anak-anak cacat yang kebetulan beliau sendiri juga cacat.
Begitu mengetahui aku ke sana ke mari diantar keluaraga, Bu Isna meledekku. "Mbak, kenapa masih suka minta diantar? Apa Anda tidak ingin memakai kendaraan sendiri seperti yang saya lakukan ini?" ujar Bu Isna sambil menunjukkan sepeda motor roda tiga miliknya. Jujur saja, aku tercenggang melihatnya. Dalam hati, mengapa aku tak meniru dirinya sehingga ke sana ke mari bisa mandiri, tanpa bantuan orang lain.
Setelah selesai mengantarkan para mahasiswa dari Inggris itu, oleh Bu Isna aku dikenalkan ke Pak Syaiful, seorang penyandang cacat yang ahli memodofikasi kendaraan roda dua menjadi roda tiga. Aku langsung tertarik, kemudian kuserahkan motor roda duaku ke Pak Syaiful untuk dimodifikasi senyaman mungkin, sesuai dengan ukuran tubuhku.
Yang membuat aku terharu, Pak Syaiful sama sekali tak mau kubayar sedikitpun. Bahkan, Pak Syaiful lah yang mengeluarkan modal untuk membuat motor modifikasi itu. Keberadaan motor khusus itu membuat transportasi bukan kendala lagi buatku. Aku bisa ke sana ke mari sendiri dan sangat nyaman. Karena itulah Bu Isna dan Pak Syaiful merupakan orang yang paling berjasa bagiku.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR