Sajadah & Mukena Athaya Karakter Komplet
Sebenarnya sudah sejak 2007, Tri Ruli Rahmawati (32), melihat banyak pembuat mukena tetapi tak dilengkapi sajadah. Kalaupun ada sajadah, terlihat kurang pas dengan mukenanya. "Lalu, saya mencoba bikin buat putri pertama saya, Athaya. Ternyata responsnya di luar dugaan. Ibu-ibu sampai telepon dan menanyakan seperti apa, sih, sajadah Athaya karena gambarnya lucu. Anak-anak mereka ingin sajadah yang sama dan mulai memesan ke saya," cerita Tri di rumahnya, kawasan Tidar Permai, Malang.
Tri awalnya membuat mukena dan sajadah gambar ikan, mobil dan pesawat dengan teknik bordir. Namun, lama-lama justru banyak permintaan dibuatkan aneka karakter seperti Thomas, Princess, Nemo, Cars dan banyak lagi. "Untungnya, suami pintar mendesain jadi saya tak perlu pusing memikirkan," papar Tri yang sudah mengeluarkan sebanyak 11 karakter. "Tinggal dimodifikasi dengan warna yang berbeda saja. Yang paling laris, Cars dan Thomas."
Setahun kemudian, aneka karakter itu ditambahi gambar lain agar lebih hidup. "Misalnya, ikan Nemo, dilengkapi masjid, bulan, laut atau apa saja hingga terlihat lebih hidup. Saya tidak mau meniru yang sudah ada. Ciri Athaya, gambarnya full, warna terang, dan bordirnya manual, tidak pakai komputer."
Cara membuatnya sederhana, setelah ada pola, gambar dipindahkan ke kain, lalu digunting dan ditempel ke kain dasar. "Menempelnya pun tak boleh sembarangan harus pas dan rapi. Biasanya pakai kain perca biasa. Baru setelah itu dibordir," papar Tri yang awalnya tak terpikir menjual mukena plus sajadah dalam jumlah banyak. "Hanya dijual di seputar Malang dan ke temannya anak-anak saja."
Ternyata, begitu masuk online, pesanan tambah banyak dan permintaan menjadi agen kian meningkat. Modal awal Tri Rp 3 juta untuk membeli mesin bordir, dengan dua pegawai. Tetapi kini, Tri sudah memiliki 15 karyawan, 50 agen yang tersebar di Indonesia, dan satu agen di Singapura. "Jualan lewat online ternyata ampuh banget daripada buka toko, biayanya mahal. Sampai-sampai saya kewalahan menerima pesanan."
Produk sajadah dibuat di rumah Tri, sementara mukena dikerjakan pegawai Tri di rumah masing-masing. "Mereka bawa pulang karena bisa sambil jaga anak. Sebenarnya, cara ini juga lebih irit karena saya jadi tak perlu beli mesin jahit. Yang penting, saya tahu kualitas mereka," papar Tri yang memberikan kursus jahit bagi pegawainya. "Saya juga melatih mereka agar jahitannya rapi. Orang luar negeri pun mengakui kerapian jahitan Athaya."
Uniknya, produk Athaya malah baru-baru ini dikenal di Malang. Pasalnya, banyak yang menyangka diproduksi di Jakarta. Tri mematok harga sajadah Rp 150 ribu, sementara mukena dan sajadah satu set Rp 250 ribu. "Sejak awal dibuka sampai sekarang, saya belum menaikkan harga. Selain buat ibadah, saya tak mau memberi harga terlalu tinggi," ujar Tri yang dalam sehari bisa menghasilkan 20 sajadah Athaya.
Kendala yang dirasakan Tri ketika menerima begitu banyak pesanan, yaitu permintaan yang dituntut cepat selesai. "Produk ini tak bisa asal tempel atau jahit, karena butuh ketelitian. Mengguntingnya saja harus satu per satu. Makanya, tiap satu pegawai bertanggung jawab pada jahitannya. Dia mengerjakan mulai dari menjiplak, memotong, menempel, dan membordir. Kalau ada yang salah, ya, harus diperbaiki."
Ibu tiga anak ini enggan mengambil pegawai musiman karena khawatir kerjanya tak rapi. "Harus dapat penjahit yang benar-benar telaten, dan biasanya itu perlu waktu lama. Sedangkan yang baru biasanya belum apa-apa sudah mengeluh. Dikiranya enak mungkin, ya, kerja seperti ini. Kelihatannya saja gampang padahal butuh ketelitian."
Diakui Tri, perlu inovasi agar tak selalu ditiru orang. "Meski banyak yang meniru, tapi saya tidak khawatir karena di pasar lama-lama terjadi seleksi sendiri. Terserah konsumen mau beli yang berkualitas bagus atau biasa saja. Meski banyak pesaing, alhamdulillah pendapatan terus meningkat," papar Tri yang mengaku sempat down saat produknya ditiru. "Saya justru tahu dari pelanggan. Karena waktu beli, kok, beda. Rupanya, peniru memasang foto produk Athaya, tapi yang dijual bukan produk Athaya. Itu, kan, sama saja dengan penipuan."
Menurut Tri, inovasi perlu dilakukan karena konsumen suka bosan. Kini, Tri membuat mukena bergambar sama dengan sajadah dan celana sarung. "Tadinya saya sempat bikin sarung. Tapi, saya pikir anak-anak susah pakai sarung, gampang copot. Jadi, saya buat celana katun kotak-kotak, setelah salat bisa langsung bisa dipakai."
Menurut Tri, pesanan makin menggunung beberapa bulan sebelum puasa dan tahun baru. "Tapi saya tidak ngoyo atau memaksa pegawai lembur, toh rezeki akan mengalir sendiri," papar Tri yang menyaratkan agen harus membeli minimal 12 buah. "Selanjutnya terserah mereka, saya tak menargetkan harus belanja berapa."
Solihatin (38) sejak 1990 sudah bekerja di perusahaan garmen khusus bordir selama 10 tahun. Seusai menikah, Sol, begitu ibu dua anak ini biasa disapa, diminta suami berhenti kerja dan membuka usaha jahit sendiri. "Saya kebagian tugas membordir, sementara suami menjahit. Bekal ilmu membordir selama bekerja saya manfaatkan."
Sayang, ujian datang saat sang suami meninggal dunia setelah delapan tahun menikah. Padahal, dua anaknya masih kecil dan butuh biaya sekolah. "Saya sempat putus asa dan pengin jadi TKW, tapi siapa yang menjaga anak-anak? Ibu saya juga usianya sudah 80 tahun. Akhirnya, saya mencoba meneruskan usaha suami."
Sang suami, dulu membuat baju koko dan jubah. "Tapi saya ketipu. Tiap kali ada pembeli, tak langsung bayar. Mungkin karena perempuan, akhirnya saya diakali orang. Lama-lama barang habis, tapi uangnya tidak ada. Bangkrutlah saya." Akhir 2010, Sol bertemu Lembaga Keuangan Mikro dan meminjam uang buat modal sebanyak Rp 1 juta. "Saya manfaatkan modal itu untuk meneruskan usaha bordir. Untungnya, saya masih punya mesin bordir peninggalan suami, tinggal beli bahan saja."
Dari modal itu, Sol bisa membuat 14 mukena dengan bahan dan motif yang lebih bagus. "Dulu saya belum bisa memadukan warna dan desain, lalu belajar mulai dari memilih bahan, menggambar motif, dan memadukan warna."
Usaha Sol makin dikenal saat bertemu UKM Center mitra PT HM Sampoerna. Peningkatan pun mulai dirasakan Sol. Jika dulu mukenanya hanya dijual Rp 70 ribu karena bahannya murah, kini mukena bordir Sol bisa dihargai Rp 125 - 250 ribu, tergantung motif bordirnya. "Harga mukena yang lama saja sudah dianggap mahal buat di kampung. Tapi, sekarang lebih luas pembelinya karena sudah masuk ke UKM Center."
Bahkan Sol dibantu empat orang tetangganya, hingga bisa meraup keuntungan sampai 200 persen. "Dalam sebulan bisa laku sampai 30 mukena. Kadang-kadang malah tak bisa memenuhi keinginan pemesan karena banyaknya order."
Ide motif diperoleh Sol dari mana saja atau konsumen yang memberi masukan. Ciri khas mukena bordir buatan Sol adalah bunganya kecil-kecil, tak seperti kebanyakan dijual. "Dulu, mukenanya cuma dibungkus plastik, tapi sekarang sudah ada tasnya, dilengkapi sajadah bordir. Bordirnya pun rata dan penuh, sama dengan mukenanya," kata Sol yang selanjutnya ingin membuat busana muslim dan baju koko.
Hanya saja, Sol masih mengalami kendala soal modal. "Tapi saya tidak pernah putus asa, harus ada kemauan. Saya percaya, di mana ada kemauan di situ ada jalan." Terhadap pegawai pun, Sol enggan menyalahkan jika jahitan kurang bagus. "Saya sendiri yang merapikan. Biasanya dikerjakan malam hari kalau anak-anak sudah tidur. Enggak enak kalau harus menegur."
Keuntungan yang diperoleh Sol pun cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. "Saya juga bisa kredit motor. Pokoknya, saya ingin membahagiakan keluarga meski kerja sendiri. Anak-anak jangan sampai terlantar," tegas Sol.
Noverita, Gandhi / bersambung
KOMENTAR