Mungkin sudah garisnya, berkat sinetron Pesantren Rock and Roll saya jadi makin dikenal masyarakat. Sebenarnya jika berbicara sinetron, saya sudah mulai main sinetron sejak 1987. Saya mengawali karier sebagai figuran lalu naik jabatan menjadi stuntman. Karier saya sebagai seorang stuntman teruji lewat berbagai film, antara lain Saur Sepuh, Satria Madangkara lalu disusul beberapa film dan sinetron lain.
Tapi, ya, itu. Lama-kelamaan, karena figur dan raut wajah saya sangat mirip dengan almarhum Papi, pelawak yang tergabung di kelompok Srimulat, Gepeng, saya jadi sering mendapat tawaran untuk jadi komedian atau pelawak. Setelah sinetron dan film, menyusul tawaran jadi bintang iklan. Dan, tahun 90-an sampai 2000-an saya pun akhirnya direkrut oleh teman-teman almarhum Papi untuk bergabung dengan Srimulat.
Mereka yang lahir sebelum tahun 80-an pasti sudah mengenal sosok Papi saya, yang bernama asli Aris Freddy atau Gepeng, dan Mami saya bernama Supiah. Kedua orangtua saya ketika itu sangat dikenal di dunia seni peran. Papi sebenarnya tak hanya bisa melawak, tapi juga menguasai beberapa alat musik tradisional bahkan bisa mendalang. Sementara Mami aktif di kegiatan kesenian tradisional. Kedua orangtua memang berasal dari keluarga berdarah seni.
Meski begitu, sejak kecil saya yang jadi sulung dari empat bersaudara rasanya tak pernah disiapkan untuk meneruskan darah seni keluarga. Bahkan Papi pernah berkata, ia tak mau anak-anaknya mengikuti jejaknya jadi seniman. Cukuplah darah seni itu berakhir pada dirinya. Alasannya, capek! Menurutnya, setiap saat selalu kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki. Andai Papi masih ada, beliau pasti marah besar jika tahu saya jadi seperti saat ini. Ha ha ha...
Hidup Mewah
Apa yang dikatakan Papi memang tak salah, saya sendiri mengalami sulitnya menjalani kehidupan sebagai pekerja seni. Bagaimana tidak capek jika selalu pindah sana, pindah sini. Bahkan KTP dan surat nikah saja tak punya. Memang sangat berbeda sekali antara seniman zaman dulu dengan seniman sekarang. Seniman zaman dulu butuh perjuangan yang sangat besar. Seniman sekarang? Hanya modal wajah cakep atau jelek sekali, malah bisa sukses.
Karena itu, sampai saat ini masih terjadi pertentangan batin dalam hati saya. Saya sebenarnya enggak pernah berharap menjadi seorang komedian atau pekerja seni. Apa yang saya lakukan ini juga bukan ingin mengkhianati wasiat almarhum Papi. Semuanya berjalan tanpa saya rencakan. Saya merasa, ini adalah kuasa Allah yang memberikan jalannya seperti ini.
Saya yang lahir di Jogja, 13 Maret 1974, sejak kecil saya melihat perjuangan Papi dan Mami menghidupi keluarga dari panggung ke panggung. Saya merasakan sendiri betapa beratnya perjuangan Papi dan Mami. Tak jarang, saya ikut menonton aksi mereka dari pinggir panggung.
Dari pinggir panggung itulah, saya belajar bagaimana Papi bisa membuat orang tertawa, mendalang, bermain kendang atau gamelan dan bagaimana Mami mementaskan tari-tarian tradisional. Dari menonton itu, saya akhirnya sedikit-sedikit bisa lah.
Alhamdulillah, apa yang kedua orangtua lakukan mampu mengangkat derajat dan ekonomi keluarga. Seiring dengan semakin dikenal masyarakat, semakin banyak pula tawaran kerja. Mulai dari pentas di panggung sampai membintangi beberapa film layar lebar.
Akibatnya, bisa dibilang kehidupan kami anak-anaknya sangat berlimpah dan berkecukupan. Ibarat sebuah negara, Papi itu sudah seperti Presiden. Mau apa saja bisa beli. Apa saja yang saya dan adik minta pasti diberikan Papi. Semua benda yang diinginkan dibeli cash oleh Papi. Tak hanya untuk anaknya dan saudara, buat teman dan sahabat pun Papi amat royal.
Dengan apa yang didapatkan Papi dan Mami, tak ada hal lain yang ada dalam pikiran saya ketika itu selain sekolah dan bersenang-senang. Semua orang mengenal saya sebagai anaknya Gepeng. Kemanapun dan melakukan apapun selalu didahulukan, kami sangat dihormati masyarakat.
Hidup keluarga kami sangat berkecukupan dan menyenangkan. Meski begitu, sejak SD saya dan adik-adik tak pilih-pilih teman dalam bergaul. Saya tetap bermain dengan beragam golongan masyarakat. Bahkan jika dihitung, mungkin teman saya malah lebih banyak dari kalangan ekonomi bawah dan preman.
Sementara Papi adalah orang yang sangat santun, demokratis dan cinta keluarga. Sebisa mungkin selalu menghabiskan waktunya bersama anak dan istrinya. Papi juga bukan orang yang tempramental, bahkan Papi tak pernah memukul atau memarahi anak-anaknya. Kalaupun marah, paling hanya melotot. Jika sudah melotot, saya dan adik-adik jadi takut.
Yang sangat saya ingat soal Papi, ketika beberapa kali ia dapat undangan show ke luar negeri, seperti Australia, Jepang dan Singapura. Karena harus tinggal beberapa lama di luar negeri, ia kangen anak dan istrinya. Papi lalu menyuruh kami menyusulnya. Tapi kami tak pernah lama tinggal di luar negeri. Sampai di negera tujuan dan bertemu Papi, keesokan harinya sudah diminta pulang lagi. Ha ha ha...
Nah, sekitar tahun 1983, Papi sempat menghadapi sebuah kasus kepemilikan senjata api ilegal. Akibatnya, ia harus masuk penjara. Lima bulan mendekam di penjara, sikapnya jadi berubah. Papi jadi sering melamun dan semakin sering mabuk-mabukan. Memang, sejak dulu beliau suka minum alkohol, tapi tak sebanyak waktu itu.
Setiap pagi, jika saya mau berangkat sekolah, ketika mencium tangan Papi, pasti tercium bau alkohol. Di rumah, minuman alkohol itu mungkin ada berkerat-kerat. Bila tak ada kegiatan, Papi biasa duduk di gazebo sambil mendengarkan musik gamelan ditemani botol minuman beralkohol.
Saat itu, saya tak bisa melarang. Agar Papi tahu saya tak suka tindakannya, saya mulai ikut minum minuman beralkohol. Kelas 3 SMP saya sudah mulai minum alkohol sebagai tanda protes. Saya juga bagi-bagikan minuman itu ke semua orang. Maksudnya, agar stok minuman alkohol di rumah habis. Ternyata itu tak menghentikan kebiasaan Papi.
Kebiasaan minum alkohol akhirnya membuat kesehatan Papi semakin lama semakin menurun, badannya pun semakin kurus. Papi lalu berobat ke Singapura, dokter mengingatkan untuk mengurangi kebiasaan minum alkohol karena fungsi livernya sudah terganggu.
Bukannya berhenti, Papi semakin menjadi. Papi malah menantang dokternya, "Yang menentukan hidup itu kamu atau Tuhan?" Karena tak bisa berubah, empat tahun kemudian Papi dirawat di rumah sakit. Tanggal 11 Juni 1988, Papi tiada.
Seperti sebuah kalimat bijak, hidup memang seperti roda yang berputar. Sejak Papi meninggal, kehidupan keluarga kami berubah 180 derajat. Jika awalnya kami hidup dengan beragam kemewahan, hanya dalam waktu kurang dari satu tahun saja semuanya hilang. Keluarga besar berebut warisan hingga membuat tabungan habis, rumah dan isinya pun habis, tak jelas uangnya ke mana.
Akhirnya, kami harus meninggalkan kehidupan glamor dan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Solo. Untuk membeli beras, kami harus menjual semua barang yang masih tersisa. Semua kenangan dan harta Papi, mulai dari kaset master dan baju pun habis dijual.
Semua itu masih terbayang di pelupuk mata, seakan baru kemarin peristiwa ini terjadi. Sedih, sudah pasti, terlebih ketika melihat wajah adik-adik yang ketika itu masih kecil-kecil.
Sebagai anak sulung, saya harus menjadi kepala rumah tangga. Saya yang dulu sangat manja dan tergantung pada orangtua, harus mengambil alih posisi Papi dan harus mulai menghidupi keluarga. Karena tak ada yang bisa membantu, mau tak mau saya harus bisa mencari nafkah. Saya sadar, berapa pun banyaknya harta peninggalan Papi yang dimiliki, tak bisa terus menerus membiayai hidup keluarga kami.
Edwin Yusman F / bersambung
KOMENTAR