Saya meyakini betul bahwa kematian, jodoh, dan nasib manusia sudah ditentukan Allah. Demikian juga kematian Umi yang tidak bisa dimajukan atau dimundurkan satu detik pun. Kehilangan, itu sudah pasti. Tapi saya tidak boleh merintih.
Sebenarnya, ketika Tuhan memanggil kembali Umi, hubungan kami tengah mesra-mesranya. Dua pekan sebelumnya, Umi bersama kawan-kawan DPR komisi I, melakukan kunjungan kerja ke Rusia. Ia minta saya temani. Ini tidak lazim.
Selama dia menjadi anggota dewan, baru kali ini ia minta ditemani. Saya yang bertugas membantu Presiden PKS di kantornya, sungkan meninggalkan pekerjaan demi menemani istri. Saya minta Umi untuk izin langsung ke pimpinan dan saya baru berangkat setelah izin keluar.
Ceritanya, kami tengah berbahagia karena Si Sulung, Ahmad Umar Al Faruq, berhasil menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saya, Umi, dan beberapa anak, berniat menghadiri acara wisuda Umar.
Hajatan Pembantu
Kami berangkat ke Jogja dan sempat mampir di Bandung, menengok ibu saya yang kurang sehat. Umi langsung menyambut dengan senang hati. Padahal pada saat bersamaan, sebenarnya Umi ada undangan dari Princess Jordania, seorang ilmuwan yang mendapat gelar doctor honoris causa dari sebuah universitas di Jakarta. Umi diundang ke acara jamuan makan di sebuah restoran. Namun, Umi memilih menemani saya.
Dari Bandung, kami bertolak ke Jogja. Acara wisuda berlangsung lancar. Kami sempat mampir ke Magelang, menjenguk nenek saya yang usianya sudah 94 tahun. Di situ, saya tawarkan Umi untuk kembali ke Jakarta dengan pesawat terbang agar tidak kecapekan. Namun, Umi tetap memilih bersama rombongan, naik mobil.
Kembali ke Jakarta, kami lewat jalur pantura karena Umi ingin menghadiri pernikahan pembantu kami yang berlangsung malam itu di Desa Guci, Tegal. Memang begitu kebiasaan Umi. Tiap pembantu kami ada hajatan, Umi selalu hadir. Itu sebabnya hubungan Umi dengan semua pembantu kami sangat dekat.
Tiba di Desa Guci pukul 22.30, acara resepsi baru saja selesai. Kami sempat mengobrol dengan keluarga besar pembantu. Sekitar jam 24.00 kami bergerak dari Guci menuju Jakarta.
Di mobil itu, duduk anak ke-5 kami, Sholahudin, serta pengemudi. Sementara saya dan Umi di kursi penumpang tengah. Umi duduk di sebelah kiri. Lalu, di barisan belakang, anak ke-8, Muhammad Ayyasy, si sulung Umar, dan paman dari Umi. Saya letih dan mengantuk sekali.
Saya memakai sabuk pengaman tapi lupa mengingatkan Umi. Sesampai di Cirebon, sopir minta ganti. Sholah kini memegang kemudi. Mobil kembali melaju, memasuki jalan tol Palimanan, Cirebon. Saat itu, saya sempat terjaga. Situasi jalanan di Sabtu (21/5) dini hari itu begitu sepi.
KOMENTAR