Di akhir minggu, aku melatih motoriknya sambil berkomunikasi menggunakan jari, kedipan mata, gerak bibir, suara dan napas. Komunikasi kami berubah jadi non verbal. Saat ia berdeham, aku hampiri dan tanya, "Papa mau minum atau tidak? Kalau iya, kedip sekali. Kalau tidak, dua kali".
Ujian kembali mendera ketika tahun 2007 Victor terserang stroke lagi. Tekanan darahnya naik drastis. Sebetulnya, keluhan tekanan darah tinggi sudah ia alami sedari kuliah. Bedanya, dulu Victor masih sering olahraga. Bela diri, naik gunung, arung jeram, paralayang hingga marathon. Sejak aktif menjadi dosen, semua aktivitas tadi tak sempat lagi dilakoninya.
Demi kesembuhannya, berbagai terapi ia jalani, mulai terapi ozon, pijat otot, akupunktur, sentil saraf, dan lainnya. Aku dan Victor tak mau menyerah! Dan, syukurlah, Tuhan masih melindungi suamiku.
Jika dikalkulasi, berbagai pengobatan itu menelan biaya tak sedikit. Sudah lebih dari Rp 400 juta. Alhamdulillah, Victor masih menerima dana pensiun dari UI dan hingga kini, aku masih dipercaya sebagai project manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Jujur, terkadang ada juga teman-teman yang sangat baik hati memberi sumbangan. Kami sangat berterima kasih.
Kisah asmaraku dengan Victor bermula saat kami sama-sama kuliah di UI, Salemba. Aku mahasiswi Sastra Prancis, sedangkan Victor di Ilmu Komunikasi Pembangunan. Meski beda fakultas, teman main kami sama. Berawal dari teman satu geng, akhirnya malah berpacaran.
Pada 8 Agustus 1988, aku dan Victor berikrar sehidup semati dalam ikatan pernikahan. Bisa dibilang, rumah tangga kami dibina dengan dasar idealisme yang kuat. Maklum, sejak kuliah pemikiran suamiku memang selalu beberapa langkah ke depan. Hal ini aku kagumi, juga oleh teman-teman. Meski tahu banyak hal, Victor tak pernah menggurui dan selalu menempatkan diri sesuai kapasitasnya sebagai suami, teman, sahabat, sekaligus ayah. Sifat kami juga mirip. Sama-sama humoris, suka baca buku dan senang masak.
Setelah menikah, Victor melanjutkan kuliah di University of Texas, Austin, Amerika Serikat. Ia diberi beasiswa hingga meraih gelar doktor. Aku dan Adilla diboyong ke Negeri Paman Sam selama 9 tahun.
Ya, semua kisah manis itu kini tinggal kenangan bagiku. Rasanya pedih bila mengingat, di usia 22 tahun pernikahan kami kondisinya sudah tak sama. Dulu, kami sering makan di luar, nonton ke bioskop, mengantar Adilla latihan baseball, tertawa dan bercanda bersama, berdiskusi tentang banyak hal. Ah, aku sungguh rindu dipeluk suamiku...
Bukan hanya aku yang merindu, Adilla pun kerap menangis jika teringat masa-masa itu. Suatu hari, ketika jalan ke mal berdua, putraku bilang, "Ma, dulu Papa, kan, suka beliin Adilla es krim di sini, ya." Duh, ibu mana yang tak sedih mendengarnya?
Tahun lalu, putraku mendapat beasiswa di Loyola University Chicago, Amerika Serikat. Dia mengambil kuliah di bidang jurnalistik, sama seperti ayahnya. Walaupun berat melepas kepergiannya, aku tak mau membunuh impiannya. Ia adalah pelita hidupku. Walau sesungguhnya rumah terasa semakin sepi...
KOMENTAR