Seminggu sebelum hari kelabu itu datang, aku mendapat firasat aneh saat suamiku tercinta, Victor Menayang, bercanda denganku. Ia bilang, "Kayaknya aku bisa kena stroke, nih, kalau lama-lama tinggal di Jakarta karena stres dan macet". Tak disangka, candaan itu jadi kenyataan. Senin, 30 Mei 2005, Victor yang menjadi dosen pascasarjana di Fakultas Komunikasi Universitas Indonesia (UI) ditemukan tergeletak tak berdaya di lantai ruang dosen.
Saat itu, aku yang masih di kantor segera menyusul Victor ke RS St. Carolus. Ya Tuhan, kulihat Victor terus menerus kejang! Perasaanku tak karuan. Menangis pun tak bisa. Baru ketika putra semata wayangku, Adilla Paramatra menangis, aku ikut terisak.
Lumpuh Total
Setelah dokter memeriksa, suamiku dinyatakan mengalami perdarahan di batang otak (brain stem stroke). Kesempatan hidupnya hanya 5 persen. Deg! Aku terdiam. Terus kuyakinkan dalam hati, hidup dan mati adalah keputusan Tuhan. Atas saran kerabat, malamnya Victor kupindahkan ke RS Siloam, Karawaci. Sepanjang perjalanan, di dalam ambulance, Adilla tak henti menangis. Kami saling berpegangan tangan.
Empat hari Victor dirawat di ICU. Dokter bilang, jika bisa melewati masa kritis, Victor akan mampu bertahan hidup. Namun, di hari ke-4 ada cairan di otak yang harus dikeluarkan. Ada dua pilihannya. Jika dibiarkan, cairan akan menekan saraf, membengkak dan suamiku bisa meninggal. Tapi, bila dilakukan operasi kecil untuk memasukkan selang, cairan dapat dikeluarkan dengan risiko suamiku akan lumpuh total.
Keluarga sepakat memilih langkah operasi. Aku yakin, Tuhan punya rencana sendiri buat Victor. Syukur, operasi berhasil dan ia mampu melewati masa kritis, meski tubuhnya tak lagi bisa bergerak.
Sungguh tak mudah menjalani cobaan ini. Setiap hari sepulang kerja, aku menginap di rumah sakit. Siang tak enak makan, malam sulit tidur. Ketika kerap terjaga, aku mengirim SMS ke teman-teman. Doa dari merekalah yang menguatkan rasa optimisku.
Setelah berbulan-bulan dirawat, suamiku boleh pulang. Aku membawanya ke rumah kami di Sawangan, Depok. Sebelumnya, aku lebih dulu membereskan seluruh barang agar ia merasa nyaman di kamarnya. Tak kuasa aku menahan pilu karena teringat semua kenangan semasa ia sehat. Melihat meja kerjanya yang dipenuhi buku-buku yang berserakan.
Sebelum terserang stroke, suamiku adalah ketua KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang dengan semangat menelurkan idealismenya untuk kemajuan dunia penyiaran di Indonesia. Sayang, baru dua tahun menjabat, cita-citanya sementara terhenti.
Dengan kondisi Victor yang lumpuh, praktis rutinitasku di rumah berubah. Setiap pagi, aku membuatkan makanan khusus, mengganti baju dan plastik kateter Victor. Setelah suster datang, aku berangkat ke kantor. Sepulang kerja, aku memandikan suamiku.
Di akhir minggu, aku melatih motoriknya sambil berkomunikasi menggunakan jari, kedipan mata, gerak bibir, suara dan napas. Komunikasi kami berubah jadi non verbal. Saat ia berdeham, aku hampiri dan tanya, "Papa mau minum atau tidak? Kalau iya, kedip sekali. Kalau tidak, dua kali".
Ujian kembali mendera ketika tahun 2007 Victor terserang stroke lagi. Tekanan darahnya naik drastis. Sebetulnya, keluhan tekanan darah tinggi sudah ia alami sedari kuliah. Bedanya, dulu Victor masih sering olahraga. Bela diri, naik gunung, arung jeram, paralayang hingga marathon. Sejak aktif menjadi dosen, semua aktivitas tadi tak sempat lagi dilakoninya.
Demi kesembuhannya, berbagai terapi ia jalani, mulai terapi ozon, pijat otot, akupunktur, sentil saraf, dan lainnya. Aku dan Victor tak mau menyerah! Dan, syukurlah, Tuhan masih melindungi suamiku.
Jika dikalkulasi, berbagai pengobatan itu menelan biaya tak sedikit. Sudah lebih dari Rp 400 juta. Alhamdulillah, Victor masih menerima dana pensiun dari UI dan hingga kini, aku masih dipercaya sebagai project manager Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Jujur, terkadang ada juga teman-teman yang sangat baik hati memberi sumbangan. Kami sangat berterima kasih.
Kisah asmaraku dengan Victor bermula saat kami sama-sama kuliah di UI, Salemba. Aku mahasiswi Sastra Prancis, sedangkan Victor di Ilmu Komunikasi Pembangunan. Meski beda fakultas, teman main kami sama. Berawal dari teman satu geng, akhirnya malah berpacaran.
Pada 8 Agustus 1988, aku dan Victor berikrar sehidup semati dalam ikatan pernikahan. Bisa dibilang, rumah tangga kami dibina dengan dasar idealisme yang kuat. Maklum, sejak kuliah pemikiran suamiku memang selalu beberapa langkah ke depan. Hal ini aku kagumi, juga oleh teman-teman. Meski tahu banyak hal, Victor tak pernah menggurui dan selalu menempatkan diri sesuai kapasitasnya sebagai suami, teman, sahabat, sekaligus ayah. Sifat kami juga mirip. Sama-sama humoris, suka baca buku dan senang masak.
Setelah menikah, Victor melanjutkan kuliah di University of Texas, Austin, Amerika Serikat. Ia diberi beasiswa hingga meraih gelar doktor. Aku dan Adilla diboyong ke Negeri Paman Sam selama 9 tahun.
Ya, semua kisah manis itu kini tinggal kenangan bagiku. Rasanya pedih bila mengingat, di usia 22 tahun pernikahan kami kondisinya sudah tak sama. Dulu, kami sering makan di luar, nonton ke bioskop, mengantar Adilla latihan baseball, tertawa dan bercanda bersama, berdiskusi tentang banyak hal. Ah, aku sungguh rindu dipeluk suamiku...
Bukan hanya aku yang merindu, Adilla pun kerap menangis jika teringat masa-masa itu. Suatu hari, ketika jalan ke mal berdua, putraku bilang, "Ma, dulu Papa, kan, suka beliin Adilla es krim di sini, ya." Duh, ibu mana yang tak sedih mendengarnya?
Tahun lalu, putraku mendapat beasiswa di Loyola University Chicago, Amerika Serikat. Dia mengambil kuliah di bidang jurnalistik, sama seperti ayahnya. Walaupun berat melepas kepergiannya, aku tak mau membunuh impiannya. Ia adalah pelita hidupku. Walau sesungguhnya rumah terasa semakin sepi...
Hampir enam tahun berlalu, kondisi Victor masih belum pulih. Banyak orang bertanya, mengapa aku bisa begitu tegar merawatnya. Ya, aku memang bukan perempuan yang mudah menangis. Aku selalu berusaha positive thinking. Bila rasa sedih datang, aku memilih berkumpul sejenak bersama teman-teman agar tak melulu ingat keadaan di rumah.
Selain itu, kuanggap sakitnya Victor sebagai proses aku mendalami agama dan menemukan rasa cinta kepada-Nya. Setiap kali hati ini bersedih, aku terus berzikir dan meminta kepada-Nya. Aku merasa mengenal Tuhan lebih baik dan doaku selalu didengar.
Karena itu pula, rasa cintaku kepada Victor semakin meluap. Tak pernah terlintas penyesalan dan meratapi keadaan ini. Terlebih, impian kami menyekolahkan Adilla ke luar negeri telah tercapai.
Saat merayakan ulang tahun Victor ke 50, aku mengundang teman-teman. Meski ia tak banyak bereaksi, ia terlihat senang sekali. Beberapa waktu lalu, suamiku juga mencoba tersenyum meski susah payah menggerakkan bibirnya. Saat itu, suster yang menjaganya minta doa restu untuk menikah dan ingin melihat Victor tersenyum merestuinya.
Ya, hal-hal kecil seperti inilah yang terus menguatkanku. Aku optimis akan datang hari baik dalam hidup kami. Yang pasti, aku ingin menghabiskan seluruh sisa hidupku di samping Victor. Selamanya. Apa pun keadaannya.
Ade Ryani
Foto: Wantek, Dok Pribadi
KOMENTAR