Bapak memang di-SMS, katanya mau ditembak. Kalau ke keluarga, paling-paling lewat SMS. "Hati-hati keluarga!" begitu ancamannya. Ya, kami memang harus waspada. Takutnya menyesal belakangan. Yang penting, selalu berdoa. Kalau manusia bermaksud jahat tapi Allah tidak mengizinkan, insya Allah tidak akan terjadi.
Pernah menyarankan agar suami mundur saja dari PSSI?
Sering saya sampaikan! Saya bilang, "Mundur saja lah daripada kita teraniaya dan terzalimi seperti ini." Tapi setelah melihat pemberitaan seperti itu, juga dari penjelasan Bapak tentang aturan main yang seharusnya, ditambah mengikuti pertemuan Bapak dan DPR, akhirnya saya mengerti duduk permasalahannya. Menurut saya, kalau komitmen dan aturannya seperti itu, ya, sudah, maju terus saja.
Sebagai istri, saya selalu support. Apa pun risikonya. Apa pun yang terjadi, badai pasti berlalu.
Seperti apa, sih, sosok Nurdin Halid di mata Anda?
Bapak itu romantis, penyayang, dan perhatian. Dia sangat sayang sama anak, istri, orang tua, dan saudara. Jangankan ke keluarga, ke orang lain saja sangat perhatian.
Di rumah, kami sering menghabiskan waktu berduaan. Karaoke, olahraga, berenang, atau bersepeda di halaman rumah bersama keluarga. Selalu ada waktu untuk keluarga. Memang sudah komitmen, Senin-Jumat untuk kerja, Sabtu-Minggu khusus keluarga. Saking romantisnya, anak kami sampai tujuh, ha ha ha.
Bapak pun sadar, tanpa dukungan keluarga, tidak akan berhasil. Istilahnya, kalau sukses di luar tapi di rumah berantem saja, kan, puyeng juga. Tapi kalau sudah urusan bola, sering juga kami dikesampingkan. Anak saya sampai bercanda, memberi panggilan kesayangan "Bapak Bola", ha ha ha.
Sejak kecil memang sudah gila bola, ya, Bu?
Ya. Makanya menurun ke anak-anak. Anak kami, Andi M. Nur Albisri (17), sedang sekolah bola di Uruguay. Mudah-mudahan 5 tahun lagi cita-citanya masuk tim Garuda kesampaian. Yang satu lagi, Andi Muhamad Nur Halid (7), sudah ingin jadi kiper. Yang perempuan juga sama saja. Kalau ada pertandingan, langsung repot cari baju Timnas mau pergi nonton. Anak-anak yang kecil ngebet foto sama Irfan Bachdim.
Sampai sekarang, Bapak kalau diajak bicara bola, walau sudah mau tidur, langsung matanya melek lagi. Bisa 2 X 24 jam tidak berhenti bicara bola sama Bapak.
Sebetulnya kami ini dijodohkan. Kalau istilahnya, Pilot, pilihan orang tua, ha ha ha. Kebetulan orang tua kami masih sepupu. Waktu itu usia saya 18 tahun, dia 25 tahun.
Yang saya tahu, Bapak itu orangnya sangat agresif. Waktu kuliah, sudah cari biaya untuk diri sendiri dengan berjualan diktat. Bahkan jadi tukang cuci mobil. Sampai sarjana dan menikah, semua dengan biaya sendiri. Selain agresif, Bapak juga punya kemauan keras. Kalau sudah ingin sesuatu, harus didapat.
Saya ingat, tahun 2001, sewaktu Pak Agum Gumelar mundur dari jabatan Ketua PSSI, Bapak sempat bilang, "Suatu saat saya akan jadi Ketua PSSI." Waktu itu saya enggak percaya. Eh, benar kejadian.
Tahun ini, 27 tahun saya menemani Bapak. Suka-duka dan jatuh-bangun Bapak di bola, saya tahu. Dulu, waktu Bapak masih jadi Manajer PSM, saya selalu ikut nonton pertandingan. Biar begini, saya ini paling senang kalau disuruh jadi suporter bola. Teriak-teriak di lapangan, ha ha ha.
Ada pengalaman unik saat menonton bola?
Pernah kami nonton bola, lalu terjadi kerusuhan. Akhirnya, demi keselamatan, saya harus bersembunyi di gorong-gorong. Apesnya, sepertinya baru ada yang buang air kecil di gorong-gorong itu, ha ha ha. Pernah juga kami harus dikawal masuk panser dan pakai baju tentara agar selamat dari kerusuhan. Pokoknya, seru sekali!
Jangan-jangan Bapak tak mau mundur karena PSSI banyak duitnya, ya, Bu?
Wah, banyak duitnya dari mana? Ha ha ha. Tidak ada! Yang ada, kami malah banyak nombok. Misalnya saat mau main ke mana atau memberi bonus pemain. Begitu juga kalau ada keluarga pemain yang sakit. Semua dari kantong kami. Dulu, bahkan Bapak sampai menggadaikan emas segala untuk menutupi biaya. Tapi, ya, sudahlah, kami ikhlas, kok. Baru setahun belakangan saja bantuan dari Pemerintah untuk bola mulai banyak.
Adakah permintaan Anda kepada publik yang masih terus mendemo Bapak?
Saya sangat mengharapkan kepada yang berdemo, demolah secara sehat. Demo boleh, tapi dengan bahasa yang pantas diucapkan kepada sesama manusia. Toh, Anda manusia, begitu juga saya dan Bapak. Kita ini, kan, sama-sama ciptaan Allah. Itu saja.
Ajeng
KOMENTAR