Hujan lebat yang tiba-tiba mengguyur Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur (Rabu, 2/2) menyambut tibanya 10 bus yang berisi balita dan perempuan warga negara Indonesia (WNI). Mereka baru saja mendarat dari Mesir. Suasana haru sekaligus bahagia, segera terasa ketika sanak keluarga menyambut mereka. Ratna Suhesti tak henti-hentinya menciumi kedua cucunya, Husna (2) dan Aufah (1 bulan). Nenek ini begitu khawatir akan nasib anak-cucunya ketika mendengar berita memburuknya situasi di Kairo.
Sejak Mesir bergolak, Ratna dan suaminya, Asep Kodrat, terus memikirkan kedua putrinya, Risna Amalia (25) dan Nur Latifa, yang kuliah di Universitas Al Azhar, Mesir. Apalagi, Risna sudah punya dua anak balita. "Telepon susah nyambung. Begitu bisa kontak, saya langsung tanya kondisi anak dan cucu. Meski jawabannya baik-baik saja, tetap saja kepikiran," kata Asep.
Apalagi, sambung Asep, kedua putrinya bilang, hanya punya stok makanan untuk beberapa hari saja. "Padahal krisis di Mesir, kan, tidak bisa diprediksi kapan berakhirnya." Hati pria ini pun langsung berbunga ketika ada kabar Pemerintah Indonesia akan memulangkan WNI yang tinggal di Mesir. "Bersyukur mereka bisa kembali ke Indonesia dengan selamat," tuturnya sambil terus memandangi dua cucunya yang baru dilihatnya sejak mereka dilahirkan.
Kebahagiaan juga dirasakan pasangan H. Ito Mahfuddin dan Maemunah melihat putri mereka yang kuliah di sana, Mawarddah Sholimah (22), pulang dengan selamat. "Kami tak tidur lima hari lima malam. Pikiran kami hanya ke Wardah. Apalagi dia tinggal di apartemen di Nasr City, pusat demontrasi warga Mesir." Ito makin was-was ketika mendengar cerita Wardah, "Waktu itu dia cerita, stok air mulai dibatasi. Masak, sih, tiap mau mandi dan wudu harus ke apartemen lain? Dia tidak betah hidup seperti itu. Untunglah kami sudah bisa berkumpul lagi," ujar Ito yang merasa lega karena menteri pendidikan menjamin mahasiswa yang mengungsi tidak akan dikenai sanksi drop out.
Pantas jika para orang tua maupun keluarga sangat mencemaskan anak dan kerabatnya yang berada di Mesir. Seperti diceritakan Layin, mahasiswi Al Azhar asal Jambi, sejak 25 Januari lalu kondisi Mesir benar-benar mencekam. "Apalagi setelah diberlakukan jam malam mulai jam 15.00 hingga jam 08.00." Di saat bebas jam malam, ia dan teman-temannya yang tinggal di Nasr City, sama sekali tak berani ke luar apartemen karena riuh-rendahnya demo. "Kalau harus keluar pun, cuma untuk beli sembako lalu buru-buru kembali ke apartemen lagi."
Selain terkungkung, Layin dan kawan-kawan juga sama sekali tak bisa mengakses informasi seputar kerusuhan di Kairo. Padahal, lokasinya dekat sekali. "Internet dan telepon mati. Televisi juga tak ada yang berani menyiarkan kerusuhan. Sementara radio menyiarkan, tapi tidak begitu jelas."Mereka justru dapat informasi dari kerabat di Indonesia yang kebetulan berhasil menghubunginya. "Aneh, kan? Yang dekat malah tak bisa mengakses informasi," kata Layin yang juga tak bisa menimbun sembako karena bahan pangan juga terbatas. Belum lagi ATM banyak yang mulai rusak.
Kondisi di malam hari juga makin mencekam. Ia dan kawan-kawan kerap mendengar suara rentetan senjata. "Seram banget suasananya," kata Layin yang berhasil pulang lantaran "menumpang" kerabatnya yang punya bayi. Layin berharap, program pemulangan WNI ini pun tak sampai di sini saja. "Soalnya, masih banyak WNI di Mesir yang perlu dievakuasi."
Kondisi yang mencekam dan menakutkan juga dirasakan Erlina. "Seluruh masjid di sana mengumumkan agar para pemuda turun ke jalan. Pemberlakuan jam malam juga bikin suasana makin mencekam. Semua serba kacau. Apalagi setelah saluran telepon diputus. Kami benar-benar ketakutan," ungkap perempuan yang berada di Mesir demi mendapatkan hak asuh buah hatinya, Sultan, setelah dibawa paksa mantan suaminya yang berkebangsaan Mesir.
Wanita asal Pontianak ini amat berharap segera bisa kebali ke Mesir karena perjuangannya demi mendapat hak asuh anak semata wayangnya sampai saat ini masih belum berakhir.
Sebelum akhirnya berhasil menuju Gedung KBRI untuk dievakuasi ke Indoensia, para WNI ini pun harus "berjuang". Pasangan Hanifa Chaerani (24) atau Rani dan Asep Anwar Mustopa (30), misalnya, merasa sangat beruntung bisa pulang ke Indonesia bersama. Keduanya kuliah di Al-Azhar dan tinggal di Katameya, Kairo. Tahun 2008 mereka menikah di Jakarta dan kembali melanjutkan kuliah ke Kairo. "Untungnya, putri kami, Zahra, selama ini dititipkan di rumah neneknya di Garut," cerita Asep saat ditemui di rumah mertuanya di kawasan Meruya, Jakarta Barat.
Sejak Senin (24/1), kisah Asep, sudah terdengar isu akan ada demo besar-besaran di Lapangan Tahrir, Mesir. "Biasanya, kan, hanya demo mahasiswa saja, tidak besar. Nyatanya kali ini sangat besar dan mulai mengancam keberadaan orang-orang asing yang banyak menuntut ilmu di sana."
Kamis (27/1) silam Asep bahkan masih bisa ikut ujian. "Tapi setelah itu keadaan makin mencekam karena mulai diberlakukan jam malam, sampai kami tak bisa ke mana-mana. Ratusan anggota militer mulai berjaga-jaga di jalanan. Wah, saya deg-degan terus kalau ingat suasana di sana."
Selang beberapa hari, KBRI di Mesir mengumpulkan seluruh WNI dan menyarankan agar menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya karena khawatir suasana makin kacau. Masalahnya, harga-harga bahan pokok dan makanan merangkak naik, sejumlah bank tutup, ATM pun banyak rusak. "Esoknya (Senin 31/1), kami dapat kabar akan dilakukan evakuasi tahap pertama, khusus untuk ibu dan anak-anak, turis WNI, serta TKW yang ditinggal kabur majikannya.
Perjuangan menuju Gedung KBRI pun dimulai. "Saat menuju ke situ, kami harus melewati 30 pos militer. Kami ditanyai identitas diri, surat izin tinggal, dan lainnya. Jarak tempuh 10 km yang biasanya hanya 15 menit, harus ditempuh dalam waktu sejam."
Selama perjalanan, dari dalam mobil pasangan ini melihat di setiap titik jalan terdapat pemuda Mesir yang piket, memantau orang lewat, membawa pentungan besar, besi, atau golok. "Untungnya kami tidak harus melewati jalur demonstrasi," kenang Asep yang sempat kehilangan komunikasi untuk menghubungi keluarga dan kerabatnya di Indonesia.
Akhirnya mereka selamat sampai di Gedung KBRI dan bersiap melepas sang istri kembali ke Tanah Air. "Istri lebih penting pulang duluan." Belakangan, Asep bisa mengantar Rani sampai bandara hingga sang istri masuk pesawat. "Saat itulah ada pengumuman, sejumlah WNI ternyata batal ikut di kloter pertama itu karena posisinya masih jauh di luar Kairo. Jadi, ada 20 kursi kosong di pesawat. Saya segera mengajukan diri untuk ikut dalam rombongan pertama itu. Alhamdulillah, diperbolehkan."
Kendati lega sudah kembali ke tengah keluarga, Asep mengaku ingin segera kembali ke Mesir jika keadaan sudah memungkinkan. "Kami merindukan Alexandria, kota di pinggir pantai. Juga jalan-jalan di pinggir Sungai Nil sambil minum teh."
Sukrisna, Noverita
KOMENTAR