Gunung Seulawah yang berdiri kokoh dan terlihat cantik di Aceh Besar menginspirasi Lukman Hakim untuk menamai usaha dendeng sapi yang digelutinya sejak tahun '80-an. Sebelum menjatuhkan pilihan berbisnis dendeng sapi, ayah enam anak ini adalah tukang jagal sapi di rumah pemotongan sapi di Medan.
Sebagai tukang jagal, ia sedih bila melihat daging sapi tak habis terjual. Lalu, ia mulai membeli daging itu antara 5 sampai 10 kg untuk dibawa ke rumah. "Kebetulan mendiang istri saya, Zainabu, wanita keturunan Cina, punya resep membuat dendeng. Kami lalu membuat dendeng dijajakan dari rumah ke rumah," ungkap Lukman yang kemudian mengembangkan usahanya dengan berjualan kulit sapi pada 1986.
Bila kini dendeng Aceh Gunung Seulawah (GS) kerap jadi salah satu oleh-oleh khas Aceh, itu berkat kerja kerasnya memperkenalkan usahanya ke berbagai ajang pameran olahan pangan di kota-kota besar di Indonesia. "Dinas Perindustrian dan Perdagangan sering mengajak kami pameran diberbagai kota," terang Zulfan Hakim (28) anak keempat Lukman yang kini turut mengendalikan usaha dendeng.
Apa istimewanya dendeng GS? "Kami menjaga kualitas rasa dan dagingnya dijamin kering. Komposisi bumbunya juga pas. Bumbu yang pakai antara lain ketumbar, bawang putih, dan gula," terang Zulfan.
Lukman memberi tips bagi para konsumen yang hendak menggoreng dendeng buatannya. "Apinya kecil saja, minyaknya jangan terlalu panas. Bila terlalu panas akan membuat dendengnya kaku karena ada unsur gula di dalam dendengnya," ucapnya.
Usaha dendeng sapi GS, kata Zulfan, dimulai dari memproduksi 3 kg sampai 5 kg daging sapi per hari. Kini, omzetnya kian membesar seiring peminatnya yang terus bertambah. Supermarket pun mau menjualkan produknya. "Kami sudah membuka CV dan toko di Jl Tengku Cik Di Tiro. Kami juga memberi layanan tambahan bagi tamu hotel yang memesan dendeng. Pesanan bisa diantar ke hotel," terang Lukman yang mengemas dagangannya per boks isi 250 gram.
Tergantung Sinar Matahari
Ada belasan produsen dendeng di Salatiga. Wajar, lantaran di daerah ini banyak terdapat peternak sapi. Mereka tak hanya membuat dendeng, melainkan juga abon, keripik paru dan lainnya. NOVA Food, salah satunya. "Awalnya, sih, bikin abon sapi. Lalu kami mengembangkan inovasi dengan membuat dendeng," tutur Nova Ayu Indrajati (22) anak pemilik NOVA Food uang kini diberi wewenang mengelola usaha orang tuanya.
Menurut mahasiswa jurusan ekonomi di Universitas Satya Wacana ini, selama 10 tahun berproduksi, kini produknya sudah menyebar ke Jakarta, Medan, Semarang, Yogya, Bandung, dan Bali. "Sepinya pembeli cuma pas penerimaan sekolah anak. Mungkin uangnya diutamakan buat sekolah."
Meski tak memiliki peternakan sapi sendiri, soal bahan dasar daging sapi, sudah ada pemasoknya. "Kami pakai daging asli tanpa campuran. Kalaupun ada lemak, pasti sedikit," jelas Nova yang mematok harga dendeng Rp 23 ribu untuk 250 gram. "Memang harganya lebih mahal dibanding yang lain. Tapi sebandinglah dengan kualitasnya. Kami tidak mau memberi harga murah tapi ada bumbu yang dikurangi atau pakai daging campuran."
Faktor cuaca jadi kendala dalam bisnis dendeng ini. "Karena harus melalui proses penjemuran di bawah terik matahari. Sebenarnya, bisa dikeringkan dalam oven, tapi hasilnya akan berbeda dengan dijemur di bawah terik matahari. Terutama dari tekstur dagingnya. Kalau dikeringkan secara alami, hasilnya terlihat menarik. Makanya kalau enggak ada sinar matahari produksinya dihentikan dulu," terang Nova.
Rini, Nove
KOMENTAR