Seperti yang kuceritakan sebelumnya, sepulang dari Jepang aku membuka kursus. Sebelumnya, aku mengajar ekstra kurikuler clay di SMP dan SMA Regina Pacis, Jakarta. Rupanya, banyak murid yang tertarik, tapi sayang para orang tua keberatan dengan biayanya. Padahal, perkembangan kepribadian para siswa yang ikut kegiatan ini menjadi lebih bagus, lho.
Penelitian yang dilakukan di Korea dan Jepang menyebutkan, dengan bermain clay, anak-anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan akan terbantu dan mengalami perkembangan EQ (kecerdasan emosional). Aku tertarik membuktikan hal itu dengan mengajar clay di sekolah. Ternyata, benar. Pertama kali mengajar di Regina Pacis, aku bertemu seorang siswa di SMP yang juara umum. Ia menanyakan bagaimana caranya membuat burger clay.
Karena ia tahu susunan burger, aku minta ia untuk membuatnya. Rupanya, ia tak tahu harus bagaimana. Aku beri contoh membuat burger yang selesai dalam waktu lima menit. Tak kusangka, minggu depannya ia datang padaku dengan boneka balerina yang ia buat dari clay. Bahkan tak terpikir olehku sebelumnya akan membuat seperti karyanya. Dari situ aku lihat, pendidikan di Indonesia terlalu banyak teori.
Setelah satu semester mengajar, salah satu orang tua murid menemuiku dan bertanya apakah anaknya yang masih SD boleh ikut belajar. Aku setuju, karena bahan clay ini tidak beracun. Ia bercerita, anaknya yang duduk di bangku SMP sebelumnya adalah anak yang sangat tertutup dan suka ngambek bila mendapat komentar kurang menyenangkan. Namun, setelah bermain clay, ia jadi lebih terbuka dalam menerima kritik.
Para guru di sekolah itu juga mengatakan, siswa yang ikut kelas clay lebih mau mencoba menyelesaikan soal-soal yang diberikan dengan cara lain, dibanding yang tidak ikut. Sebab, ketika membuat clay, orang harus sistematis saat pengerjaannya. Di sinilah menurutku peran yang penting dalam membuat EQ mereka berkembang. Senang rasanya mengetahui hal itu. Sebab pada akhirnya ini menjadi pendorong diriku UNTUK terus berkarya di dunia clay.
Setelah mengajar ekstra kurikuler di sekolah, aku mulai membuat blog di iwser029.multiply.com. Banyak pengunjung yang tertarik pada clay yang kubuat. Dari situlah, pada Agustus 2008 muncul permintaan dari orang-orang untuk mengajar. Mereka datang ke tokoku dan mengatakan ingin belajar. Aku senang sekali menerima mereka.
Keinginanku sederhana, aku tidak ingin wanita Indonesia hanya diam di rumah. Aku ingin mereka juga berkarier tanpa meninggalkan kewajiban mengurus anak.Thailand yang tingkat pendidikan para perempuannya tak jauh berbeda dari perempuan Indonesia saja bisa, kok, mengekspor barang jadinya ke Eropa dan Amerika.
Nah, Aku mengaplikasikan pemikiranku itu dengan cara menerima kursus. Selain mengajar privat atau kelompok, aku juga mengajar kelas untuk calon instruktur. Sebagian dari murid-muridku adalah orang yang pernah kursus di tempat lain. Banyak murid kursus clay di Indonesia yang tergantung pada gurunya.
Maka, aku harus mengubah cara berpikir siswaku ketika mereka belajar kepadaku. Aku katakan, mereka harus melihat gambar atau bahkan barang jadinya, lalu membuatnya dengan versi mereka sendiri. Semua ilmu yang kumiliki kubagikan pada murid-muridku. Aku sama sekali tak takut ilmuku dicuri orang atau orang lain lebih pandai dariku dalam membuat clay. Aku tak pernah takut bersaing dengan clay buatan orang lain. Sebab, clay bikinan tangan satu orang saja bisa berbeda, apalagi bila dikerjakan oleh tangan yang berbeda orang.
Hubunganku dengan murid-muridku sendiri cukup baik. Kami membuat komunitas sendiri di blog yang kubuat. Kami saling membagi foto hasil karya terbaru sambil mendiskusikannya. Aku juga tidak malu minta diajari murid jika menurutku ada karya bagus yang mereka buat.
KOMENTAR