Salah satu hal yang aku tekankan pada muridku adalah jangan merasa hebat, karena dalam dunia seni, yang bermain adalah selera. Kita tak bisa mengatakan karya orang lain jelek karena selera tiap orang berbeda. Yang bisa menikmati karya kita adalah orang yang tentu satu selera dengan kita.
Oh ya, sepulang dari Jepang pad 2008 aku ikut pameran Inacraft tahun 2008 dan pameran Women International Club. Dari situlah nama Ie Craft muncul lalu kujadikan nama toko, sekaligus tempat kursus. Kini, Ie Craft banyak dikenal orang, termasuk di kalangan ekspatriat asal Jepang.
Selain menyediakan peralatan dan perlengkapan bagi para murid kursus, aku juga menyuplai toko-toko di Jakarta dan sekitarnya. Tokoku memang lebih banyak melayani penjualan grosir daripada retail.
Bulan April 2009, aku kembali berangkat ke Jepang untuk menimba ilmu lagi tentang clay. Kali ini, aku belajar tentang transparent clay atau clay transparan yang saat itu sedang tren di Jepang. Bulan April tahun ini, aku juga berangkat lagi ke Jepang untuk kursus singkat. Waktunya sama seperti sebelumnya, yaitu dua minggu. Kali ini, aku belajar tentang sweet deco.
Selain mengajar, aku juga menerima pesanan kerajinan berbahan clay untuk keperluan suvenir berbagai acara. Juga pesanan lain, per gerobak. Lucunya, tak sedikit orang datang ke tokoku membeli karya yang kujadikan barang contoh. Karya-karyaku ternyata juga disukai para kolektor. Hal ini membuatku makin percaya diri untuk berkarya.
Bahkan, para ekspatriat asal Jepang yang akan kembali ke negaranya pun sering memesan padaku, terutama yang bernuansa tradisional khas Indonesia, misalnya miniatur dalam gerobak sate, gerobak bakso, warung rokok, atau warung makan, yang notabene di sana tidak ada.
Nah, waktu berangkat ke Jepang yang terakhir, aku sengaja membawa karyaku dalam bentuk miniatur doll house untuk kuberikan sebagai penghargaan kepada mereka yang sudah membantuku sebagai suvenir.
Di luar dugaan, orang-orang Jepang yang mendapat oleh-oleh itu memintaku untuk membuatnya lagi karena berminat untuk menjualnya di Jepang. Apalagi, di sana tidak ada tren membuat miniatur berbahan clay. Makin lama, pesanan dari mereka makin banyak, sampai membuatku kewalahan mengatur waktu. Akhirnya, sejak September lalu terpaksa aku menolak calon murid yang ingin kursus. Sebetulnya tidak enak hati menolak mereka, tapi aku benar-benar tidak ada waktu.
Aku sudah tidak punya waktu lagi untuk mengajar karena harus mengirim pesanan yang jumlahnya banyak dan harus tepat pada waktunya. Saat ini saja, ada beberapa pemesan dari Jepang yang sudah membayar untuk pengiriman Januari 2011 mendatang.
jangan dikira, menjadi agen tunggal produk clay selalu manis. Pernah, aku didatangi seseorang yang mengaku sebagai pengacara yang disewa pemilik toko clay lain. Aku diminta menunjukkan surat izin menjadi agen tunggal clay yang kuimpor dari Jepang. Tetapi aku menolak. Aku tidak mau berurusan dengan mereka. Karena terus diusili, aku pun ganti menyewa pengacara. Akhirnya pesaingku itu berhenti bersikap "usil".
Atas lancarnya bisnis ini, aku bersyukur, sejauh ini suami mendukungku penuh. Bahkan, waktu aku berangkat kursus ke Jepang pertama kali pada 2008, ia juga ikut mendampingi. Lalu, ketika aku ke Jepang yang terakhir, suami dan anak bungsu kami, Ivana, juga ikut menemaniku. Selama aku belajar clay, suamiku lah yang mengasuh Ivana. Memang enak, bila punya kesibukan didukung penuh oleh suami.
Hasuna Daylailatu
KOMENTAR