Sudah sekitar setahun ini saya dan Mas Wawan tinggal terpisah. Saya berwirausaha di Ambarawa, sementara Mas Wawan tetap bekerja di Jakarta. Setiap pertengahan bulan, saya biasanya ke Jakarta untuk menemui Mas Wawan, melepas kangen. Maklum, sebagai editor sebuah media online, Mas Wawan terhitung sibuk.
Nah, akhir pekan lalu Mas Wawan mengabarkan akan bertugas ke Yogyakarta, berkaitan dengan terus meningkatnya aktivitas Gunung Merapi. Tugasnya spesial, mewawancarai juru kunci Mbah Maridjan. Sebetulnya sudah lama ia tak turun ke lapangan tapi terpaksa meliput karena Mas Wawan memang kenal dekat dengan Mbah Maridjan. Kalau bukan Mbah Maridjan, ia pasti masih berkutat di kantor. Mas Wawan pun berencana mampir ke Ambarawa seusai mewawancarai Mbah Maridjan.
Dompet Ditemukan
Sejak keberangkatannya dari Jakarta ke Yogya, Mas Wawan rajin memberi kabar pada saya. Sekitar pukul 16.30 WIB, ia mengabarkan lewat SMS terakhir, akan bertemu Pak Agus (Agus Wiyarto, orang kepercayaan Mbah Maridjan, Red.) di daerah Kentungan, lalu melanjutkan perjalan ke tempat Mbah Maridjan pakai motor. Saya tak menghubunginya lagi karena takut menganggu.
Tiba-tiba ada kabar Merapi meletus. Saya sempat waswas memikirkan nasib suami yang sedang berada di sana. Lalu bos Mas Wawan mengabari, kantornya kehilangan kontak setelah pukul 18.20 WIB. Setelah itu bosnya yang lain juga menghubungi saya dengan kabar serupa. Apa gerangan yang terjadi?
Perasaan saya mulai tak enak. Telepon dan SMS saya tak direspons Mas Wawan. Tak biasanya dia begitu. Karena perasaan semakin tidak menentu dan ingin mendapat kabar pasti mengenai keberadaan suami, akhirnya saya putuskan berangkat ke Yogya. Di perjalanan, saya sempat mengecek ke RS di Muntilan, RS Panti Nugroho di Pakem, dan juga ke kamar mayat RS Dr Sardjito.
Hampir dalam waktu yang bersamaan dengan itu, anak sulung kami, Ardyanti (18), yang masih kuliah di Bandung, menelepon saya. Sambil menangis dia bilang, "Bapak jadi korban." Korban? Ardiyanti lalu bertutur, dia tahu berita itu dari teve. Katanya, dompet ayahnya ditemukan di lokasi kejadian.
Saat itu saya tak mau percaya. Saya katakan ke si sulung, "Ibu enggak mau percaya sebelum melihat langsung (jasad Wawan, Red.)." Ardyanti akhirnya berkata untuk menghibur saya dan juga mungkin dirinya. "Mudah-mudahan itu cuma dompet Bapak yang jatuh lalu ditemukan orang, ya, Bu."
Ternyata si sulung benar. Tangis saya betul-betul pecah setelah melihat jasad Mas Wawan dengan mata kepala sendiri. Wajahnya memang tak jelas karena sudah tertutup debu dan mengelupas. Tapi menilik sepatunya, memang benar milik Mas Wawan. Sepertinya Mas Wawan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan yang mengenaskan. Posisi kedua tangan di atas kepala seperti menghalau atau menahan sesuatu. Kondisi tangannya semakin parah lantaran ia tak pakai jaket.
Anak bungsu kami juga sempat histeris ketika jasad bapaknya dibawa ke rumah. Anak-anak memang amat kehilangan ayahnya. Mas Wawan memang sayang pada kedua buah hati kami. Mas Wawan tak pernah memarahi Krisnayanti dan Ardyanti. Mas Wawan justru akan selalu memperingati jika saya mulai memarahi atau bersikap keras terhadap anak-anak.
KOMENTAR