Air mata Fatimah (37) memang sudah tak mengalir deras, namun wajahnya menyimpan kepedihan mendalam ketika mengisahkan kembali kejadian yang menimpa Sus (10), anak sulungnya yang menjadi salah satu korban pemerkosaan yang belakangan ini marak terjadi di Denpasar, Bali. "Kepedihan yang saya alami ini ibaratnya sampai menghujam ke ulu hati," katanya saat ditemui di rumahnya, Kompleks Perumnas Monang-Maning, Denpasar.
Pagi itu (Senin 29/3), Sus seperti biasa pamitan ke sekolahnya, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Quba'. Jaraknya hanya sekitar 500 meter dari rumahnya. Gadis kurus berwajah manis ini tak menyangka, ia tengah diincar seorang penjahat. Seperti pengakuan Sus kepada Fatimah, saat ia baru berjalan puluhan meter dari rumahnya, tiba-tiba dari arah belakang dipepet seorang pria bermotor bebek hitam. Ia memakai helm tertutup dan langsung menggamit tangan Sus dan mendudukkannya ke jok motor. "Diam saja, aku teman bapakmu!" katanya sambil menancap gas motornya.
Sus yang ketakutan hanya terdiam ketika pelaku mengajaknya berjalan berkeliling ke beberapa tempat. Sekitar setengah jam kemudian, motor diarahkan ke semak-semak, sekitar 100 meter dari jalan raya. Sepertinya lokasi itu sebelumnya sudah diincar pelaku, sebab menurut pengakuan Sus, di antara semak-semak itu terdapat sebuah papan sebagai alas.
Si pria mematikan motor lalu menarik tubuh kurus Sus. Celana dalam Sus dilepas paksa, sementara pakaian yang lain tidak. Sebenarnya Sus yang agak pendiam itu mencoba sedikit melawan, tapi kemudian ciut karena diancam. "Kamu sayang nyawa atau minta mati?!" hardik si lelaki.
Sus yang malang hanya bisa mengigigil ketakutan ketika si lelaki itu melampiaskan nafsu bejatnya. Setelah itu, ia bergegas pergi dengan motornya dan meninggalkan Sus yang tergeletak tak berdaya. "Waktu saya mendengar pengakuan Sus, rasanya hati saya diris-iris," ucap Fatimah dengan air mata bercucuran.
Sus akhirnya mampu berjalan ke pinggir jalan raya dan melihat TK Widya Mandala. Sambil menahan sakit, ia masuk ke kamar kecil di TK itu untuk membersihkan darah yang masih terus mengucur dari alat vitalnya, lalu duduk di pinggir jalanan. Beruntung ada sepasang suami-istri yang kemudian menolongnya. Mereka curiga melihat Sus ketakutan dan roknya dibasahi darah segar. "Sus dibawa ke bidan dekat situ, diperiksa. Mereka lalu melapor polisi dan anak saya dibawa ke rumah sakit. Hati saya rasanya seperti copot ketika diberitahu petugas bahwa Sus jadi korban pemerkosaan," ujar wanita asal Karangasem yang sehari-hari bekerja membantu mertuanya menerima jahitan itu.
Fatimah yang kala itu sedang tak sehat semakin lunglai setelah mendapat penjelasan betapa parahnya luka yang diderta Sus akibat pemerkosaan. "Sampai 25 jahitan. Hingga saat ini saya masih belum percaya, kok, anak saya jadi korban kebiadaban lelaki."
Selama empat hari di rumah sakit, kondisi Sus yang bercita-cita ingin menjadi sarjana hukum ini masih memprihatinkan. Darah masih terus keluar dari alat vitalnya. Bocah ini juga menangis kesakitan setiap kali buang air kecil. "Sedih kalau dengar dia menangis kesakitan," kata Fatimah.
Yang menyedihkan, Sus bukanlah korban satu-satunya. Masih ada korban lain yang diketahui dan entah berapa banyak lagi yang tak diketahui karena tidak melapor. Yang pasti, seperti diutarakan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Indonesia Daerah (KPAID) Bali, dr. AA. Sri Wahyuni, SpKJ, kejadian pemerkosaan berturut-turut yang menimpa delapan anak di Bali menimbulkan keprihatinan sekaligus kekhawatiran yang mendalam. "Sebab, kejahatan ini mempunyai dampak yang luar biasa hebat baik bagi korban mapun keluarganya."
Dampak itu, kata Sri yang berpraktik sebagai psikiater, bisa dalam bentuk jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, si korban mengalami stres, takut bertemu banyak orang, murung, juga sulit tidur. "Kalau dampak jangka panjang, bisa depresi agresif maupun represif. Yang agresif, di kemudian hari dilampiaskan dengan suka mempermainkan lelaki atau bahkan menjerumuskan dirinya menjadi pekerja seks komersial (PSK). Kalau jenis represif, karena kejadian buruk itu dipendam sendiri, korban bisa terganggu jiwanya bahkan menjurus melakukan bunuh diri."
Itu sebabnya, saran Sri, penanganan awal bagi korban perkosaan amat tepat jika dilakukan psikiater atau psikolog. "Kalau penanganan awalnya salah, bisa fatal akibatnya." Belum lagi, dampak buat si orangtua dan keluarga. "Biasanya orangtua akan dihantui perasaan bersalah karena menganggap dirinya tidak bisa melindungi buah hatinya atau menyalahkan lingkungan yang dianggap tidak aman. Untuk itu diperlukan terapi keluarga."
GANDHI M. WASONO/bersambung
KOMENTAR