"Saya semakin tua. Saya ingin dekat anak-anak," ucap Iqbal R. Wilis. Ya, sebagai pengusaha, Iqbal memang tak punya banyak waktu luang. Ia juga tak mau waktu yang sedikit itu hanya dihabiskan untuk hobinya main motor besar. "Kalau main Harley (Davidson), kan, cuma saya saja yang bisa. Sementara anak-anak enggak bisa gabung," cerita Iqbal.
Akhirnya 3 dari 4 koleksi Harley-nya diungsikan. Untuk mengisi garasi yang kosong, ia pun mulai "mengumpulkan" sepeda. "Dengan sepeda, saya bisa main bersama istri dan tiga anak saya yang sudah besar," tandas ayah empat anak ini. Jadi, lanjutnya, sekeluarga bisa melakukan hobi dan olahraga bersama-sama.
Tak hanya bisa beraktivitas bersama, Nila Shanti, istri Iqbal juga berharap kegiatan sepeda bisa mengalihkan perhatian dan hobi ketiga anaknya yang kini lebih banyak duduk di depan komputer atau bermain game. "Anak-anak, kan, perlu aktivitas di luar. Jangan hanya main game dan komputer saja."
Tak hanya seputar Ancol dan Jalan Thamrin-Sudirman yang dijadikan tempat bermain pasangan Iqbal dan Shanti serta tiga jagoannya, Satria (8), Perdana (7), dan Ryan. Keluarga ini juga kerap merambah trek off road di seputar BSD. "Anak-anak senang main di jalan becek dan bertemu kambing atau kerbau. Tentu itu sesuatu yang menakjubkan bagi anak kota," kata Iqbal yang berdomisili di kawasan Menteng ini.
Jika libur sekolah, Iqbal juga kerap mengajak anak-anaknya bersepeda di luar kota, seperti Garut atau Bogor. "Seru kalau gowes ramai-ramai. Kalau capek ya istrirahat, makan dan minum di warung pinggir jalan. Ya, kayak, kuli." Lewat sepeda, Iqbal dan Shanti juga mengajari tiga anaknya untuk menjadi mandiri dan bertanggung jawab. "Yang bungsu kami juluki "helm boy". Dia yang bertugas menyiapkan helm jika kami ingin bersepeda. Sementara kakaknya sebagai "rope boy" yang menyiapkan tali. Sedangkan si Sulung membantu saya menata sepeda di mobil."
Mereka juga wajib mengecek sepeda masing-masing. "Kalau ban kempes, mereka juga yang memompa pakai pompa tangan. Walaupun sebenarnya kami punya kompresor. Tapi itu mengajarkan anak-anak untuk mandiri."
Selesai bersepeda, anak-anak juga wajib mencuci sendiri sepedanya. Ya, memang tidak selamanya anak-anaknya harus mencuci sampai selesai. "Kadang mereka cuma basah-basahan saja. Setelah itu ditinggal pergi. Tapi lumayanlah, mereka sudah mulai mau merawat sepeda sendiri," tandas Iqbal.
Pasangan Kristiawan (42) alias Risto dan Tjari Dewi (39) juga menggeluti sepeda bersama keluarga. Tak hanya berdua, Risto dan Dewi juga mengajak tiga anaknya, Bunga (12), Intan (9), dan Bintang (8). "Awalnya kami ingin mencari olahraga yang bisa dilakukan bersama keluarga. Nah, kebetulan teman SMA saya lagi demen main sepeda, akhirnya diputuskan olahraga sepeda," cerita Risto. Wiraswastawan ini sengaja memilih sepeda lipat agar mobilitas bisa lebih luwes. "Kalau sepeda biasa, kan, mainnya hanya sebatas kompleks saja. Nah, kalau sepeda lipat bisa main di mana-mana karena mudah dimasukkan ke mobil."
Kebetulan juga saat itu tren sepeda lipat sedang melanda. "Kalau untuk anak-anak, awalnya saya beli yang murah-murah dulu," sela Dewi yang meski baru sebulan main sepeda, pasangan ini sudah nekat gowes jauh. Gowes dari Jakarta ke Bogor dalam rangka berbagi kasih komunitas sepeda lipat dengan anak-anak panti asuhan di hari Valentine. "Lumayan deh, capeknya," cerita Dewi.
Momen Car Free Day (CFD) adalah saat yang ditunggu-tunggu keluarga Risto. Maklum, di hari Minggu setiap akhir bulan ini, jalan Thamrin dan Sudirman bebas kendaraan bermotor. Risto pun selalu memboyong istri dan anaknya dari rumahnya di Bekasi untuk bersepeda di sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman. "Hampir tiap CFD kami selalu membawa anak-anak. Mereka sangat senang bisa bebas sepedaan di jalan raya tanpa terganggu mobil atau motor," tambah Risto.
Jika ingin bersepeda saat CFD dari Bekasi, lanjut Risto, sepeda dimasukkan ke mobil. "Biasanya kami parkir di Djakarta Theater. Terus gowes sampai Ratu Plaza dan balik lagi. Lumayan sudah bisa menguras keringat," jelas Risto yang selalu menggowes beriringan. "Saya yang di depan, sementara istri saya mengawal dari belakang."
Si Bungsu, Bintang, pun menurut Risto sudah kuat menggowes sejauh itu. "Ia bahkan sudah paham ketika harus melewati tanjakan di Dukuh Atas," sela Dewi. Rekor gowes Bintang saat ini sepanjang 34 km. Ia berhasil menyusuri Selokan Mataram, Yogyakarta.
Kini, Risto makin merasakan kehangatan dalam keluarga setelah aktif gowes. Ia pun bisa mengajarkan disiplin dan saling berbagi kepada anak-anaknya. "Kalau mau main sepeda, anak-anak sudah menyiapkan peralatannya sendiri. Bahkan Bintang sudah bisa melipat, membuka sepeda, dan memasang aksesori sepedanya sendiri. Kami kadang juga mencuci sepeda bareng-bareng. Seru deh, sambil main air," tambah Dewi.
Bintang, lanjut Risto, memang yang paling antusias berbicara soal sepeda. "Dia juga selalu membantu setiap ayahnya mengutak-atik sepeda. Bahkan kalau mau ngoprek sepeda, harus nunggu dia pulang sekolah dulu."
Lain lagi cerita Pendi Utama (48), salah seorang penghobi sepeda dari komunitas MTB Rockers di seputaran Pamulang, Tangerang. Di kolom aktivitas di Facebook, Pendi, begitu ia disapa, menulis: "Tiga hari bersepeda ke kantor, hari Sabtu bersepeda dengan komunitas, dan hari Minggu bersepeda dengan keluarga." Hobi gowesnya kini sudah menurun ke Daffa (9), anaknya. Untuk ukuran anak kelas 3 SD, prestasi Daffa sangat luar biasa. Ia sudah bisa menaklukkan semua rintangan di trek sepeda Jalur Pipa Gas (JPG), BSD yang sangat legendaris itu. "Bahkan sejak kelas 2 dia sudah bisa melewati roll coaster," cerita Pendi.
Roll coaster adalah sebuah lubang sedalam 6 meter di kawasan JPG. Perlu teknik tinggi untuk bisa menaklukkan jalur ini. Roll coaster menjadi rintangan terberat di trek sepeda JPG dan kerap makan korban. "Perlu teknik dan sepeda yang mumpuni," jelas Pendi.
Ya, Pendi memang tidak sekonyong-konyong mengajak anaknya bersepeda ke JPG. Ada banyak tahapan yang harus dilalui. Kebetulan JPG, selain punya trek yang berat juga ada trek khusus anak-anak dan jalur wisata. "Awalnya, sih, Daffa hanya masuk trek anak-anak dan wisata. Kalau masuk trek teknikal JPG, Daffa cuma melihat saja orang-orang yang melewati roll coaster. Setelah dia merasa mampu, dia ingin mencoba."
Mungkin bagi sebagian orangtua, pasti akan melarang anaknya yang ingin menjajal roll coaster. Tapi, bagi Pendi tidak demikian. Yang penting, lanjutnya, ia harus mempersiapkan kemampuan fisik anaknya dan sepeda yang mumpuni. "Selebihnya, ya berdoa saja. Toh kalau sudah 'terjun' ke roll coaster, orangtua sudah tidak bisa membantu apa-apa lagi."
Pendi bisa berlega hati, Daffa akhirnya mau berolahraga sepeda. Murid kelas 3 Madrasah Pembangunan UIN ini semula divonis dokter hiperaktif. Oleh dokter, Daffa disarankan untuk olahraga berkuda atau bersepeda. "Akhirnya pilihannya ke olahraga bersepeda. Dengan bersepeda, energi dia tersalurkan."
Sukrisna
KOMENTAR