Di malam nahas di bulan Mei 2008 lalu itu, aku dan lima orang temanku bertemu untuk sekadar nongkrong bersama. Aku ingat betul, malam itu aku baru saja menghadiri acara fashion show bersama teman-teman dan bersama mereka pula aku sepakat memilih kelab malam Dragonfly di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Kami sampai di Dragonfly ketika sudah lewat tengah malam. Saat itu, di Dragonfly baru saja berakhir sebuah acara yang diadakan Majalah Da Man. Di sana-sini memang masih ada sisa dekorasi dari acara sebelumnya.
Meski penuh, kami cukup beruntung bisa mendapatkan tempat duduk. Sekitar setengah jam kemudian, BRUKKK!! Tiba-tiba ada sesuatu yang menimpa tubuhku dari belakang sehingga membuatku jatuh tersungkur. Meski tidak sampai pingsan, beberapa detik aku sempat blank!
Setelah kejadian itu, aku baru sadar apa yang terjadi. Sebuah lampu tiang model chandelier seberat 200 Kg ternyata menimpaku! Segera temanku menarik dan mengangkat tubuhku. Untung saja semua bertindak cepat. Jika tidak, mungkin wajahku sudah hancur terkena pecahan kaca. Aku masih setengah sadar ketika teman-temanku panik dan berkata, "Kamu benjol, cepat ke toilet!" Dengan lutut lemas, aku dipapah ke toilet. Rupanya memang ada benjolan sebesar telur di dahi sebelah kiri. Lututku pun memar karena jatuh tersungkur.
Kupikir, jika hanya benjol saja, ya, tak apa-apalah. Aku pun langsung pulang ke rumah. Yang sangat aku sayangkan, saat peristiwa itu terjadi, tak ada satu pun petugas dari Dragonfly yang tanggap melakukan sesuatu.
Sampai di rumah sekitar jam 02.00 pagi, selama sekitar setengah jam aku sempat linglung. Baru beberapa saat kemudian aku tersadar, anting berlian yang kupakai malam itu hilang. Berhubung mengenal pemilik bar itu, aku langsung berusaha menghubunginya. Sayang tak berhasil.
Hingga keesokan harinya, si pemilik bar itu masih juga sulit dihubungi. Baru sore hari ia membalas pesanku. Isinya hanya menyesal atas kejadian yang menimpaku dan berjanji akan mencarikan antingku yang hilang dan akan segera mengembalikan jika ditemukan. Tapi, semua bual belaka karena hingga kini nasib antingku raib entah ke mana. Ia pun sama sekali tak menyinggung kecelakaan yang menimpaku.
Dua hari kemudian, tiba-tiba ada luka memar di mataku dan beberapa tempat lain di wajah. Aku langsung menemui dokter. Salahnya, aku hanya menemui dokter umum yang menyatakan aku tidak apa-apa. Meski begitu, sakit kepala berat kerap menyerangku.
Tak tahan kerap diserang sakit kepala, segera kutemui dokter spesialis syaraf. Dari hasil pemeriksaannya, aku dinyatakan mengalami perdarahan dalam, retak pada tengkorak, dan sindrom pasca gegar otak. Saat itu juga, aku meminta temanku mengambil foto-fotoku dan kukirim via surat elektronik ke pihak Dragonfly.
Seminggu berselang, barulah pihak mereka menjengukku. Itu pun tanpa disertai permintaan maaf ataupun mengakui kejadian itu merupakan kelalaian mereka.
Sehabis itu, aku sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit di Jakarta. Aku pun sempat memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit di Singapura. Hasilnya kurang lebih sama, aku mengalami perdarahan dalam. Bahkan aku jadi mudah lupa.
Setelah dirawat, kondisiku tak juga membaik. Selama beberapa bulan, aku mengalami sakit kepala hebat dan kerap diiringi rasa mual. Aku yang tadinya bekerja di sebuah harian nasional, sampai harus mengundurkan diri karena tak bisa lagi bekerja terlalu lama.
Juni 2008, melalui kuasa hukumku, kulayangkan somasi terhadap pihak Dragonfly. Kami hanya menuntut permintaan maaf secara tertulis yang diterbitkan di beberapa media nasional dan sejumlah uang yang akan disumbangkan ke yayasan pilihanku, atas namaku pula.
Upaya damai bukan tak pernah berusaha ditempuh. Kami sering bertemu untuk membicarakan poin-poin dalam draf perdamaian, tapi tak pernah mencapai titik temu. Mereka selalu menyalahkan pihak Majalah Da Man.
Suatu kali, mereka bahkan membuat seolah-olah aku mengincar uang mereka. Untuk apa? Siapa yang rela menukar kepalanya dengan uang? Hingga kini, aku tak bisa lagi hidup normal seperti dulu karena sering menderita sakit kepala. Setiap 6 bulan sekali aku juga harus pergi ke Singapura untuk mengecek kondisiku. Sejak itu pula aku jadi trauma dan membatasi waktu bepergian.
Tak kunjung menemui titik temu, akhirnya aku memutuskan untuk melaporkan Dragonfly ke Polda Metro Jaya. Sepanjang persidangan yang sudah berjalan sejak 2009 pun banyak keanehan terjadi. Misalnya pada saat sidang pembacaan tuntutan. Oleh karena banyak wartawan yang meliput, kedua terdakwa, yaitu Bimo Ario Setyo sebagai dekorator dan Manajer Humas Dragonfly, Rifky Remy Wibowo, justru menghilang.
Aku sebenarnya sudah berdamai dengan Bimo. Perdamaian itu pun terjadi baru-baru ini karena selama ini aku kesulitan menghubungi Bimo atau pengacaranya. Perdamaian dengan Bimo terjadi karena memang menurut pendapatku, ia tak bisa disalahkan. Dia hanyalah dekorator dari Stupa Caspea yang disewa Da Man untuk mendekor acara Da Man.
Setelah acara Da Man selesai, seharusnya Dragonfly lah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas keselamatan pengunjung. Mereka seharusnya lebih paham tentang kapasitas ruangan di sana dan lain sebagainya. Jika memang lampu itu tak disingkirkan, kenapa tidak ada pembatas atau petugas keamanan yang menjaga agar lampu itu tidak tersenggol orang lain lalu jatuh?
Jujur, aku cukup terkejut mendengar Bimo divonis bersalah dengan hukuman 10 bulan masa percobaan, sementara Dragonfly diputus bebas. Aku sangat menyesalkan arogansi Dragonfly. Dan kini, aku hanya bisa berharap keadilan agar tidak ada pihak yang merasa dilukai.
Yang jelas, aku dan pengacaraku, Hironimus Dani, lega karena jaksa mengajukan banding. Semoga hakim di Mahkamah Agung bisa melihat kasus ini dengan lebih jernih dan membuat keputusan seadil-adilnya. Aku juga tak keberatan berdamai dengan Dragonfly, meski itu bukan berarti bisa menjadi celah bagi mereka untuk lepas tanggung jawab.
Sita Dewi/ bersambung
KOMENTAR