Uniknya, ayah korban, Wawan, tak banyak berkomentar. Ia bahkan mengaku tak tahu menahu. Kasus ini sampai ke meja hijau pun, bukan karena laporan Wawan, melainkan pihak kepolisian. Wawan juga mengaku tak pernah mendorong si pelapor, Brig. Pol Drihanta, untuk memperkarakan kelima anak tadi. "Sekarang prosesnya sedang berlangsung, ya, diikuti saja," katanya sambil berlalu.
Setiap sidang, Wawan selalu hadir. Tak jarang ia bertegur sapa dengan para orangtua terdakwa. "Biasanya ngobrol basa-basi saja. Mengenai kasus ini, dia tak berharap apa-apa," kata YH.
Wawan yang hadir sendirian setiap kali sidang, biasanya duduk di sudut ruang dan menyimak jalannya sidang dengan seksama. Seusai sidang, ia langsung menghilang tanpa kata.
Di sidang berikut, kuasa hukum lima sekawan itu akan memberi pembelaan. "Anak-anak ini tak terbukti lalai karena hasil visum menunjukkan, korban meninggal akibat benturan. Bukan karena kekerasan," tegas Nina. Bukan mereka pula yang merencanakan permainan perang sarung itu. "Jelas kami berharap anak-anak ini diputus bebas."
Yang pasti, lima sekawan ini banyak mendapat dukungan moral. bahkan teman-teman sekolahnya pun menggalang dana untuk rekannya yang tengah berkasus di pengadilan. Dukungan juga datang dari Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyatakan, perbuatan kelima anak itu tak bisa digolongkan sebagai perbuatan pidana yang otentik. "Jadi, hakim harus mempertimbangkan langkah-langkah penghukuman yang bersifat restoratif. Lebih baik diserahkan kembali ke orangtuanya. Kalau tidak mampu, ya, diserahkan ke Departemen Sosial. Intinya, keluarga korban harus mendapat keadilan, tapi kelima anak itu jangan sampai jadi terpidana."
Sita Dewi
KOMENTAR