Kematian Ahsed tak diketahui lima sekawan yang langsung pulang ke rumah masing-masing setelah Ahsed dibawa ke rumah sakit. Tahu-tahu, tengah malam, satu persatu mereka dijemput petugas keamanan RT setempat dan dikumpulkan di rumah BP.
Di sana sudah ada polisi yang menunggu dan langsung membawa mereka ke Polres Metro Bekasi. "Waktu itu masih belum jelas, kenapa anak-anak kami dibawa ke Polres. Soalnya, surat penangkapan atau semacamnya, enggak ada. Orang RT-nya cuma bilang 'Tenang saja, Bu'," kata YH, orangtua MRI.
Sejak pukul 01.00 hingga menjelang pagi, kelima anak itu diinterogasi polisi dan belakangan dikenakan pasal pengeroyokan hingga mengakibatkan kematian. Tak pelak lagi, mereka langsung masuk tahanan. Sore harinya, tanpa pemberitahuan ke orangtua masing-masing, lima sekawan itu dipindahkan ke Polsek Medan Satria.
Mau tak mau, mereka mendekam selama dua minggu di dua sel terpisah. "Hampir setiap hari kami semua menangis," cerita mereka. Masing-masing orangtua juga diharuskan membayar Rp 5 juta sebagai santunan untuk keluarga korban.
"Itu hasil tawar menawar. Awalnya kami diharuskan membayar masing-masing Rp 25 juta," jelas YH. "Bahkan sampai ada yang harus menggadaikan sertifikat rumah. Bagaimana lagi? Soalnya, uang harus ada dalam tempo 1 x 24 jam."
Selain harus membayar santunan, para orangtua ini juga diharuskan membayar Rp 1 juta sebagai jaminan penangguhan penahanan. Selesai itu, barulah lima sekawan ini bisa kembali sekolah dan beraktivitas seperti biasa, meski dikenai wajib lapor dua kali seminggu.
"Waktu baru ditahan seminggu, mereka sempat berpikir sudah akan dibebaskan. Jadi, semua sisa makanan yang mereka miliki, diberikan ke tahanan lain. Ternyata enggak jadi keluar. Jadi, mereka menangis lagi," kisah JS, ayah DA.
Meski sudah tak ditahan lagi, kondisi psikologis kelima anak ini masih labil. Apalagi, proses sidang terus berjalan. Seminggu sekali, selepas pulang sekolah, mereka harus "mampir" ke PN Bekasi untuk menjalani sidang.
Duduk di kursi pesakitan, membuat mereka kerap mengigau di malam hari. "Setiap sebelum atau setelah sidang, kondisi mereka menurun," kata YH. Belum lagi, MRI akan menghadapi ujian nasional dan empat anak lainnya akan menghadapi ujian. Tak jarang, mereka jatuh sakit. Prestasi mereka di sekolah pun ikut menurun.
Bukan kekerasan
Uniknya, ayah korban, Wawan, tak banyak berkomentar. Ia bahkan mengaku tak tahu menahu. Kasus ini sampai ke meja hijau pun, bukan karena laporan Wawan, melainkan pihak kepolisian. Wawan juga mengaku tak pernah mendorong si pelapor, Brig. Pol Drihanta, untuk memperkarakan kelima anak tadi. "Sekarang prosesnya sedang berlangsung, ya, diikuti saja," katanya sambil berlalu.
Setiap sidang, Wawan selalu hadir. Tak jarang ia bertegur sapa dengan para orangtua terdakwa. "Biasanya ngobrol basa-basi saja. Mengenai kasus ini, dia tak berharap apa-apa," kata YH.
Wawan yang hadir sendirian setiap kali sidang, biasanya duduk di sudut ruang dan menyimak jalannya sidang dengan seksama. Seusai sidang, ia langsung menghilang tanpa kata.
Di sidang berikut, kuasa hukum lima sekawan itu akan memberi pembelaan. "Anak-anak ini tak terbukti lalai karena hasil visum menunjukkan, korban meninggal akibat benturan. Bukan karena kekerasan," tegas Nina. Bukan mereka pula yang merencanakan permainan perang sarung itu. "Jelas kami berharap anak-anak ini diputus bebas."
Yang pasti, lima sekawan ini banyak mendapat dukungan moral. bahkan teman-teman sekolahnya pun menggalang dana untuk rekannya yang tengah berkasus di pengadilan. Dukungan juga datang dari Komisi Nasional Perlindungan Anak.
Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menyatakan, perbuatan kelima anak itu tak bisa digolongkan sebagai perbuatan pidana yang otentik. "Jadi, hakim harus mempertimbangkan langkah-langkah penghukuman yang bersifat restoratif. Lebih baik diserahkan kembali ke orangtuanya. Kalau tidak mampu, ya, diserahkan ke Departemen Sosial. Intinya, keluarga korban harus mendapat keadilan, tapi kelima anak itu jangan sampai jadi terpidana."
Sita Dewi
KOMENTAR