"Selama di rawat di rumah sakit itu, kondisi perutku semakin membuncit seperti orang hamil besar. Wajah dan badanku pun ikut membengkak secara tidak normal. Dalam kondisiku yang seperti itu, anak-anakku bahkan tidak berani mendekat karena takut. Aku sendiri masih belum menyadari seperti apa rupaku," tuturnya.
Pada hari yang ke 15 sejak dirawat, Cindy diperbolehkan pulang. "Ini aneh mengingat kondisiku tidak menunjukkan peningkatan. "Dengan kondisi seperti ini, dia (Cindy, Red.) justru tidak bisa pulang," kata suamiku kepada Dokter yang menanganiku. Namun Dokter itu bersikeras dengan mengatakan kalau aku sudah dalam tahap pemulihan. Suamiku lantas memutuskan untuk memindahkan aku ke rumah sakit lain."
Dengan mobil ambulans, Cindy dibawa ke sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Utara. "Begitu tiba di sana, aku kembali masuk ruang UGD dan kembali menjalani serangkaian test dari awal lagi. Aku harus menjalani CT scan, diambil darah dan pemeriksaan lainnya. Hanya lima hari aku dirawat di sana. Namun, selama itu mereka hanya melanjutkan perawatan yang sebelumnya sudah aku jalani di rumah sakit terdahulu, tanpa melakukan tindakan medis lebih lanjut untuk penyakitku," ungkap Cindy kepada tabloidnova.com.
"Saat itu aku merasa sangat capek dengan pengobatan yang aku jalani. Aku muak dengan beragam selang yang menempel di tubuhku dan aku juga rindu pada anak-anakku. Akhirnya, pihak rumah sakit membolehkan aku pulang atas permintaanku sendiri," ujarnya.
Satu hari setelah aku dirawat di rumah, rasa sakit yang luar biasa kembali dirasakan Cindy. "Suamiku membantu memberikan pain killer untuk meredakan rasa sakit itu. Namun tidak lama kemudian, aku merasakan basah pada perutku. Ternyata, darah yang bercampur dengan air dan nanah merembes keluar diantara jahitan bekas operasi. Aku panik. Suamiku dengan sigap langsung membawaku kembali ke rumah sakit yang di Jakarta Utara itu."
Tiba di sana, kondisi Cindy dinyatakan makin parah. "Dokter yang memeriksaku pun angkat tangan. "Kalau sampai saya mengoperasi Cindy sekarang, sama saja saya bunuh diri," kata dokter itu. Mungkin pernyataan itu terlontar karena kondisiku yang buruk saat itu disebabkan operasi yang kujalani di rumah sakit yang pertama kali merawat aku."
Dalam keadaan kalut dan tidak menentu seperti itu, akhirnya sang Dokter merekomendasikan Cindy untuk menjalani perawatan di Singapura dengan alasan obat dan peralatan kesehatan di sana lebih canggih. "Aku dan suamiku terpaksa setuju. Hari itu juga, tiket untuk terbang ke Singapura berhasil kami dapatkan dan kami pun langsung berangkat dengan persiapan yang minim."
Sebenarnya, dengan kondisi sakit pasca operasi, Tidak tidak diperbolehkan naik pesawat. "Namun, aku ingin sembuh. Susah payah aku menahan sakit, tapi akhirnya ketahuan juga. Beruntung pramugari baru menyadari keadaanku setelah pesawat lepas landas."
Tiba di Singapura, Cindy dibawa ke rumah sakit Mount Alvernia. Setelah diperiksa selama dua jam oleh dokter internis, hasil diagnosa mereka sungguh mengejutkan. "Ususku yang semula dinyatakan mengalami infeksi ternyata tidak apa-apa. Dokter di Singapura itu justru menyatakan kalau indung telurku yang justru bermasalah," terangnya pada tabloidnova.com.
Di ruang praktiknya, dokter itu langsung membelek bekas jahitan yang ada diperut Cindy. "Cairan yang bercampur dengan darah lantas keluar begitu banyak dari perutku dan rasanya sakit minta ampun. Dia juga membuat sebuah lubang kecil di perutku. Saat berikutnya, aku kembali menjalani perawatan dan diberi antibiotik dosis tinggi. Setelah lima hari dirawat, akhirnya aku diperbolehkan pulang kembali ke Indonesia dengan keadaan yang agak lebih baik meski perutku masih berlubang."
"Aku bersyukur, saat ini infeksi pada luka bekas jahitan di perutku sudah sembuh. Minggu depan ini aku berencana untuk kembali ke Singapura untuk chek-up ulang. Aku harus memastikan keadaan indung telurku karena itu inti penyakitku saat ini dan belum tuntas."
Renty Hutahean
KOMENTAR