Aku adalah perempuan yang sangat peduli dengan kesehatan dan kebugaran. Bahkan, aku sempat dibilang penggila fitness. Ya, aktivitas yang sangat kusenangi memang pergi ke gym dan berolahraga. Dulu, setiap pulang kantor, ruteku hanya ke gym. Tak jarang kuhabiskan waktuku hingga larut malam di sana. Berolahraga, buatku, adalah obat stres usai bekerja.
Selama sembilan tahun, aku bekerja di salah satu perusahaan konsultan pajak di kawasan Kuningan, selama itu pula aku tak bosan menghabiskan waktu untuk fitness. Jadi, memang tak pernah terlintas sedikitpun aku bakal menjalani hari-hari panjang dengan Ewing Sarcoma.
Kehidupanku awalnya berjalan normal. Selayaknya perempuan lain, aku juga senang berkumpul bersama teman-teman. Tahun 2006, aku punya rencana hidup baru yaitu pindah ke Kanada. Kebetulan, kakak pertamaku tinggal di sana. Niatku, meninggalkan pekerjaan dan memulai hidup baru di sana. Akhirnya, aku memang memutuskan resign dari pekerjaan. Sambil menunggu visa keluar dan untuk mengisi kekosongan waktu, lagi-lagi fitness menjadi temanku. Aku juga sempat memperdalam bahasa Inggris dengan mengambil kursus singkat di Singapura.
Suatu hari sepulang dari fitness aku merasakan nyeri yang cukup hebat di bagian paha. Aku pikir itu hanyalah cedera otot biasa karena olahraga yang terlalu berat. Aku pun tak begitu cemas. Saat itu juga aku langsung pergi ke salah satu rumah sakit. Dokter bilang, ototku kencang dan kemudian memberiku suntikan pain killer dua kali.
Usai disuntik, aku pun kembali beraktivitas seperti biasa, termasuk rajin mendatangi gym. Enam bulan kemudian, rasa sakit ini kembali datang. Segera, aku pun ke rumah sakit meminta suntikan pain killer. Anehnya, saat itu nyerinya enggak langsung hilang. Baru tiga hari kemudian rasa nyeri itu pergi. Berikutnya, rasa nyeri ini jadi sering datang dan membuatku tak nyaman beraktivitas.
Aku memutuskan pergi ke Singapura untuk berobat. Saat itu aku didiagnosa mengalami saraf kejepit. Beberapa kali rasa nyeri masih saja terus datang, padahal aku sudah rutin mengonsumsi obat. Tepat di bulan November 2009, aku akhirnya disarankan untuk menjalani operasi, yang kemudian aku ikuti.
Namun, bulan berikutnya rasa nyeri itu masih saja datang. Aku kembali ke Singapura menemui dokter. Saat itu aku mendapat jawaban yang tidak memuaskan. Dokter menyarankan untuk berlibur karena katanya aku stres. Mengikuti sarannya, aku pun memutuskan berlibur. Sayangnya, sepulang liburan pun rasa nyeri itu datang lagi, bahkan semakin hebat seperti ada tusukan jarum bertubi-tubi. Aku bahkan tidak bisa jalan-jalan. Yang kulakukan saat itu adalah mengompresnya dengan air panas agar rasa sakitnya hilang. Tapi, ternyata itu tak berhasil. Aku juga sempat pijat karena tidak tahu penyakit apa yang kuhadapi.
Diagnosa Positif
Akhirnya, semua terungkap saat aku hendak mengenakan celana panjang. Paha kiriku ternyata membengkak sampai-sampai celana tak muat, berbeda dengan paha kananku. Aku kembali periksa ke Singapura dan diminta melakukan MRI. Saat itu muncul diagnosa esteogenic sarcoma. Hasil diagnosa itu pun belum kudengar, hanya mama dan adikku yang tahu. Untuk memastikan diagnosa tersebut, keluarga meminta pihak rumah sakit memanggil dokter ahli tulang. Aku memang merasa tidak “klik” karena menurutku dokter ahli tulang tersebut terkesan tidak profesional.
Berbekal diagnosa pertama yaitu esteogenic sarcoma dan mendengar bahwa salah satu solusinya adalah amputasi, adikku kemudian melakukan kroscek ke dokter lain. Ia browsing dan menemukan artikel dr. Suresh Nathan yang berpraktik di NUH (National University Hospital). Beliau ini adalah dokter yang berhasil menangani penyakit esteogenic sarcoma.
Adikku kemudian berusaha mendapatkan jadwal bertemu dengannya. Setelah mendapat jadwal temu, aku pun pindah rumah sakit. Dari hasil biopsi dan serangkaian tes, semua terungkap.
Aku ingat betul peristiwa ini. Dokter Suresh mendatangiku dan menyampaikan bahwa aku positif PNET (Primitif Neuro Ethodemal Toumor) atau lazim disebut Ewing Sarcoma. Aku bingung, penyakit apa ini? Setelah dokter keluar dari kamar, aku langsung browsing dan mencari tahu apa itu PNET atau Ewing Sarcoma.
Semakin banyak informasi yang aku dapat dari internet rasanya semakin sedih hatiku. Aku enggak berhenti menangis dan membayangkan, aku tidak akan pernah bisa fitness lagi. Sepertinya duniaku runtuh ketika mengetahui aku menghadapi penyakit kanker tulang langka. Ya, umumnya penderita Ewing Sarcoma adalah anak-anak remaja tanggung berjenis kelamin pria. Jadi, kasus yang terjadi pada diriku memang tak lazim terjadi. Dan, hampir dua tahun aku mendapatkan diagnosa yang salah.
Aku sempat larut dalam kesedihan, namun untungnya cepat tersadar. Ada perkataan adikku yang mengena di hati. Ia bilang bahwa aku harus bangkit karena siapa saja bisa sakit. “Kalaupun sakit ini tak datang saat itu, bisa jadi akan datang di lain waktu,” begitu katanya. Dia memintaku tabah. Perlahan, aku mulai menerima kondisiku.
Aku juga termotivasi ketika melihat wajah mama yang khawatir dan sedih. Aku tak ingin menambah bebannya. Toh, aku masih bisa beraktivitas dan melakukan kegiatan lain. Aku juga sempat merasa ditegur saat melihat gempa tsunami di Jepang. Di sana, para korban bencana itu bisa menghadapi semuanya. Mereka kehilangan anggota keluarga dan materi dalam waktu sekejap. Aku jadi merasa lebih beruntung daripada mereka. Maka, aku memutuskan untuk kuat dan harus bertahan menghadapi “alien” dalam hidupku, begitu aku menyebut penyakitku.
Lolos Amputasi
Keputusan mencari second opinion ternyata tepat. Lewat dr. Suresh, aku lolos dari ancaman amputasi. Ia meyakinkan bahwa bisa mengobatiku tanpa amputasi. Tepat tanggal 31 Desember 2010, jam 5 sore, aku pun menjalani operasi selama 6,5 jam. Saat sadar, yang kuingat ada suster yang mengucapkan selamat tahun baru kepadaku. Ya, doaku saat jelang tahun baru adalah bisa mengalahkan alien yang menggerogoti tubuhku.
Tulang paha kiriku sudah diganti besi, jadi aku pun harus kembali belajar seperti bayi. Mulai berdiri, duduk dan melakukan hal-hal lain. Dimulai dari yang kecil-kecil dulu. Kepalang tanggung sudah operasi, aku pun harus semangat agar tidak menggunakan kursi roda seumur hidup. Meski tak lagi bisa berolahraga, tapi aku masih bisa menjalani aktivitas lainnya.
Aku juga menjalani kemoterapi sebanyak 42 kali selama 14 bulan pascaoperasi, dari Desember 2010 sampai Januari 2012. Tentu tak semudah yang dikira. Semangatku naik turun dan tak semuanya selalu berjalan lancar. Beberapa kali aku sempat transfusi darah karena Hb-ku kurang. Wah, kalau mengingat perjuangan ini rasanya bikin sesak hati. Bahkan pernah aku ingin menyerah.
Kemoterapi itu melelahkan dan membuatku menderita. Aku enggak tahan dan bilang ke mama. Obat kemo itu membuat perut sakit, enggak bisa makan, minum saja bisa muntah, pokoknya menyiksa sekali. Kembali, keluarga selalu mendorongku dan mengingatkan perjuangan yang sudah kepalang basah. Aku diminta tidak menyerah karena proses pemulihan ini berkelanjutan. Begitu berhenti, harus memulai dari awal lagi.
Ya, aku memang berhasil melewati semua fase pengobatan dengan baik, bahkan mendapatkan apresiasi dari dokter karena bisa bertahan dan membuktikan penyakit ini bisa dikalahkan. Tetapi ternyata perjuanganku belum berakhir.
Terus Berjuang
Pulang ke Indonesia, bulan April 2012, tak sengaja aku jatuh. Tempurungku pecah sehingga aku harus kembali berobat. Ya, waktu itu mungkin saking bersemangat dan merasa sudah bisa beraktivitas, aku sampai lupa kalau kakiku kini dari besi. Kejadiannya, aku setengah berlari mengangkat telepon. Sayang, ternyata aku belum kuat.
Aku harus kembali menjalani operasi dan mendapatkan hormon terapi selama tiga bulan di Singapura. Aku juga diminta banyak mengonsumsi kalsium. Sepertinya penyakit itu senang berdekatan denganku. Tahun 2013, aku kembali menghadapi inflamasi dan dirawat selama sebulan. Selama dua minggu, suhu badanku tinggi sekali, dua minggu berikutnya baru bisa turun hingga 39 derajat. Akibat terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan, gigiku jadi berwarna kuning.
Tahun 2014, aku masih harus berjuang. Ternyata, “alien” itu sudah menyebar ke paru-paru, bahkan stadium 4. Aku percaya dan melakukan semua rencana medis yang diinstruksikan dr. Suresh. Aku pun menjalani pengobatan dengan RFA (Radio Frequency Ablation). Sepuluh persen paru-paruku dibuang. Usai menjalani pengobatan, aku masih harus menerima efek sampingnya. Ada insiden juga yang timbul karena aku tidak menyadari efek samping ini, kulitku rusak. Jadi, saat mandi air panas, kulitku terkena air panas.
Belakangan, aku masih harus menghadapi limfedema, efek samping dari pengobatan. Benjolan kecil ini terasa pedih dan menyebar di seluruh pahaku. Akibatnya aku juga jadi susah duduk. Dokter memang belum menyarankan operasi. Aku terus berdoa dan berpikiran positif, toh aku sudah melewati banyak hal. Dan dukungan keluarga selalu ada.
Aktif Jadi Relawan
Seiring berjalannya waktu, aku mengisi hari-hariku dengan kegiatan positif. Ketika browsing mencari supportive group untuk kanker, muncullah CISC (Cancer Information and Support Center). Akhirnya aku bergabung dan mendapatkan respons yang sangat positif. Teman-temanku banyak, bahkan aku menjadi motivator dan selalu direferensikan ketika ada anggota yang bingung menghadapi “alien” satu ini.
Lewat CISC, aku bisa berbagi referensi yang memudahkan dan membantu anggota. Baik itu sekadar memberikan semangat, tips saat harus operasi, hingga pemulihan. Aku tahu semua itu karena aku mengalaminya. Aku ingin informasiku bisa digunakan dan bermanfaat.
Aku juga bergabung dengan Yayasan Tzu Chi. Teman-teman di sini juga memahami kondisiku, jadi kalaupun aku sedang tak sehat, mereka memakluminya. Tahun lalu, aku menerbitkan buku berjudul Alien Itu Memilihku. Buku nonfiksi yang ditulis oleh Feby Indirani ini mengisahkan bagaimana aku menghadapi Ewing Sarcoma.
Kini, aku selalu berusaha berkomunikasi dengan penyakit ini agar kami bisa berdamai. Setiap berdoa, aku selalu meminta agar tidak ada lagi penyakit yang datang dan kankernya tidak membandel. Di balik cobaan yang datang, aku meyakini selalu ada hikmah yang bisa dipetik. Aku ingin membagi kebahagiaan dan berbuat baik selama masih diberikan waktu. Satu hal lagi, agar kita pantang menyerah, karena setiap penyakit pasti ada obatnya. Kalau aku bisa, yang lain pasti juga bisa.
Swita Amallia / Tabloidnova.com
KOMENTAR