Selalu Menebar Senyum
Selain Ferry Mauluddin, korban lain robohnya crane di areal Masjidil Haram, Mekkah, adalah Siti Rukayah (50) yang tinggal di Malang. “Kami ikhlas. Semoga ibu khusnul khotimah, syahid karena meninggal saat beribadah di Tanah Suci,” kata Junaidah (29), putri Siti ketika ditemui NOVA di rumahnya Desa Banjarsari, Kec. Ngajum, Malang (Jatim).
Bunga ucapan duka yang datang dari berbagai instansi berjajar di depan rumah Siti. Di ruang tamu yang luas masih terhampar karpet lengkap dengan suguhan untuk tamu. “Setiap sore pengajian,” lanjut anak pertama dari dua bersaudara pasangan Siti Rukayah dan Abdullah tersebut.
Ibu seorang anak yang sehari-hari tinggal di Samarinda mengikuti suaminya berdinas itu sama sekali tak menyangka ibunya bakal menjadi korban musibah robohnya crane di areal Masjidil Haram, Mekkah. “Saya tak mendapat firasat,” paparnya. Namun, guru SMA dan dosen salah satu PTS di Samarinda tersebut menguraikan, menjelang berangkat wajah ibunya terlihat ceria dan selalu menebar senyum kebahagiaan.
Junaidah juga sempat heran tatkala membantu sang ibu menata pakaian di dalam koper sebelum berangkat. “Saya heran, pakaian yang dipilih termasuk pakaian santai yang akan dipakai di sana semuanya serba putih, kecuali baju batik yang menjadi seragam jamaah Indonesia,” kata Junaidah yang terlihat tabah tersebut.
Meski keberangkatan kali ini merupakan haji kedua, namun Rukayah yang sehari-hari menjadi guru agama di SMPN 2 Kepanjen, Malang, serta Ketua Muslimat Kabupaten Malang menyambutnya dengan sukacita. “Kalau bapak masih terlihat tegang, tapi kalau ibu terlihat gembira seolah tanpa beban,” cerita Junaidah.
Saling Mendoakan
Yang mengharukan, beberapa menit sebelum musibah terjadi, tepatnya saat usai salat Ashar, ibunya yang tengah berada di depan Kabah sempat menelepon. Seperti yang dilakukan sejak di Tanah Suci, ketika berada di depan Kabah, Rukayah selalu berusaha menghubungi. “Di telepon, Ibu biasanya berdoa kemudian kami di rumah diminta mengamini, demikian juga sebaliknya,” jelas Junaidah.
Namun, suasana berubah ketika malam harinya sang ayah, Abdullah, yang juga berangkat naik haji, tiba-tiba menghubungi dan mengabarkan bahwa Rukayah kemungkinan menjadi salah satu korban robohnya crane beberapa jam sebelumnya. Namun, berhubung masih dalam situasi panik, Abdullah saat itu tidak bisa bercerita panjang lebar.
Baru keesokan harinya ia menelepon kembali dan menyampaikan kronologi sebenarnya. “Ketika bapak memberi kabar yang pertama, kami yang ada di rumah cuma berharap ada keajaiban sehingga ibu bukan salah seorang di antara korban,” ungkapnya.
Menurut Abdullah, usai salat Ashar, Rukayah melanjutkan mengaji menghadap Kabah sementara ia mengambil air wudu. Saat itu, ujar Abdullah seperti disampaikan Junaidah, cuaca di Mekkah sedang tidak bersahabat karena tengah terjadi badai debu disertai hujan es. Usai wudu, Abdullah pun berjalan kembali menuju ke tempat Rukayah.
Namun, ketika kurang 10 langkah lagi, tiba-tiba terjadi hempasan angin yang sangat kuat. Dan, hanya hitungan detik tiba-tiba tanpa tahu dari mana arahnya craneraksasa itu roboh ke arahnya dengan suara sangat keras. Seketika itu juga kepanikan tak terhindarkan. Para jamaah yang memenuhi lokasi pun kocar-kacir menyelamatkan diri.
“Seketika itu lokasi kejadian diamankan petugas keamanan. Bapak sendiri tidak berhasil menemukan ibu, tetapi beliau punya keyakinan ibu jadi korban, soalnya posisi duduk ibu yang tengah mengaji itu persis di tempat crane roboh. Andaikata bapak jalannya lebih cepat mendekat ibu, bisa jadi beliau juga akan jadi korban,” cerita Junaidah seperti cerita Abdullah. Beberapa hari kemudian, pemerintah Arab Saudi memberi kesempatan Abdullah untuk melihat jenazah Rukayah sebelum disalatkan bersama-sama.
Sangat Sabar
Junaidah mengaku sangat bangga pada sosok sang ibu. “Selain sabar, perhatian pada anak, beliau juga punya kepedulian tinggi pada sesama. Terutama kalau ada kegiatan keagamaan, ibu tidak pernah hitung-hitungan. Pasti ditomboki dulu kalau kurang. Karena itu ibu ditunjuk menjadi ketua di berbagai lembaga sosial,” kata Junaidah.
Demikian pula dalam hal mendidik anak, baik anak kandung maupun anak didik di sekolah, Rukayah dikenal sangat sabar. “Jangankan memukul, berbicara memojokkan, merendahkan saja tidak pernah. Membuka kenakalan anak didiknya di depan guru lain saja tidak mau. Bagi ibu, kalau memang ada murid nakal itu menjadi kewajibannya untuk membimbing,” cerita Junaidah yang sempat satu kampus dengan sang ibu saat kuliah S-2 di Malang. “Ibu itu gemar belajar, bahkan baru saja mendaftar kuliah S-3 di Malang juga,” sambung Junaidah.
Meski sejak tiga tahun belakangan dirinya berjauhan dengan ibunya, toh itu tidak mengurangi kedekatan hubungan batinnya. Hampir setiap hari, dia berusaha berkomunikasi. “Apalagi ibu sangat sayang kepada anak saya. Maklum, anak saya itu cucu pertama,” tambah wanita berkulit putih tersebut.
Saat ini yang bisa dilakukan Junaidah hanyalah tak berhenti memberi motivasi kepada sang ayah di Mekkah agar tetap tabah. “Semoga bapak bisa melaksanakan ibadah haji sampai tuntas dengan penuh kekhusyukan dan keikhlasan,” ujar Junaidah.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR