Dua minggu sekali, ibu tiga anak ini menaiki motor dari rumahnya di Blitar menuju Dusun Brau, Batu, Malang (Jatim). Tebing tinggi dan jalanan curam sama sekali tak jadi penghalang mantan TKW ini untuk memberdayakan masyarakat desa Brau demi menyelamatkan lingkungan. Wanita hebat ini adalah Yuli Sugihartati (48). Latar belakang sebagai sarjana peternakan ia gunakan untuk mendidik warga mengolah kotoran sapi perah menjadi biogas. “Meski tidak dibayar, tapi saya sangat bahagia karena bisa berguna untuk sesama,” kata wanita bertutur kata halus tersebut.
Apa sih yang Anda lakukan di Brau?
Saya membantu masyarakat setempat mengolah kotoran sapi menjadi biogas dan bio slurry. Biogas digunakan untuk memasak dan penerangan sedang bio slurry, ampas kotoran yang keluar dari reaktor, setelah diproses bisa dijadikan makanan ternak cacing serta pupuk organik.
Kenapa Anda memilih Brau?
Ceritanya, akhir 2013 saya diminta LSM Yayasan Alam Bumi Lestari (Yabule) yang bergerak di bidang konservasi alam serta pemberdayaan masyarakat untuk mencari kawasan yang lingkungannya mulai rusak dengan jalan memberdayakan masyarakat untuk melakukan penyelamatan. Dari sekian banyak lokasi akhirnya kami pilih Dusun Brau ini. Lokasinya cukup tinggi, sekitar 1400 mdpl, tepatnya di puncak Kota Batu.
Dulunya Brau adalah kawasan yang sangat indah. Selain udaranya sejuk dan kawasan hutannya cukup lebat, lahan pertanian kentang dan wortel juga cukup luas. Tetapi sekarang tidak lagi. Pasalnya, masyarakat setempat suka memotong tanaman untuk dijadikan sebagai kayu bakar, baik untuk memasak maupun membuat perapian penghangat tubuh.
Program pemerintah dengan memberikan tabung gas kurang efektif mengingat memotong tanaman sudah menjadi kebiasaan sejak lama. Sekarang bisa dilihat sendiri, kawasan sini terlihat gersang dan gundul. Tak hanya kerusakan hutan, tapi juga ada hal lain yang tak kalah merusak.
Apa itu?
Ketika saya memasuki dusun ini, kotoran sapi yang berbau tak sedap berserakan begitu saja di jalan-jalan. Karena kondisi alamnya bertebing, ketika hujan, kotoran itu terbawa air dan meluber ke halaman rumah atau jalan di bawahnya. Kotoran itu berceceran karena para peternak tidak memiliki penampungan, apalagi pengolahan kotoran sapi. Mayoritas warga Brau memang peternak sapi perah dengan populasi sangat tinggi. Bayangkan, warga Brau hanya 60 kepala keluarga tetapi jumlah sapinya sini mencapai 200 ekor lebih. Dan kita tahu kotoran ternak sapi itu sangat merusak lingkungan kalau tidak diolah.
Sebetulnya, apa dampak kotoran sapi terhadap lingkungan?
Ini yang perlu diketahui. Kotoran sapi memiliki dampak merusak lingkungan yang sangat tinggi. Gas metan sebagai perusak ozon yang keluar dari kotoran sapi 60 kali lebih tinggi dari sisa pembakaran yang keluar dari knalpot motor maupun pabrik.
Karena itu, dulu tanah di Brau ini sangat subur. Aneka tanaman sayur-sayuran mulai kentang, wortel, kol dan sebagainya tumbuh dengan baik. Tapi setelah air sungai maupun tanahnya tercemar kotoran sapi, kondisinya sekarang jadi rusak.
Lalu?
Kami melakukan pemetaan. Setelah mendapat izin dari aparat desa setempat, kami kemudian menemukan solusi agar masyarakat tidak menebang pohon sebagai kayu bakar. Caranya kami ajari mereka membuat biogas. Dengan biogas, ada banyak manfaat yang didapat. Masyarakat juga tak perlu mencari kayu ke hutan serta tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli gas elpiji. Itu belum termasuk manfaat bio slurry yang bisa dijadikan pupuk kompos.
Bagaimana mengawalinya?
Karena reaktor itu sendiri harus dibeli, maka pertama kali kami mencari bantuan dari berbagai pihak, termasuk uang patungan dari teman-teman LSM. Setelah terkumpul, Februari 2014 kita membeli satu reaktor dan ditempatkan di rumah warga bernama Pak Marsaid. Begitu biogas itu berhasil, masyarakat pun mulai melirik teknologi ini.
Tapi, sebenarnya untuk sampai tahap menerima memang tidak mudah. Sebab sebelumnya sudah ada masyarakat yang membuat biogas tetapi gagal. Mereka kecewa, sudah menghabiskan uang cukup banyak namun tidak berhasil. Yang penting lagi adalah memberi pemahaman tentang peralihan dari pemakaian kayu ke biogas demi menyelamatkan lingkungan.
Caranya bagaimana?
Ya, dengan melakukan pendekatan. Saya sering ngopi sambil ngobrol dengan bapak-bapak di pinggir jalan desa sampai jam 12 malam. Saat itulah saya melakukan edukasi kepada mereka. Tentu pendekatannya dengan “gaya warung kopi” alias tidak formal. Semua itu saya lakukan pelan-pelan. Alhamdulillah akhirnya bisa diterima. Saat ini di Brau sudah ada 9 reaktor berukuran 6 m3 dan satu lainnya berukuran 12 m3.
Sekarang warga mulai sadar sehingga banyak sekali yang mengajukan dibuatkan reaktor. Warga rela meski harus membayar dengan cara mengangsur. Justru kami yang kewalahan sebab kami juga mencari dana bantuan agar masyarakat tidak terlalu berat. Selama ini masyarakat hanya menanggung setengahnya, sisanya kami carikan dari berbagai lembaga termasuk BUMN Jasa Tirta yang pernah menyumbang tiga reaktor serta patungan dari teman-teman Yabule.
Untuk 1 reaktor berukuran 6 m3 harga sekaligus pemasangannya sekitar Rp10 juta. Reaktor bukan buatan kami.
Seberapa besar biogas yang dihasilkan oleh satu buah reaktor?
Satu reaktor ukuran 6 m3 bisa digunakan dua rumah, masing-masing rumah bisa memakai pagi-siang-sore/malam masing-masing 3 jam.
Bagaimana sebetulnya cara kerja biogas pada reaktor?
Setiap pagi, peternak mengumpulkan kotoran sapi kemudian memasukkannya ke dalam lubang mirip sumur kecil. Kotoran tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan 1 banding 1. Di atas sumur tersebut ada semacam pengaduk yang fungsinya mirip seperti mixer untuk mengaduk kotoran sapi supaya benar-benar hancur.
Setelah itu, melalui saluran yang sudah ada, kotoran dimasukkan ke dalam reaktor yang berupa bejana atau tabung yang ditanam dalam tanah. Tabung tersebut hampa udara dan ada mikro organisme yang fungsinya mengubah gas metan menjadi energi. Dari bejana itu ada saluran pipa menuju dapur dan langsung disambungkan ke kompor masing-masing rumah. Sedang ampasnya (bio slurry) yang sudah tidak mengandung gas metan akan keluar dengan sendirinya di saluran yang berbeda. Sejak berdiri sampai sekarang, berarti kami sudah menyelamatkan ribuan kubik kotoran sapi yang berpotensi merusak lingkungan karena mengeluarkan gas metan.
Omong-omong, Anda tidak tinggal di Brau ya?
Ya, saya tinggal di Desa Ngaringan, Gandusari, Blitar (Jatim). Jaraknya sekitar 50 kilometer dari rumah. Minimal dua kali seminggu saya ke Brau naik motor. Kalau tidak ada kegiatan khusus atau sekadar mendampingi warga, biasanya saya berangkat pagi pulang sore. Tetapi, kalau ada acara yang mengharuskan saya menginap, ya terpaksa menginap.
Bagaimana ceritanya Anda sampai terjun dan aktif di Yabule?
Ceritanya, saya adalah tamatan Universitas Brawijaya. Saat menjadi mahasiswa, saya aktif di Ikatan Mahasiswa Pecinta Alam (Impala) Universitas Brawijaya. Setelah tamat, menikah dan punya seorang anak, kami terbentur keadaan ekonomi sehingga saya kemudian terpaksa menjadi TKW ke Taiwan.
Sepulang dari Taiwan, saya hamil dan melahirkan anak kedua. Setelah itu kembali lagi ke Taiwan dan pulang lagi hamil anak ketiga. Lagi-lagi saya harus kembali lagi kerja di luar, tapi kali ini ke Hong Kong. Jadi, total saya menjadi TKW selama 13 tahun dan baru pulang pada tahun 2013 lalu.
Setelah di rumah, teman-teman di Impala meminta agar saya tak kembali ke Hong Kong dan lebih baik bergabung dengan Yabule. Setelah sepakat akhirnya saya menemukan Dusun Brau ini sebagai salah satu lokasi konservasi.
Tugas Anda cukup berat, harus mondar-mandir Blitar-Malang melewati medan yang cukup menantang, apakah ada materi yang didapat dari sini?
Di awal-awal dulu memang ada, tetapi kalau sekarang tidak ada. Saya sekarang benar-benar menjadi relawan. Tetapi jujur saja, meski saya tidak mendapatkan materi, saya sangat bahagia. Saya bisa berbagi pengetahuan dengan masyarakat tentang bagaimana cara menjaga lingkungan. Lagipula, masyarakat Brau begitu baik menerima saya, jadi kami secara batin sangat dekat. Kalau saya tidak datang karena sakit misalnya, bapak-bapak kampung sini berbondong-bondong naik motor menjenguk saya ke rumah saya di Blitar.
Demikian pula kalau tahu bahwa saya tidak pulang atau menginap di Brau, biasanya bapak-bapak langsung kumpul ramai-ramai di rumah Pak Taqwin, sambil ngobrol, ngopi dan membahas banyak hal. Di sanalah saya kemudian menggali apa saja yang menjadi keinginan mereka yang kira-kira bisa diwujudkan. Dan bagi saya momen seperti ini membahagiakan sekali.
Untuk kebutuhan keluarga bagaimana?
Saya punya usaha kecil-kecilan. Di halaman rumah saya yang cukup luas, saya beternak lele. Suami saya, Supardiono Eko Budoyo (56), yang menjalankannya.
Memang. Dan jujur saja, ada masa-masa di mana hati saya benar-benar terasa pedih saat harus meninggalkan anak-anak yang masih butuh pelukan ibu. Tapi bagaimana lagi, semua itu kan karena keadaan. Sekarang ini saya manfaatkan semaksimal mungkin untuk keluarga demi menebus masa-masa di mana saya pernah berpisah dengan mereka.
Sekarang ketiga anak sudah besar-besar ya?
Anak pertama saya, Rilly Putri Wantati (22), dulu sempat menjadi pramugari di sebuah maskapai tetapi sekarang alih profesi menjadi entertainer di Jakarta. Sedang anak kedua dan ketiga, Agung Rahmadya (19) dan Elvira Bekti Kirana (13), masih duduk di bangku SMA dan SMP.
Sampai kapan Anda akan mendampingi masyarakat di sini?
Saya tidak bisa menentukan sampai kapan, tetapi saya sudah telanjur cinta dengan daerah dan masyarakat sini.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR