Selepas Magrib, puluhan orang terlihat mengikuti tahlilan di halaman sebuah rumah yang cukup luas di Desa Triwungan, Kec. Kotaanyar, Probolinggo (Jatim). Di atas karpet dan tikar yang digelar, mereka khusyuk mendoakan Nero, guru agama sekolah dasar yang juga warga Desa Triwungan, yang menjadi korban musibah Mina.
“Ini tahlilan hari ketujuh, jadi banyak sekali yang datang,” kata Indah Nuraini (25) anak sulung Nero. Wajahnya terlihat tabah. “Kami ikhlas. Ini semua memang sudah takdir Allah.” Kendati ditinggal sang ayah tercinta, anak pertama dari dua bersaudara ini memang tampak tegar. Tak ada tetesan air mata, yang ada hanya kata ikhlas yang keluar dari bibirnya. Ibu muda tersebut yakin bahwa apa yang menimpa sang ayah adalah takdir Yang Kuasa. “Sedih pasti ya, tetapi saya yakin ini takdir Allah yang siapapun tak bisa menghindar,” kata wanita berkulit kuning langsat tersebut kepada NOVA, Rabu (30/9).
Sangat Perhatian
Sore itu, Indah baru pulang dari merias pengantin. Ia menggantikan tugas ibunya, Murtiningsih (43), yang sehari-hari di berprofesi sebagai perias pengantin dan tahun ini juga pergi menunaikan ibadah haji bersama sang suami. “Tak ada firasat apapun. Tapi, sebelum berangkat, kepada beberapa orang, termasuk kepada ustaz, bapak sering menyinggung-nyinggung soal hukumnya meninggal di Tanah Suci,” kata Indah.
Bahkan, kepada teman-temannya sesama guru, Nero pernah berucap betapa enaknya jika bisa meninggal dunia di Tanah Suci. “Saya baru tahu sekarang ini, setelah mereka cerita,” kata perempuan yang saat ini tengah menempuh studi S-2 di Unesa Surabaya.
Ada kenangan yang tak bisa dilupakan Indah perihal sang ayah di hari keberangkatannya. Nero memeluk erat putrinya erat-erat sambil mengucap kalimat, “Nak, yang sabar ya...” Kalimat itu, ujar Indah, diucapkan berulang kali oleh Nero.
Di mata Indah, ayahnya merupakan sosok kepala keluarga yang bisa dibanggakan. Meski tergolong pendiam, namun di balik sikapnya itu tersimpan perhatian yang dalam pada kedua anak perempuannya.
Pernah suatu ketika, Indah bersama teman-temannya berencana berwisata ke Gunung Bromo. Ternyata, diam-diam ayahnya sudah membuat daftar catatan alamat teman-temannya yang tinggal di kawasan gunung itu apabila memerlukan bantuan. “Kebetulan saat pertama kali jadi PNS, bapak dapat tugas mengajar di kawasan Bromo, jadi beliau punya banyak kenalan di sana,” cerita Indah yang saat ini mengaku lega sebab ibunya berangsur membaik bahkan bisa melaksanakan thawaf.
Ada satu lagi bukti kecintaan Nero kepada putrinya. “Ketika saya masih kuliah S-1 di Jember, setiap pulang ke Probolinggo, bapak pasti jemput di Terminal Bondowoso. Soalnya, kawasan antara Bondowoso ke Probolinggo itu hutan, jalannya juga berkelok-kelok dan agak sepi. Dari sana, saya dibonceng pakai sepeda motor sampai rumah. Begitu juga kalau mau balik ke Jember. Itu bapak lakukan sampai saya sarjana. Mungkin karena anaknya perempuan semua, jadi khawatir,” imbuh Indah.
Masih Bernapas
Sejak mendaftar haji tahun 2009 lalu, Nero seolah tak sabar menunggu panggilan keberangkatan ke Tanah Suci. Perasaan itu tak hanya diucapkan kepada keluarga tetapi juga kepada para tetangga. Setelah musibah, Kamis (24/9) lalu, Indah mengaku mengalami peristiwa yang membuatnya heran. Sebelum berangkat ke Tanah Suci, ibunya sengaja meninggalkan ponselnya di rumah agar selama berada di Tanah Suci bisa menjalankan ibadah dengan khusyuk, tidak terganggu panggilan telepon dari Tanah Air. Ponsel itu biasanya memang digunakan Murtiningsih untuk hal-hal yang berkaitan dengan bisnisnya di bidang jasa rias pengantin.
“Saat musibah itu terjadi, ponsel ibu berdering. Ada panggilan dari nomor Arab Saudi. Oleh sepupu saya diangkat dan dari seberang telepon terdengar suara seseorang yang mengabarkan bahwa ayahnya mendapat musibah dan meninggal dunia. Setelah itu telepon kemudian ditutup. Yang membuat heran, setelah itu telepon tersebut tak bisa dihubungi lagi,” cerita Indah.
Begitu mendapat kabat tersebut, “Kami semua yang ada di rumah panik, pikiran kami campur aduk tak karuan. Apalagi ada informasi bahwa sebenarnya bapak baik-baik saja. Saya sendiri tidak berani melihat tayangan teve atau mencari informasi lain sebab saya tidak siap mental jika kabar itu ternyata benar.”
Di tengah kecemasan, sore harinya sang ibu menelepon dan mengabarkan bahwa memang benar mereka mendapat musibah. “Tetapi ibu mengaku tidak tahu kabar bapak, sebab sebelum dibawa ke ambulans, bapak sempat dipangku dan masih bernapas meski tidak sadarkan diri. Ibu bilang tidak tahu lagi setelah di ambulans,” imbuh Indah.
Menurut penuturan ibunya, pada saat kejadian, suasana memang luar biasa kacau. “Bahkan ibu mengaku mendapat mukjizat karena bisa lolos dari maut. Padahal, saat kejadian, ibu dan bapak terjepit di tengah massa, matahari juga tengah terik, keduanya terjebak di antara ribuan bahkan mungkin jutaan jemaah lainnya. Ibu bilang, beliau dan bapak terinjak-injak selama sekitar 3 jam!” cerita Indah yang tak henti bersyukur karena ibunya masih selamat.
Karena cedera, sang ibu sempat beberapa hari mendapat perawatan di rumah sakit. “Yang masih mengganjal, sampai saat ini tidak ada pemberitahuan resmi dari Depag tentang nasib bapak. Saya tahu kabar kematian bapak justru dari media,” imbuhnya. “Tapi apa pun, mudah-mudahan kepergian bapak khusnul khotimah,” ujarnya.
Pegang Tangan
Suasana duka juga menyelimuti keluarga Abdul Karim (74) di Desa Kebonsari Wetan, Kec. Kanigaran, Kab. Probolinggo (Jatim), salah seorang korban musibah Mina lainnya. Selain digelar tikar di teras dan ruang tamu, Rabu (30/9) lalu, para ibu juga terlihat tengah memasak makanan bagi para tamu yang bertakziah maupun tahlillan malam harinya. “Bapak itu sehari-hari bekerja sebagai penjahit di pasar, jadi cukup dikenal banyak orang,” kata Hamidah (47) anak pertama Abdul Karim ketika ditemui NOVA di rumahnya.
Hamidah tak menduga, sang ayah bakal pergi secepat itu. Namun, sebelum berangkat ia memang merasa ada sesuatu yang berbeda dari ayahnya yang dikenal pendiam itu. “Saya baru sadar mungkin itu firasat. Tapi saya tak menduga itu adalah perlambang bapak akan pergi selamanya,” imbuhnya.
Yang ganjil, sehari-hari wajah ayahnya terlihat ceria tetapi justru menjelang berangkat sepertinya dia terasa berat. “Saya sempat bilang, Pak, kenapa mau berangkat haji kok malah kelihatan murung?” kata Hamidah. Tapi Abdul buru-buru menjawab, ”Aku enggak apa-apa kok.” Demikian pula malam menjelang keberangkatan, tiba-tiba ayahnya tidak tidur di kamarnya sendiri tetapi justru pindah tidur di kamarnya. “Akhirnya gantian malam itu saya tidur di kamar bapak,” cerita Hamidah yang mengaku bapaknya memang dekat dengannya.
Satu hal lagi yang tak bisa dilupakan Hamidah adalah ketika dirinya mengantarkan ayahnya ke kantor walikota untuk berangkat bersama jemaah lainnya. Saat hendak masuk ruangan, wajah Abdul terlihat murung. Sambil terdiam, tangan ayahnya yang sudah keriput itu memegang tangan Hamidah erat-erat, seolah tak mau lepas.
“Waktu itu bapak minta diantarkan sampai ke dalam, tetapi karena pengantar dibatasi, jadi yang mengantar hanya suami saya, Sugiyanto. Saya bilang, Pak, di sini saja ya, nanti yang mengantar sampai ke dalam Mas Yanto,’” kata Hamidah. Abdul hanya mengangguk tapi wajahnya terlihat berat. “Kalau ingat semua itu, rasan sedih sekali,” tambah Hamidah. Sang ibu sendiri sudah meninggal sejak enam tahun silam.
Ditandu Petugas
Hamidah mulai cemas tatkala melihat siaran di teve tentang musibah Mina. Entah pandangannya memang benar atau karena terlalu terbayang ayahnya, Hamidah mengaku selintas melihat salah seorang korban yang ditandu petugas di teve adalah Abdul Karim.
Hatinya bertambah cemas ketika sehari setelah itu, petugas dari Departemen Agama Probolinggo datang memberi kabar bahwa bapaknya belum kembali ke pondokan (maktab). “Kami belum tahu persis bagaimana kabar bapak, tetapi Ibu yang sabar saja dan berdoa semoga diberi keselamatan,” kata Hamidah menirukan ucapan petugas Depag.
Sepulang petugas, Hamidah pun segera menghubungi ketua rombongan haji Probolinggo di Mekkah dan menanyakan kabar bapaknya. “Tapi, ketua rombongan juga mengatakan yang sama dengan petugas Depag, yaitu bapak belum kembali,” imbuh Hamidah.
Selang beberapa jam kemudian, barulah Hamidah mendapat kepastian dari ketua rombongan di Mekkah bahwa sang ayah diketahui menjadi koran dan meninggal dunia. Ketua rombongan juga mengirimi foto jasad ayahnya. “Dan sore harinya, petugas Depag datang lagi menyampaikan informasi resmi tentang kematian bapak,” cerita Hamidah yang terlihat tabah.
Kabar itu tentu sangat menyentak batinnya. “Kami semua sedih. Berangkat sehat kok sekarang tidak ada. Tapi di balik itu kami yakin bapak mendapat tempat yang terbaik, sebab bapak pergi ketika tengah beribadah,” kata Hamidah. Wajahnya terlihat tabah.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR