Penampilannya sederhana, tanpa riasan makeup di wajahnya yang segar. Usianya masih terbilang muda. Namun, jangan tanya kiprahnya. Perempuan blasteran Melayu Siak dan Tionghoa kelahiran Padang, 29 Januari 1985, ini sukses merintis usaha dari nol di Medan. Selain menaruh kepedulian terhadap pengembangan sektor UKM terutama di kalangan muda, ia juga peduli pada sektor pendidikan dan kesehatan masyarakat. Kini, Direktur Utama CV Alcompany Indonesia yang juga peraih berbagai penghargaan ini tengah merintis sebuah pembangkit listrik tenaga micro hydro di pedalaman Nanggroe Aceh Darussalam. Boleh tahu latar belakang Anda?
Saya anak kedua dari lima bersaudara yang dibesarkan dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Sedari kecil saya terbiasa dengan hal-hal yang berbau bisnis. Sejak kelas lima SD, saya sudah ikut ibu belanja ke pasar untuk kebutuhan warung kelontongnya. Lama-lama jadi seperti hobi. Saya merasa asyik setiap kali berurusan dengan hal-hal yang menghasilkan uang. Kondisi ekonomi keluarga saya yang pas-pasan juga semakin mengasah kepiawaian bisnis saya. Buat saya, menekuni hobi yang menghasilkan uang jauh lebih baik daripada hanya tidur atau istirahat di rumah orangtuanya saat libur kuliah.
Bahkan, ketika menimba ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara, saya sangat jarang pulang. Itu pilihan yang saya ambil untuk mengurangi beban ibu yang berstatus sebagai single parent. Saya tahu betul betapa besar pengorbanannya. Bahkan supaya saya bisa masuk kuliah, ibu rela menjual sebidang tanah satu-satunya warisan mendiang ayah.
Apa yang Anda lakukan waktu itu?
Saya kerja apa saja, serabutan, mulai dari mengajar privat, menjual tali pinggang dan ponsel second, sales kartu kredit, agen sepeda motor, bahkan pernah bekerja di perusahaan percetakan. Saya enggak malu. Saya membayangkan kalau sering pulang pasti nyusahin orangtua. Paling tidak minta ongkos pulang, kan? Tapi kalau saya manfaatkan waktu untuk mencari uang, saya pasti bisa memenuhi kebutuhan sendiri. Bisa bayar uang kos, beli buku, atau yang lainnya. Nah, di sela-sela kegiatan sebagai agen penjual ponsel bekas, saya melihat peluang bisnis lain.
Apa itu?
Ponsel bekas kan biasanya banyak yang rusak. Nah, suatu saat seorang teman mengeluh ponselnya rusak. Saya lalu bantu membawa ponsel itu ke tukang reparasi untuk diperbaiki. Di tempat itu, saya perhatikan bagaimana cara memperbaiki ponsel tersebut. Kok sepertinya enggak sulit ya. Saya jadi tertarik, terus mulai belajar sendiri cara memperbaiki ponsel rusak.
Dibantu buku panduan yang saya beli di toko buku, saya akhirnya bisa memperbaiki ponsel sendiri. Setiap ada ponsel rusak, teman-teman selalu minta bantuan. Lama-lama saya pikir kenapa tidak sekalian membuka klinik ponsel. Dan ternyata, responsnya cukup baik, terutama di sekitar kampus. Usaha klinik ponsel ini terus berkembang, meski masih mengandalkan diri sendiri. Kalau ditanya modal awalnya berapa? Saya bisa bilang hampir nol. Karena saya mulainya dengan sistem one man show alias kerja sendiri. Jadi enggak perlu bantuan orang lain.
Terus?
Tahun 2008, atas saran seorang teman, saya mengikuti kompetisi Wirausaha Muda Mandiri Kategori Mahasiswa. Saya sempat agak minder. Bukan apa-apa, soalnya dibandingkan kontestan lain yang menggunakan modal dan omzet besar hingga puluhan bahkan ratusan juta, omzet saya kecil, penghasilan hanya sekitar Rp1,2 juta sebulan.
Tapi saya tidak putus asa. Saya punya alasan yang mampu memukau dewan juri. Waktu itu saya sampaikan bahwa kalau semua orang jadi pekerja, siapa yang membuka lahan pekerjaan, sementara yang butuh pekerjaan banyak. Saya memilih jadi pengusaha karena saya bisa banyak berbagi kepada orang-orang dan tentu bisa membuka lahan pekerjaan buat orang lain. Alhamdulillah akhirnya saya berhasil menjadi pemenang mewakili wilayah I Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) dan dikirim ke Jakarta.
Menjadi pemenang Wirausaha Muda Mandiri membuka peluang besar bagi perkembangan bisnis saya. Saya banyak mendapat masukan, ilmu, peluang, dan juga koneksi. Beberapa program kegiatan yang berhubungan pengembangan UKM tingkat daerah dan nasional, bahkan internasional, salah satunya China ASEAN Youth Camp Tahun 2010, pun saya ikuti. Alhamdulillah, rezeki dari Allah. Ada saja undangan yang saya terima baik itu sebagai peserta maupun sebagai narasumber atau trainner untuk tingkat lokal maupun internasional seperti Malaysia, Singapura, dan juga Tiongkok.
KOMENTAR