Tabloidnova.com - Sempat terpuruk setelah divonis mengidap virus HIV/AIDS, perempuan kelahiran Medan, 9 Juni 1980, ini kini hidup bahagia bersama suami dan ketiga anaknya. Namanya Putri Cherry. Ia terus berjuang mengedukasi dan bergerak membantu sesama ODHA.
Tak hanya memerangi virus yang bersarang dalam tubuhnya, ia juga konsisten memerangi stigma diskriminatif terhadap ODHA. Semua berawal saat aku menikah dengan suamiku yang pertama. Tepatnya bulan Juli tahun 2006. Jujur , saat itu aku tidak mengetahui sama sekali bahwa suamiku ternyata positif HIV/AIDS.
Aku cukup lama mengenalnya, jadi memang tak pernah curiga sedikitpun. Ia juga tampak sehat dan layaknya laki-laki normal lainnya. Yang aku ketahui saat itu ia adalah mantan pecandu narkoba yang sudah bersih beberapa tahun sebelumnya.
Aku tak pernah membayangkan, ternyata efek jangka panjangnya adalah terinfeksi HIV/AIDS.
Sebulan menikah, aku mulai melihat tanda-tanda yang tidak biasa. Saat itu aku mulai curiga, kok, dia gampang diare, mudah sakit dan ketika tidur mengeluarkan banyak keringat yang tidak normal. Saat kutanya, ia selalu bilang tidak ada apa-apa.
Semua terbuka saat dia mulai sakit serius. Dia pun akhirnya cerita bahwa dia mengidap HIV/AIDS. Sungguh aku terkejut. Tapi aku belum berani periksa karena masih fokus untuk kesembuhan dia. Aku masih berpikiran positif dan berharap aku tidak tertular. Namun, vonis itu akhirnya sampai juga ke telingaku saat aku hendak melakukan operasi amandel.
Saat itu tepat usia pernikahanku berumur 6 bulan. Dokter menanyakan riwayat kesehatanku. Aku pun membuka status suami yang positif terkena HIV. Agar penanganan operasi dilakukan dengan benar, aku diminta untuk cek VCT (Voluntary Counceling and Testing) dan tes ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) untuk melihat apakah virus itu reaktif. Ternyata, hasilnya reaktif.
Aku dinyatakan positif tertular HIV/AIDS dari suamiku. Saat mendengar vonis tersebut, entah kenapa aku masih belum down dan merasa dunia belum berakhir. Mungkin karena aku masih merasa punya pasangan dan ingin berjuang bersama, bisa sehat berdua. Aku masih merasa punya harapan. Makanya, komentarku kepada dokter saat itu hanya meminta masukan dan petunjuk bagaimana agar aku bisa sehat dan mengantisipasi hal-hal buruk yang akan datang.
Perasaan sedih kurasakan justru saat harus menyampaikan kabar ini kepada mama. Beliau menangis dan memelukku kencang, tapi beliau juga menyemangati dan percaya aku bisa menerimanya dengan ikhlas.
Aku pun fokus menjaga suami yang tengah sakit. Kira-kira lima bulan lamanya ia masuk rumah sakit dan menjalani masa rawat inap selama sebulan penuh, dilanjutkan perawatan di rumah selama empat bulan.
Kondisinya memang makin memburuk. Aku pun stres dan tertekan. Pasalnya, aku justru mendapat stigma dan perlakuan tidak menyenangkan dari pihak keluarga suami. Pembantu mengawasiku selama 24 jam dan mewajibkan pintu kamar harus terbuka agar tidak lepas dari pengawasan. Obat suami harus dihabiskan di depan pembantu karena takut aku ikut minum. Begitu pula susu dan makanan disediakan khusus untuk suamiku.
Sepertinya, suami juga tidak tega melihat perlakuan keluarganya terhadapku. Ia pun mengizinkan dan merelakanku pulang ke rumah orangtuaku dan kembali bekerja. Selanjutnya, aku mendapat pekerjaan di salah satu penyedia jasa layanan mobil mewah di bandara Soekarno-Hatta. Dua bulan bekerja, aku mendapat kabar duka. Suamiku meninggalkanku tepat di perayaan satu tahun pernikahan kami, Juli 2007.
KOMENTAR