Tabloidnova.com - Setelah menjadi staf pemasaran di perusahaan parasut asal Amerika, karier mantan sekretaris ini makin melesat. Kini, di usianya yang ke-34, Naila tak hanya menjadi pelatih terjun tentara dari berbagai negara yang akan mengikuti kompetisi, melainkan juga satu-satuya wingsuiter perempuan di Indonesia.
Dulu, apa cita-cita Anda?
Jadi pramugari. Saya pengin jalan-jalan keliling dunia. Tapi waktu kuliah malah ambil sekolah sekretaris, sayang tidak sampai selesai. Saya sempat bekerja sebagai sekretaris selama dua tahun di sebuah perusahaan minyak asal Amerika pada 2001. Selama bekerja di sana, saya sering bolak-balik ke Amerika.
Bagaimana akhirnya bisa jadi penerjun?
Setelah jadi sekretaris, saya beberapa kali pindah kerja di perusahaan asing lainnya. Lalu, sejak 2006 sampai sekarang, saya bekerja di sebuah perusahaan parasut asal Amerika. Awalnya sebagai staf marketing untuk parasut militer. Basis saya di Jakarta, tapi kantor saya di Amerika. Saya jadi sering bertugas ke berbagai negara, antara lain Malaysia, Brunei, Singapura, Inggris, dan ke negara mana pun kantor menugaskan saya untuk melatih tentara mereka. Menjadi staf marketing untuk parasut membuat saya akrab dengan olahraga terjun payung. Orang-orang di lingkungan kerja saya banyak yang melakukan terjun payung. Akhirnya, saya juga ikut terjun karena ingin mencoba.
Apa yang Anda rasakan waktu pertama kali terjun?
Meski awalnya digendong, tetap saja takut waktu pertama kali mau melompat dari pintu pesawat. Namun, saya ingat akan ada kamera yang akan mendokumentasikan. Saya enggak mau berpenampilan jelek, jadi terpaksa memberanikan diri. Ha ha ha. Kalau sekarang enak, yang mau belajar terjun bisa belajar dulu di wind tunnel atau kolam angin. Kalau dulu, saya langsung lompat dari pesawat. Ternyata saya suka kegiatan ini.
Akhirnya, kantor memberi saya kesempatan ikut pendidikan atas biaya kantor. Selama tekad kuat, pendaratan berlangsung aman, dan berhasil menaklukkan the first ten times (10 kali terjun yang pertama), biasanya kita akan menyukainya. Sebagai murid, kita harus terbiasa dengan parasut, lapangan, dan ketinggian. Lama-kelamaan saya senang, malah jadi hobi.
Apa yang membuat Anda menyukai kegiatan ekstrem ini?
Tidak semua orang bisa punya foto (terjun) seperti itu. Dari hasil foto, kita bisa tahu bahwa bumi memang benar bundar. Di atas, mau lari ke mana saja enggak ada musuhnya, kecuali pesawat. Biasanya, drop zone untuk terjun letaknya jauh dari area lalu lintas pesawat. Di Indonesia, kita punya drop zone di bandara Nusawiru, Kab. Pangandaran.
Konon, Anda satu-satunya wingsuiter perempuan di Indonesia, ya?
Ya. Kalau wingsuiter laki-laki di Indonesia sudah banyak. Wingsuiter adalah orang yang terbangnya mirip kelelawar atau tupai terbang. Jadi, begitu keluar dari pesawat, bukan terjun ke bawah melainkan ke depan. Namun, saya pribadi lebih senang four way, karena beramai-ramai. Foto sendirian tuh rasanya enggak asik. Ha ha ha. Di sini, terjun payung memang belum tersosialisasi dengan baik. Ditambah lagi karena postur tubuh saya kecil, terkadang orang memandang saya sebelah mata, tidak percaya saya bisa melatih terjun.
Kapan mulai melatih terjun?
Setelah lulus, saya mendapat lisensi dari United States Parachute Association (USPA). Saya mulai melatih setelahnya karena iseng, ada yang minta diajari terjun. Dari situlah kemudian melatih orang dan ikut kompetisi, tepatnya setelah satu tahun bekerja di sana. Karena costumer saya tentara, yang saya latih ya tentara, dari puluhan negara yang jadi costumer kami. Di Indonesia, ada MOU antara kantor saya dan Mabes TNI untuk pelatihan ini. Saya melatih Komite Olahraga Militer Indonesia (KOMI) yang membawahi AU, AD, dan AL, termasuk pasukan khusus mereka.
Kalau KOMI tidak ada kegiatan, saya terkadang diminta melatih ke masing-masing angkatan. Saya melatih tergantung surat perintah dari Mabes TNI. Saya tidak mengajar yang baru belajar terjun, melainkan fokus melatih untuk kompetisi untuk pemula (beginner competition) sampai intermediate competition. Saya sendiri baru enam tahun belakangan ini ikut kompetisi terjun, untuk menyalurkan kegiatan. Lagipula, kalau melatih, pasti yang ditanyakan murid adalah prestasi saya. Kalau saya tidak pernah ikut kompetisi dan menang, bagaimana murid akan percaya?
Jadi, Anda sering ikut kompetisi?
Setidaknya setahun sekali wajib ikut kompetisi, karena sebagai pelatih, lomba yang kita ikuti akan jadi motivasi murid. Karena posisi saya sekarang di kantor adalah manajer, saya tidak lagi melakukan demo terjun ke costumer. Selain melatih dan fokus ke kantor, sekarang saya juga mengurus mencari talent dan support atlet. Jadi, kalau ada atlet yang mau lomba, biasanya kantor kami memberikan support. Biasanya, kalau atlet mau lomba, saya mendampingi.
Anda melatih untuk kompetisi kategori apa?
Terjun punya banyak kategori lomba, antara lain accuracy, four way, canopy piloting, dan free fly. Saya melatih untuk kompetisi kategori four way, yaitu terjun berempat. Beberapa waktu lalu saya ikut mendampingi mereka berkompetisi di Conseil International du Sport Militaire (CISM) atau Championship International Military Parachuting di China, Korea, dan Indonesia.
Saya juga diberi seragam dan pangkat kehormatan karena mendampingi mereka. Dalam waktu dekat, saya juga akan mendampingi mereka lomba ke Rusia. Tentara kita hebat, lo. Prestasi mereka saat perlombaan sudah bagus. Malah, belum lama ini Kopassus memecahkan rekor Asia.
Masalah apa yang pernah dialami saat lomba?
Kadang saat mendarat terkena badai atau terkilir karena sedang tidak konsentrasi. Sehingga, tidak bisa ikut lap selanjutnya dan akibatnya poin nilai kita akan turun. Bisa juga salah perhitungan (misjudgment) terhadap angin di bawah. Ketika sudah mau landing, apa pun yang terjadi harus dihadapi, jangan mendadak berubah arah. Pernah, engsel tangan saya terlepas dari lengan saat mendarat karena waktu itu sedang kecapekan. Waktu jadi student pun pernah kena insiden. Namun, saya tidak bisa dilarang berhenti terjun dan saya juga enggak kapok.
Apa yang penting diperhatikan saat terjun bersama tim?
Kemenangan saat lomba tidak bisa didapat atas usaha sendiri. Waktu terjun, biasanya saya yang paling di atas karena awet turunnya (postur tubuh Naila yang kecil membuat dia lebih lambat turun. Agar bisa turun bersama ketiga rekan satu tim, ia mengenakan weight belt). Ini menguntungkan saya karena tidak gampang amblas ke bawah ditarik gravitasi bumi, tapi kemudian saya harus mendorong anggota tim yang badannya paling besar. Jadi, kerjasama tim sangat penting.
Untuk four way, sejak loncat dari pintu pesawat harus sudah bergandengan berempat, agar tidak membuang waktu. Sebab, dalam waktu 30 detik di udara, kami harus membuat sebanyak mungkin formasi huruf atau blok. Untuk bisa kompak, sesama anggota tim benar-benar harus satu hati. Tidak bisa saling menyalahkan, egois, dan punya kepentingan sendiri. Kalau tidak, tim mudah pecah. Jadi, sejak awal sudah harus dibicarakan kesepakatannya. Saya sendiri, karena lomba saya dibayari kantor, tidak ada persoalan memperebutkan hadiah.
Selain melatih dan ikut kompetisi, apa lagi tugas Anda?
Mengontrol rekanan kantor agar atlet mendapatkan apa yang ia butuhkan sesuai dengan yang ditawarkan saat rekanan mengajukan tender ke TNI. Jangan sampai atlet mendapatkan parasut yang tidak sesuai kebutuhannya, karena ini menyangkut nyawa ketika atlet terjun. Saya pasti tahu kalau ada ketidaksesuaian, karena calon user juga memberitahu kebutuhannya. Jangan sampai mereka komplain, karena ini menyangkut masalah kepercayaan terhadap perusahaan kami dan nyawa atlet. Saya lebih baik dibilang tidak bisa dibeli, daripada anak orang mati.
Bagaimana hubungan Anda dengan murid-murid Anda?
Sangat dekat. Mereka memanggil saya Mami, karena saya sudah seperti ibu mereka dan mereka sudah seperti anak saya sendiri. Kalau saya tidak bertugas ke luar negeri, mereka biasanya main ke rumah saat weekend. Saya hobi memasak, jadi merekalah korban hobi saya. Ha ha ha. Biasanya saya memasak kepiting, steak,dan lainnya. Kalau Ramadan, biasanya saya undang berbuka puasa di rumah saya. Yang datang biasanya sekitar 100 penerjun dari tiga angkatan.
Selain bertanya tentang latihan, mereka juga karaoke di ruang teve. Saking banyaknya yang datang, saya sampai menyewa kursi dan tenda, mirip orang mau nikahin anak. Ha ha ha. Tapi saya senang dan mereka juga tidak keberatan membantu beberes rumah. Kalau mereka lomba ke luar negeri, saya bawa dua koper besar berisi makanan untuk mereka. Saya pikir, belum tentu mereka cocok dengan makanan negara itu, seperti saya dulu. Jadi, daripada mereka enggak makan lalu jadi sakit dan berakibat ke hasil pertandingan, lebih baik saya bawakan makanan. Kalau penampilannya jelek, kan, menyangkut kredibilitas saya sebagai pelatih.
Bagaimana dukungan keluarga terhadap pekerjaan Anda?
Mereka sangat mendukung. Suami saya, A. Dominic Hayhurst, dan anak-anak saya, Tommy, Patrick, dan Dominic, sangat memahami pekerjaan saya yang padat ini. Apalagi, suami saya sekantor dengan saya, hanya saja basis kantornya di Afrika Selatan. Setidaknya sebulan sekali saya ke kantor di Amerika.
Kalau tugas ke mana-mana, anak-anak saya tinggal di rumah. Bahkan, baru tiga hari melahirkan saja, saya sudah berangkat kerja. Mereka sudah terbiasa saya tinggal kerja sejak kecil. Kalau mereka libur, sering saya ajak terbang, biar mereka tahu mengapa ibunya senang terbang. Waktu itu, saya ajak paragliding di Bali. Mereka juga sudah masuk ke wind pool dan menyukainya. Patrick malah pandai melakukannya.
Hasuna Daylailatu
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR