Persoalannya, akunya, bersama kawan-kawannya ia kesulitan menggambar mengingat sudah puluhan tahun tidak pernah memegang pensil. “Pertama kali menggambar, bentuknya enggak karu-karuan, sampai-sampai kami semua tertawa karena lucu. Maklum, biasanya sehari-hari kami ini membawa sabit untuk merumput, lha kok, tiba-tiba diminta meggambar. Sudah bisa dibayangkan bagaimana sulitnya,” kata Zahrotun yang diamini oleh teman-temannya yang lain.
Kendati demikian, dia tidak putus asa. Di sela-sela belajar yang jadwalnya ditentukan seminggu tiga kali, setiap harinya di rumah ia belajar mencorat-coret di atas kertas kosong agar tangannya luwes memegang pensil.
Pakai Pewarna Alami
Hal serupa dirasakan Parmi (35) ibu dua anak yang gembira karena sudah bisa membuat batik sendiri. Sebenarnya, sejak lama ia kenal batik, tepatnya sejak masih masih duduk di bangku Madrasah. Namun, kemampuannya sangat terbatas mengingat oleh majikan yang memberi garapan, ia hanya diberi tugas tertentu saja. “Makanya saya sekarang senang, karena sudah tahu proses membatik sejak awal sampai akhir,” katanya dengan wajah gembira.
Kendati demikian, Parmi mengaku harus berusaha keras, terutama ketika belajar membuat motif. Untuk memunculkan imajinasi membuat motif gambar, oleh Ria yang selama ini menjadi pendamping sekaligus instruktur, ia diajak berjalan-jalan ke ladang. Di sana, mereka diminta melihat apa saja yang ada di alam sekitar yang sekiranya menarik.
Nah, setelah tertarik pada satu obyek, dia diminta menjadikannya model atau desain gambar pada lembaran kain batik. “Kalau senang pada satu jenis daun, maka kami diminta menuangkannya dalam bentuk gambar di kain. Begitu juga kalau tertarik pada burung, dijadikan model untuk batik,” jelas Parmi.
Kendati demikian, mereka tidak langsung bisa, harus melalui proses. “Namanya juga belajar. Saya benar-benar bisa itu setelah dua tahun berlatih,” tambah Parmi. Bahkan saat ini, lanjut perempuan berkulit putih tersebut, pelajaran yang diberikan ditambahi ilmu batik cap. Sebagai orang baru yang terjun di dunia batik, tentu ia tidak bisa secekatan atau kalah cepat dibandingkan perajin yang sudah lama. Karena itu agar tidak keteteran dan segera menghasilkan karya, ia diajari membuat batik cap.
Batik cap, kata Parmi, secara bahan dan hasil sebenarnya sama. Hanya saja, para perajin seperti dirinya tidak perlu membuat desain atau gambar, karena semua diganti dengan cap yang sudah ada cetakan desainnya. “Jadi, sekarang kalau ada pesanan dalam jumlah banyak, kami bisa melayani,” papar Parmi.
Untuk pewarnaan, Parmi dan kelompoknya tidak kesulitan dan tak perlu mengeluarkan biaya tambahan karena memanfaatkan berbagai tumbuhan liar di sekitar rumahnya sebagai pewarna alami, seperti kulit tanaman jolowawe, mauni, jaranan, bahkan daun jambu monyet.
Parmi mengaku, meski saat ini belum begitu banyak pembeli, namun pengetahuan yang mereka miliki bisa dijadikan modal untuk ke depannya. Hasil dari membatik tersebut kadang dijual langsung atau dititipkan di KPR untuk dijual di luar.
“Nanti kalau sudah lancar, tentu penghasilan akan lebih besar dibanding ketika menerima borongan pekerjaan seperti dulu,” kata Parmi. Saat ini, selembar kain batik minimal laku seharga Rp200.000, sementara jika coraknya lebih rumit bisa laku Rp400.000 per lembar.
“Lumayanlah, lagipula ini bisa dilakukan di sela-sela meladang, serta menyelesaikan pekerjaan di rumah,” imbuhnya lagi.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR