Tuban, Jawa Timur, sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah penghasil batik. Kini, di beberapa desa di Tuban, puluhan ibu rumahtangga mendapat pelatihan membatik hingga ke proses pemasaran. Selain untuk mengisi waktu senggang usai berladang, juga untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Wartini (45) dan putrinya Istifaah (17) duduk di kursi pendek di teras rumah mereka yang hanya berlantai tanah, namun cukup luas. Sambil memegang kain di batangan kayu, tangan ibu-anak itu memegang canting dan “menari-nari” di atas selembar kain mori, membentuk sebuah pola. Sekali-sekali keduannya meniup ujung lubang canting agar cairan malam yang diambil dari wajan di atas kompor kecil bisa keluar.
Fitria Setyo Utami (27), Ketua Divisi Entrepereneur dari Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban yang ada di sebelahnya sesekali mengarahkan keduanya untuk lebih cermat dan teliti agar batik yang dihasilkan menjadi lebih halus. Pemandangan serupa juga bisa disaksikan di beberapa rumah penduduk di Desa Gaji, Kec. Kerek, Kabupaten Tuban yang tergabung dalam Batik Komunitas Koalisi Perempuan Ronggolawe (BKKPR).
Bagi Wartini, kegiatan membatik yang ditekuni sejak empat tahun silam itu menjadi kegiatan selingan. Selama ini, aktivitas sehari-hari ibu dua anak itu, selain mengurus keluarga di rumah, adalah berladang seperti ibu-ibu warga desa lain, atau hanya ‘menganggur’ saja di rumah.
“Saya pikir daripada klontang-klantung menganggur di rumah, kan, lebih baik saya melakukan sesuatu untuk menambah penghasilan. Kebetulan ada ajakan dari BKKPR untuk belajar batik. Selain diajari gratis, bahannya juga disediakan,” katanya.
Bahkan, saat ini sebagian perajin batik juga tengah belajar batik cap. “Kalau batik tulis ibu-ibu di sini sudah biasa, karena memang sudah lama memulainya, tetapi beberapa bulan belakangan ini kami memberi pelatihan cara membuat batik cap supaya pengetahuan mereka makin berkembang,” kata Ria, panggilan Fitria Setyo Utami kepada NOVA.
Mengasuh Anak
Kegiatan para perempuan yang tergabung dalam BKKPR di desa yang berjarak sekitar 40km dari jantung kota Tuban tersebut sudah berlangsung sejak tahun 2012 lalu. Dengan adanya kegiatan tersebut, aktivitas sehari-hari menjadi lebih berwarna.
Dulu, sebelum ada kegiatan membatik, pekerjaan sehari-hari ibu-ibu atau para remaja desa setempat hanyalah mengasuh anak atau ke ladang untuk menanam jagung, menyabit rumput, beternak, atau bersih-bersih-bersih di ladang. “Kalau tidak punya ladang sendiri, ya, jadi buruh, tapi pekerjaannya seperti itu,” kata Zahrotun Ni’mah (32).
Sebelum mendapat pelatihan dari BKKPR, selain meladang sekali-kali ia ikut bekerja pada seorang produsen batik di desanya. Namun, pekerjaannya saat itu hanya nembok atau melabur malam di bagian-bagian tertentu kain batik. Dalam sehari, dia bisa nembok dua lembar kain batik. Satu lembar dibayar Rp5.000. “Sebenarnya, tidak cuma karena bayaran yang murah, tetapi saya bersama teman-teman lain bisanya hanya nembok saja dan tidak tahu teknik lainnya. Padahal supaya menjadi selembar kain batik itu prosesnya banyak dan butuh belajar,” kata ibu seorang anak tersebut.
Karena itulah, dia sangat bersyukur ketika relawan BKKPR masuk ke desanya dan menawarkan pelatihan sekaligus menyediakan berbagai kebutuhan untuk membatik, mulai dari malam, kompor, wajan, canting sampai kain sebagai bahannya. “Begitu ditawari, kami langsung bersedia. Sayang kalau tidak mau, ini kan, ilmu baru yang bisa jadi modal ke depannya,” kata Zahrotun yang mengaku butuh ketelatenan dan ketekunan untuk bisa membatik.
Menurutnya, yang sulit adalah membuat desain. Ketika kain batik masih berupa kain mori putih polos dan kemudian digambar sesuai rencana. Baru setelah menjadi gambar tinggal pembatik menutup bagian desain atau gambar dengan canting yang diisi bahan malam cair.
Persoalannya, akunya, bersama kawan-kawannya ia kesulitan menggambar mengingat sudah puluhan tahun tidak pernah memegang pensil. “Pertama kali menggambar, bentuknya enggak karu-karuan, sampai-sampai kami semua tertawa karena lucu. Maklum, biasanya sehari-hari kami ini membawa sabit untuk merumput, lha kok, tiba-tiba diminta meggambar. Sudah bisa dibayangkan bagaimana sulitnya,” kata Zahrotun yang diamini oleh teman-temannya yang lain.
Kendati demikian, dia tidak putus asa. Di sela-sela belajar yang jadwalnya ditentukan seminggu tiga kali, setiap harinya di rumah ia belajar mencorat-coret di atas kertas kosong agar tangannya luwes memegang pensil.
Pakai Pewarna Alami
Hal serupa dirasakan Parmi (35) ibu dua anak yang gembira karena sudah bisa membuat batik sendiri. Sebenarnya, sejak lama ia kenal batik, tepatnya sejak masih masih duduk di bangku Madrasah. Namun, kemampuannya sangat terbatas mengingat oleh majikan yang memberi garapan, ia hanya diberi tugas tertentu saja. “Makanya saya sekarang senang, karena sudah tahu proses membatik sejak awal sampai akhir,” katanya dengan wajah gembira.
Kendati demikian, Parmi mengaku harus berusaha keras, terutama ketika belajar membuat motif. Untuk memunculkan imajinasi membuat motif gambar, oleh Ria yang selama ini menjadi pendamping sekaligus instruktur, ia diajak berjalan-jalan ke ladang. Di sana, mereka diminta melihat apa saja yang ada di alam sekitar yang sekiranya menarik.
Nah, setelah tertarik pada satu obyek, dia diminta menjadikannya model atau desain gambar pada lembaran kain batik. “Kalau senang pada satu jenis daun, maka kami diminta menuangkannya dalam bentuk gambar di kain. Begitu juga kalau tertarik pada burung, dijadikan model untuk batik,” jelas Parmi.
Kendati demikian, mereka tidak langsung bisa, harus melalui proses. “Namanya juga belajar. Saya benar-benar bisa itu setelah dua tahun berlatih,” tambah Parmi. Bahkan saat ini, lanjut perempuan berkulit putih tersebut, pelajaran yang diberikan ditambahi ilmu batik cap. Sebagai orang baru yang terjun di dunia batik, tentu ia tidak bisa secekatan atau kalah cepat dibandingkan perajin yang sudah lama. Karena itu agar tidak keteteran dan segera menghasilkan karya, ia diajari membuat batik cap.
Batik cap, kata Parmi, secara bahan dan hasil sebenarnya sama. Hanya saja, para perajin seperti dirinya tidak perlu membuat desain atau gambar, karena semua diganti dengan cap yang sudah ada cetakan desainnya. “Jadi, sekarang kalau ada pesanan dalam jumlah banyak, kami bisa melayani,” papar Parmi.
Untuk pewarnaan, Parmi dan kelompoknya tidak kesulitan dan tak perlu mengeluarkan biaya tambahan karena memanfaatkan berbagai tumbuhan liar di sekitar rumahnya sebagai pewarna alami, seperti kulit tanaman jolowawe, mauni, jaranan, bahkan daun jambu monyet.
Parmi mengaku, meski saat ini belum begitu banyak pembeli, namun pengetahuan yang mereka miliki bisa dijadikan modal untuk ke depannya. Hasil dari membatik tersebut kadang dijual langsung atau dititipkan di KPR untuk dijual di luar.
“Nanti kalau sudah lancar, tentu penghasilan akan lebih besar dibanding ketika menerima borongan pekerjaan seperti dulu,” kata Parmi. Saat ini, selembar kain batik minimal laku seharga Rp200.000, sementara jika coraknya lebih rumit bisa laku Rp400.000 per lembar.
“Lumayanlah, lagipula ini bisa dilakukan di sela-sela meladang, serta menyelesaikan pekerjaan di rumah,” imbuhnya lagi.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR