NOVA.id - Terbongkarnya kasus eksploitasi anak-anak jalanan beberapa waktu lalu membuat kita sebagai orang tua dan semua pihak lainnya bertanggungjawab terhadap apa yang telah terjadi.
Meskipun bukan darah daging kita, rasanya egois jika kita tak ikut terbeban dengan apa yang menimpa mereka.
Dinah (54), FW (18), D (17), dan S (20) ditangkap polisi dari Polres Metro Jakarta Selatan lantaran merekrut dan menyalurkan anak-anak penjual tisu di lampu merah Blok M kepada sejumlah warga negara asing (WNA).
Baca juga: Gawat! 2 Bocah Penjual Tisu di Blok M Jadi Korban Pedofilia WNA
Para perantara itu kebetulan sering nongkrong di Blok M dan kenal dengan dua anak penjual tisu, CH (11) dan J (12).
Kedua korban diiming-imingi uang Rp 500.000 hingga Rp 700.000 agar mau bertemu dengan Warga Negara Asing (WNA) di hotel.
Salah satu tersangka pencabul yang ditangkap yakni warga Jepang Ando Akira (49), koki di sebuah restoran di Jakarta. Lokasi pencabulan dilakukan di sejumlah hotel di Jakarta Selatan.
Baca juga: 3 Kali Terjerat Kasus Narkoba, Berikut 5 Fakta Di Balik Tertangkapnya Jennifer Dunn
"Korban dijual dengan tarif Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta," kata Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan AKP Nunu Suparmi, Rabu (3/1).
Para korban mengaku mereka hanya disuruh duduk-duduk dan melihat para WNA bermasturbasi. Namun hasil visum menunjukkan, mereka sudah dicabuli.
Tersangka perekrut, yaitu D dan FW yang masih belia, mengatakan mereka juga pernah dicabuli.
Baca juga: Berjuta Kebaikan dalam Segelas Susu Gurih Tanpa Garam yang Wajib Kita Tahu
Hukuman dan Pencegahan
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menilai, para tersangka pelaku perlu dihukum berat agar lingkaran setan kekerasan seksual itu putus dan tidak meluas.
"Kami minta penegak hukum berikan pasal berlapis agar pelaku bisa benar-benar jera," kata Susanto di Mapolrestro Jakarta Selatan, Rabu.
Susanto menyebutkan, penyidik bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Dalam Undang-Undang itu, eksplotasi dan pencabulan hukumannya maksimal 15 tahun penjara.
Baca juga: Raffi Ahmad Cuek Dituding Eksploitasi Anak
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang hukumannya hanya 10 tahun penjara, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya menghukum enam tahun penjara.
Susanto mengkhawatirkan, jika dihukum rendah, para pelaku akan kembali mengeksploitasi anak-anak dengan lebih masif.
"Ini bisa jadi jaringan yang diduga kuar bukan hanya nasional tapi juga internasional," ujarnya.
Baca juga: Opick, Jadi Pembawa Berkah Saat Penyaluran Donasi ke Camp Pengungsian di Palestina
Pencegahan yang paling utama, kata Susanto, yakni dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan memastikan tidak ada keluarga dengan kerentanan ekonomi sehingga anak-anaknya tidak dieksploitasi.
"Intervensinya kepada keluarga pun harus utuh, menyelamatkan kondisi ekonomi yang bersangkutan, dan bukan hanya bantuan tapi juga cara pikir agar tidak kembali ke jalan," ujar dia.
Penanganan terhadap anak jalanan pun tak bisa digeneralisasi, sebab kondisi dan kompleksitasnya berbeda-beda.
Jika anak tereksplotasi karena paksaan orang lain yang diuntungkan, tak ada pilihan lain selain menegakkan hukum setinggi-tingginya bagi pelaku.
"Kedua, anak jalanan yang mau nggak mau harus hidup di jalan karena ekonomi keluarganya, maka intervensi kepada keluarganya, bukan lagi digaruk tapi pendekatan yang lain," kata Susanto.
Susanto mengimbau masyarakat agar melaporkan ke Dinas Sosial jika bertemu anak jalanan di jalan atau lampu merah.
Bisa jadi, anak yang menawarkan tisu atau mengamen di lampu merah merupakan korban tindak kekerasan seksual dan eksplotasi lainnya.
Di Jakarta, masih ada sekitar 8.000 anak jalanan. Dari penjangkauan di lampu-lampu merah di Jakarta Selatan, ada 80 anak jalanan yang terjaring selama 2017. (*)
Nibras Nada Nailufar/Kompas.com
Penulis | : | Amanda Hanaria |
Editor | : | Amanda Hanaria |
KOMENTAR