NOVA.id – Siapa sangka bonggol pisang bisa menjadi panganan nikmat dan bahkan bisa jadi bisnis kuliner yang laris?
Sri Purwanti, ibu rumah tangga yang tinggal di Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta ini membuktikan bonggol pisang bisa ia sulap jadi snack yang laris dengan nama Al Barik.
Padahal bonggol pisang selama ini lebih sering dianggap sebagai barang tak berguna.
Ataupun kalau mau dimanfaatkan, bukan sebagai bahan olahan makanan, tetapi pupuk organik.
Sri Purwanti mengawali usaha keripik bonggol pisang pada tahun 2006.
Selepas gempa dahsyat yang menggoncang Bantul pada saat itu, Sri bangkit dengan mengolah keripik pisang.
Usaha kecil-kecilan ini memang jalan, tetapi dirasa hanyak sedikit menghasilkan laba.
“Usaha keripik pisang memang ada hasilnya, tetapi keuntungannya sedikit. Saya menyadari keripik pisang itu memang bukan hal yang baru di masyarakat, sudah umum. Jadi saya maklum juga kalau keuntungannya sedikit,” jelas Sri di kediamannya, akhir pekan lalu.
Sri pun putar otak untuk bisa memproduksi makanan kecil yang jarang ditemui masyarakat.
Suatu ketika, ia teringat cerita nenek yang mengatakan jika bonggol pisang itu bisa diolah jadi nasi saat perang kemerdekaan.
Neneknya mengolah bonggol menjadi nasi lantaran persediaan beras saat itu sangat langka.
“Nenek bilang kalau bonggol pisang bisa diolah menjadi nasi, lauk, dan keripik. Tetapi saya sendiri belum pernah merasakan makanan olahan dari bonggol pisang,” jelas Sri.
Ide itu langsung dipraktikkan Sri di rumahnya, dengan bantuan alat-alat dapur sederhana.
Olahan Mudah dan Aman
Butuh waktu berbulan-bulan bagi Sri untuk mendapatkan olahan yang sempurna, termasuk memilih bonggol pisang jenis apa yang enak untuk diolah.
Akhirnya Sri mendapatkan trik mengolah keripik bonggol pisang, di antaranya bonggol pisang raja dan pisang ambon merupakan dua jenis pisang yang tak bisa dijadikan bahan keripik.
Lantaran setelah diuji coba, rasanya pahit.
Sedangkan jenis pisang yang lain bisa dijadikan bahan keripik dan mudah mengolahnya.
“Diawali dengan dikupas, lalu diiris-iris, dan direndam air kapur sirih selama tiga jam. Terus dibumbui pakai tepung, lalu digoreng,” tambah Sri.
Sementara itu, agar keripik olahannya dipastikan aman untuk dikonsumsi, ia memutuskan untuk menguji makanan olahannya itu di laboratorium.
“Tahun 2010, saya uji tes laboratorium di Teknologi Hasil Pangan Universitas Gadjah Mada. Hasilnya, keripik bonggol pisang aman dikonsumsi. Selain itu, juga mengandung vitamin, mineral, dan serat yang tinggi,” jelas Sri senang.
Hasil tes laboratorium atas makanannya itu membuat Sri makin semangat menyempurnakan keripik hasil olahannya tersebut.
Suatu saat, ada tetangga yang mengunjunginya dan melihat ada keripik bonggol pisang olahan Sri.
Tetangga itu kemudian mencobanya,kemudian mengatakan jika olahannya itu enak.
“Tetangga awalnya juga mencibir, katanya kurang kerjaan mengolah bonggol pisang jadi makanan. Namun karena rasanya enak, malah banyak tetangga yang pesan dan beli. Lalu ada tetangga yang mengusulkan agar keripik bonggol pisang itu dijual di warung,” ungkap Sri.
“Mulanya saya titipkan empat bungkus di satu warung dan ternyata laris. Terus saya titipkan lagi ke toko-toko kecil. Pada mulanya hanya dua toko, lama kelamaan saya nyetor keripik bonggol pisang ke 60 toko-toko kecil di Bantul.”
Respon tetangga sekitar atas makanan olahannya disambut Sri dengan senang.
Usahanya pun lambat-laun makin meningkat. Sejak mulai diproduksi tahun 2007, tiga tahun berikutnya usahanya itu makin dikenal dan disukai.
Usaha keripik bonggol pisang Al Barik pun bisa dibilang sukses.
Beragam variasi olahan bonggol pisang dihasilkan Al Barik.
Keripik bonggol pisang ada beberapa rasa, mulai original, pedas, dan barbeque.
Selain itu,ada juga keripik kulit pisang dan jenang dodol dari pisang.
Al Barik memulai memasarkan keripik bonggol pisang dengan memanfaatkan media online.
Pemasaran ini dilakukan dengan bantuan dan dukungan suaminya, Bibit Supriyanto.
Padahal jika dirunut dari belakang, Sri dan suaminya bisa dibilang gagap teknologi.
Bahkan untuk menyalakan komputer saja mereka tak biasa.
“Dulu awal-awal itu kita berdua belajar komputer di warnet, jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Kita sama sekali tidak tahu tentang komputer. Datang ke warnet, kita mengamati orang-orang yang mengoperasikan komputer,” cerita Sri.
Gencar Promosi Online
Tahun 2010 Al Barik ikut pameran hasil olahan pangan di Jogja Expo Centre (JEC), Yogyakarta.
Dari keikutsertaan itu, mereka mendapatkan uang saku yang kemudian dibelanjakan untuk membeli laptop.
“Mulai tahun 2012, kita gencar promosi online, mulai Facebook, website, Instagram, dan Twitter. Berawal dari promosi online ini, kita pun dikenal di luar negeri. Tak hanya itu, pemesanan keripik juga bukan cuma di sekitar wilayah Bantul atau Yogyakarta, tetapi hingga luar daerah seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor,” tukas Sri.
Kini Sri Purwanti memproduksi keripik bonggol pisang sebanyak 20 kilogram sehari.
Ia mendapatkan bahan keripik dengan mudah dari tetangga dusun dan desa yang menyetor padanya setiap hari.
“Satu bonggol pisang kami beli Rp5.000. Setiap hari kita mengolah sekitar 4-5 bonggol pisang. Keripik kita juga kandungan minyaknya telah berkurang karena memanfaatkan mesin spinner,” kata Sri.
Untuk mengolah bonggol pisang itu, Sri memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dari tetangga sekitar.
Baik itu yang mengiris bonggol hingga menggoreng.
“Sebenarnya kita ada juga alat pengiris bonggol, tapi biar ada pemberdayaan tetangga, jadi lebih bermanfaat,” ungkap Sri.
Berawal dari kesuksesannya mengolah bonggol pisang, permintaan agar Sri jadi pembicara juga kian banyak.
Dari berbagai pemerintah daerah di nusantara pernah memintanya jadi pembicara.
Hebatnya lagi, permintaan undangan untuk berbagi ilmu mengolah makanan itu juga mengalir dari sejumlah universitas di luar negeri.
“Ada 13 negara yang meminta saya jadi pembicara, melakukan kunjungan industri, studi banding, dan penelitian. Di antaranya Bangladesh, India, Australia, Malaysia, Belanda, Amerika Serikat, Myanmar, Jepang, dan Pakistan,” kata Sri.
Bukan hanya jadi pembicara, Sri pun kerap mendapatkan penghargaan terkait keberhasilannya mengolah bonggol pisang.
Tahun 2016 ia mendapatkan bantuan layanan internet gratis dari USAID atas keberhasilannya memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produk.
“Pada tahun 2015, kami juga mendapatkan penghargaan One Village One Product UKM Bintang 3 dari Kementrian Perindustrian,” jelas Sri sambil mengatakan nama merek Al Barik diambil dari nama anaknya.
Kredit BANK BRI
Bukan jalan instan yang harus dilalui Sri Purwanti untuk mengembangkan bisnis keripiknya.
Dari yang hanya bermodal Rp500.000 kini sudah memiliki omzet Rp30 juta hingga Rp40 juta.
Sri sendiri tak mengira jika jalan hidupnya berhasil mengolah keripik bonggol pisang memiliki nilai ekonomi tinggi.
"Prinsipnya harus inovatif dan kerja keras. Biarkan semuanya mengalir saja. Saya sendiri tidak mengira bisa seperti ini. Bisa berbagi ilmu, ngomong di depan mahasiswa dan dosen. Padahal saya sendiri tidak kuliah,” jelas Sri.
Untuk urusan permodalan, keripik Al Barik tidak menemui kendala berarti.
Tahun 2012, ia memanfaatkan program KUR BRI (Kredit Usaha Rakyat BRI.
Ia sengaja menjatuhkan pilihan untuk menggunakan KUR BRI lantaran kerap melihat iklan KUR BRI tentang kredit untuk usaha kecil.
Lalu ia berinisiatif ke kantor BANK BRI cabang terdekat, yakni di Kantor BANK BRI Unit Samas, Bantul untuk menanyakan terkait program pinjaman KUR BRI.
"Setelah bertanya-tanya, saya kemudian mengajukan pinjaman senilai Rp2 juta. Pinjaman modal pertama itu untuk membeli bahan baku dan membeli alat untuk pengemasan. Kemudian tahun 2014 kembali mengajukan pinjaman KUR senilai Rp5 juta,” kata Sri.
Setelah semua pinjaman KUR BANK BRI dibayar lunas, Sri Purwanti kemudian mengajukan kredit ke BANK BRI melalui produk Kupedes BRI.
Ia mengajukan pinjaman sebesar Rp25 juta.
Uang kredit tersebut digunakan untuk modal membeli kendaraan operasional.
Dengan alat transportasi roda empat itu, memudahkan Sri untuk mengangkut dan mendistribusikan keripik bonggol ke sejumlah daerah.
"Setelah ini, saya berharap ke depannya bisa memiliki tempat pengolahan sendiri. Selama ini kan mengolahnya masih menyatu dengan rumah. Jadi biar tempat mengolahnya lebih lega,” jelas Sri.
Semoga harapan Sri segera terwujud! (*)
(Fajar Sodiq)
Source | : | Nova |
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | Dionysia Mayang Rintani |
KOMENTAR