NOVA.id - Bagaimanapun, kita memang sulit menghindar dari gosip.
Hanya saja masalahnya, bagaimana kalau gosip sudah terlalu kelewat batas, hingga sanggup memutus pertemanan?
Menurut psikolog Ahastari Nataliza B. A., M.Psi., sah-sah saja bergosip di media sosial selama kegiatan ini tak jadi “perusak”.
Salah satu caranya, pandai-pandailah kita memilih prioritas.
Jangan sampai karena sibuk dengan sebuah grup chat penuh gosip, aktivitas dan tanggung jawab kita yang lebih penting jadi tak terurus.
Baca juga: Upss.. Seketika Ingat Mantan? Awas, Jangan Sampai Terlena CLBK ya!
“Yang kedua, batasan gosip itu ya, jangan sampai timbul perasaan benci. Saya, kan, tadinya mau bantu si orang yang digosipin ini. Tapi, kok, saya jadi makin benci ya, sama dia? Batas berikutnya, jangan sampai karena ngomongin orang, sikap kita terhadap dia jadi berubah. Perilaku kita ke orang ini sudah sampai berubah, padahal kita sendiri juga belum tahu kebenaran gosip,” ungkap Liza.
Jadi, apakah saya masih boleh bergosip?
“Menurut aku, sebetulnya kalau kita tahu ada seseorang yang sikapnya kurang tepat, misalnya dalam satu grup kita tahu ada teman kita yang sikapnya kurang berkenan, secara psikologis akan lebih sehat bila kita ajak ngobrol, daripada kita bikin grup chat lalu ngomongin dia di sana. Lagipula, ini juga enggak bakal mengubah perilaku seseorang
yang lagi kita omongin atau gosipin,” beber Liza.
Sebagai contoh, kita dan teman-teman sedang hangat-hangatnya menggunjingkan kehidupan asmara teman kita yang, katakanlah, selalu dipenuhi dengan kekerasan.
Baca juga: 5 Kebiasaan Sebelum Tidur yang Sebaiknya Dihindari agar Tak Merusak Mood
Seharusnya, alih-alih menggosip, ada baiknya kita ajak bicara si teman ini dan beri dia dukungan.
“Karena kalau kita ngomongin dia di grup, kan, enggak bakal bikin dia berubah juga,” ungkap Liza.
Daripada bergosip, cobalah ajak teman kita bertemu dan bercerita. Kita pun jadi tak cuma sibuk dengan sederet asumsi. Ajak dia untuk saling memberi feedback dalam hubungan pertemanan, agar kita dan si orang tersebut bisa tahu kekurangan masing-masing.
Yang terpenting, kita jadi tahu fakta dari gosip yang kita simpan dalam benak.
Baca juga: Berminat Menginap di Rumah Unik Ridwan Kamil yang Dibalut 30ribu Botol Bekas?
“Gunakan eye statement supaya tidak terlihat menyerang ke yang bersangkutan. Mulai ngobrol dari hal-hal lain dahulu, baru kemudian masing-masing kasih feedback ke si orang yang digosipin ini. Ini akan lebih efektif dan terlihat hasilnya daripada ngomongin di situ situ aja. Lebih baik kita melakukan hal lain,” tuturnya.
Sementara kalau kita berada di posisi pihak yang “dipaksa” bergosip, kita bisa, kok, menjauhkan diri kita dari hal ini dengan menolak secara bijak dan asertif.
“Memang yah, ada risiko. Dijuluki sok suci, atau semacamnya. Tapi, caranya bisa diatur. Misalnya ngajakin, Eh guys gimana kalau ketemuan saja? kan lebih enak ngomongnya,” usul Liza.
Baca juga: Eitss, Jangan Asal Bikin, Ini Dia 6 Tips Berbisnis Sukses di Sosmed
Nah, terakhir dan yang paling penting, tentu adalah pengendalian diri kita dalam menyerap gosip.
Misal, kita mulai tak lagi melihat sesuatu hanya dari satu sisi.
Apalagi jika info itu kita dapat dari media sosial, sampai menelan mentah-mentah sebuah pergunjingan, tanpa dipikir terlebih dulu.
Memang, bergosip bukan barang baru, tapi jika HP yang merupakan perangkat bergosip paling efektif saat ini saja sudah menjadi smartphone, kok kita belum juga “smart”?(*)
(Jeanett Verica)
Penulis | : | Healza Kurnia |
Editor | : | Healza Kurnia |
KOMENTAR